Diketahui fakta bahwa peningkatan produktivitas sangat dipengaruhi oleh ekspansi ekspor yang memiliki peran penting bagi pertumbuhan ekonomi. Dalam hal ini ekspansi ekspor tergantung pada perdagangan barang jadi dan biasanya diukur dengan ekspor atas output, yang diketahui bahwa intensitas ekspor yang diketahui daya saingnya diukur dengan intensitas ekspor. Namun, peran integrasi perdagangan komponen, yaitu penggunaan input impor untuk memproduksi barang setelah ekspor, belum sepenuhnya disadari. Baru pada saat ini, peran integrasi komponen baik mulai dipelajari secara empiris. Tampaknya masuk akal untuk mengharapkan efek produktivitas tingkat perusahaan yang berbeda tergantung pada karakteristik eksportir. Hal ini dapat dibedakan oleh eksportir dari pabrik murni dalam negeri dan tanaman asing yang dimiliki oleh perusahaan nasional multinasional (MNCs). Artinya eksportir dari pabrik dalam negeri mengekspor barang jadi dengan menggunakan input lokal, sedangkan eksportir dari pabrik asing yang dimiliki oleh MNC diperbolehkan untuk melakukan unbundel proses produksinya atau melakukan outsourcing ke negara lain yang penggunaan inputnya murah.
Gorg, dkk. (2008) berpendapat bahwa proses produksi barang bertingkat adalah jika barang diproduksi dalam tahapan yang berbeda dari produksi hulu dasar hingga penyelesaian barang akhir pada tahap hilir. Selanjutnya, jika perusahaan terlibat dengan beberapa tahap produksi di negara asal, mungkin bermanfaat untuk memindahkan bagian barang yang relatif tidak efisien atau kurang produktif ke kapal yang dapat dilakukan dengan biaya lebih rendah. Barang-barang domestik kemudian dapat fokus pada kegiatan yang lebih efisien atau lebih produktif, dan mengimpor barang-barang komponen yang diproduksi di luar negeri. Dengan demikian, perusahaan akan memperoleh sumber daya yang digunakan dalam proses produksi secara lebih efisien, sehingga menghasilkan peningkatan output dan menggeser fungsi produksinya sehingga menciptakan produktivitas perusahaan yang lebih tinggi.
Data tersebut diperoleh Badan Pusat Statistik (BPS) dari survei tahunan manufaktur menengah dan besar yang mencakup periode 2003 hingga 2009. Data seri yang digunakan setidaknya ada 20 pekerja setiap tahun setiap manufaktur yang disurvei. Ada indeks harga grosir sebagai data pelengkap yang diterbitkan oleh BPS, yaitu nilai sebagai output dan input mengempis menjadi nilai sebenarnya.
Penelitian ini menggunakan data panel dan hanya untuk industri kelistrikan dan elektronika. Industri kelistrikan dan elektronika termasuk industri dalam klasifikasi industri berstandar internasional (KBLI) 30-32 pada level 2 digit, melibatkan 15 kategori pada level 5 digit. Perusahaan yang cocok berdasarkan kode identifikasi khusus (PSID) dipilih untuk membangun set data panel seimbang. Beberapa pengamatan dihapus untuk membuat konsistensi antara kode industri dan ISIC setiap tahun. Selanjutnya, dataset dibersihkan untuk meminimalkan noise dari non-reporting, misreporting, dan kesalahan pengetikan yang jelas pada input. Proses penyesuaian pembersihan kumpulan data mengikuti metodologi yang serupa dengan Sari et al. (2016) dan Sari (2019). Setelah proses penyesuaian untuk membangun data panel keseimbangan, jumlah pengamatan dihapus menjadi 285 perusahaan setiap tahun, sehingga jumlah pengamatan adalah 1995 perusahaan.
Variabel dasar untuk setiap pabrik adalah output yang dikompilasi, aset tetap, nilai tambah, impor bahan baku, ekspor, pangsa asing dan tenaga kerja. Output kotor adalah proxy variabel output. Output kotor mengacu pada nilai total output yang dihasilkan oleh perusahaan pada tahun tertentu. Aktiva tetap digunakan untuk mengukur persediaan modal. Aset modal dapat dibedakan atas tanah dan mesin, bangunan, kendaraan dan barang modal lainnya. Nilai tambah dianggap sebagai perbedaan antara nilai output kotor dan biaya input. Hal ini disebabkan karena kurangnya data tentang jam kerja. Semua data dalam nilai moneter telah diturunkan menjadi nilai riil atau harga konstan tahun 2005, dengan menggunakan indeks harga grosir.
Hasil empiris menunjukkan bahwa integrasi perdagangan komponen merupakan determinan yang signifikan terhadap produksi perusahaan sedangkan intensitas ekspor tidak. Skala produksi yang lebih besar dan ekuitas saham yang lebih tinggi dari kepemilikan asing berhubungan positif dan signifikan dengan produktivitas perusahaan, sedangkan tanda negatif dan signifikan pada persaingan pasar yang lebih tinggi berhubungan dengan produksi perusahaan. Ada efek limpahan horizontal negatif dari perusahaan asing ke produksi perusahaan. Tingkat integrasi perdagangan komponen yang lebih tinggi secara positif terkait dengan produksi perusahaan di industri listrik dan elektronik Indonesia yang menunjukkan pentingnya produksi bersih dibandingkan dengan produksi kotor.
Implikasi kebijakan tersebut mungkin tidak sepenuhnya mendukung kebijakan yang mendorong ekspansi ekspor industri kelistrikan dan elektronika Indonesia. Kebijakan ekspansi ekspor tanpa pengecualian dalam konteks komponen dan rantai nilai global dalam produksi harus dilakukan dengan hati-hati. Di sisi lain, jika ada efek limpahan negatif dari FDI ke industri listrik dan elektronik Indonesia, pembuat kebijakan harus mempertimbangkan apakah masuknya FDI membawa manfaat bagi perusahaan lokal. Pembuat kebijakan harus memastikan bahwa limpahan FDI negatif di industri kelistrikan dan elektronika tidak memberikan keuntungan berlebih sehingga tidak ada potensi kerugian keuntungan dari limpahan FDI. Oleh karena itu, reformasi kelembagaan seperti administrasi pemerintahan, pembangunan infrastruktur modern, peningkatan dan penguatan kelembagaan untuk mempercepat dan menopang pertumbuhan ekonomi dan kebijakan perdagangan diperlukan untuk mengembangkan lingkungan yang lebih kompetitif di seluruh perekonomian.
Penulis: Dyah Wulan Sari, Dra.Ec. M.Ec.Dev., Ph.D
Link Jurnal: https://rigeo.org/submit-a-menuscript/index.php/submission/article/view/428