Bantuan Konseling Bermanfaat Bagi Korban Kejahatan Seksual

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi oleh Tempo

UNAIR NEWS – Luka yang timbul akibat kejahatan seksual adalah bentuk stres besar dalam hidup atau kita sebut sebagai trauma. Kondisi itu tidak dapat diremehkan.

Dari kacamata ilmu psikologi, Dosen Fakultas Psikologi (FPSi) Universitas Airlangga (UNAIR) Margaretha Rehulina, S.Psi., G.Dip.Psych., M.Sc., angkat bicara. Menurutnya, korban kejahatan seksual harus segera mendapatkan bantuan konseling oleh profesional. Bisa melalui psikolog atau psikiater, jika dibutuhkan. Tujuannya adalah membuat korban menjadi kuat dan melanjutkan hidupnya kembali.

“Keluarga atau lingkungan masyarakat sangat penting untuk membantu korban. Misalnya bantuan mengakses layanan konseling agar korban dapat melanjutkan hidupnya kembali,” katanya.

Mempercayai Korban

Berbicara mengenai kesehatan mental korban kejahatan seksual, fakta yang terjadi cukup miris. Pasalnya, orang terdekat seringkali tidak percaya pada cerita korban.

“Jika masih terlalu kecil, dianggap ah anak-anak membuat fantasi mungkin. Atau ketika dia sudah besar dianggap berbohong. Nah ini yang Justru malah menumpulkan keinginan korban untuk mencari bantuan. Akhirnya si korban akan tambah terpuruk dengan luka kejahatan seksual,” ucap dosen yang kerap disapa Retha itu.

Beri Waktu Ekspresikan Emosi

Tahapan berikutnya usai mempercayai cerita korban adalah memberikan kesempatan bagi mereka untuk mengekspresikan emosinya. Perlu dipahami, tutur Retha, berbagai emosi dapat muncul secara alamiah ketika tubuh kita dijarah oleh seseorang. Bisa merasa marah, sedih, menangis, malu, bisa juga diam. Itu terjadi baik pada orang dewasa, anak kecil, maupun pada laki-laki.

“Nah ini jangan dipaksa untuk dikendalikan emosinya. Saya pernah lihat ada orang menangis dibilang jangan menangis kamu harus kuat. Atau sudah, bangkit, jangan ingat masa lalu,” terangnya.

Retha menyampaikan, kondisi itu berbeda pada setiap orang. Ada beberapa orang yang butuh waktu lebih lama untuk memproses emosinya. Untuk itu, setidaknya orang terdekat membantu dengan mendengarkan atau memberikan akses kepada konseling profesional.

“Kita perlu menyediakan kesempatan bagi korban untuk mengekspresikan, memahami, dan mengelola emosinya hingga suatu saat dia yang mengendalikan sendiri emosinya,” tekan Retha.

Tidak Perlu Mengungkit Cerita

Di samping itu, keluarga juga perlu memberikan dukungan terbaik dengan tidak terus-menerus mengulang cerita tentang luka dan trauma korban. Yang sering terjadi di Indonesia, ujarnya, orang-orang terlalu banyak menggali informasi yang tidak dibutuhkan.

“Jadi kalau memang membantu korban kejahatan seksual tidak perlu bergunjing, tidak perlu mengetahui detail, karena tidak perlu semua orang tahu informasi ini. Justru keluarga harus menjaga kerahasiaan tidak perlu informasi ini dibongkar untuk semua tanpa tujuan,” katanya.

Alih-alih untuk menggali informasi, lebih baik memberikan dukungan. Misalkan memfasilitasi minat dan potensi korban untuk melanjutkan hidupnya. Tanpa harus menggali detail traumanya apalagi mempergunjingkan.(*)

Penulis: Erika Eight Novanty

Editor: Khefti Al Mawalia

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp