Sepanjang sejarah, masyarakat adat dan lokal di seluruh dunia telah menggunakan keanekaragaman hayati dan pengetahuan tradisional (TK) untuk makanan, nutrisi, dan obat-obatan sehari-hari. Fungsi keanekaragaman hayati termasuk sumber daya genetik sebagai obat tradisional, khususnya di negara-negara berkembang telah diakui dengan baik oleh masyarakat internasional. Beberapa di antaranya telah didokumentasikan secara nasional, melalui basis data, tetapi masih banyak yang belum terdokumentasi.
Pada era revolusi industri ke-empat ini, keanekaragaman hayati masih memainkan peran penting dalam perekonomian global, yang dikenal sebagai bio-ekonomi, di mana produksi dan pemanfaatan sumber daya dan proses berbasis pengetahuan dianggap sebagai sumber utama untuk menyediakan barang dan jasa secara berkelanjutan.
Pengembangan industri yang berbasis pada life science juga menggunakan keanekaragaman hayati dan TK yang berasal dari masyarakat adat dan lokal sebagai bahan baku untuk mengembangkan varietas tanaman baru, penemuan baru obat-obatan, kosmetik dan produk penting lainnya (Garcia, 2007). Komunitas adat dan lokal ini telah melestarikan keanekaragaman hayati dari generasi ke generasi selama ribuan tahun, tetapi mereka tidak menerima manfaat apa pun dari penemuan dan inovasi tersebut. Praktik ini sangat tidak adil karena mengabaikan peran dan kontribusi masyarakat lokal dalam melestarikan keanekaragaman hayati, sementara industri bioteknologi mendapat untung besar dari penemuan tersebut dan memproteksinya melalui paten dan lisensi.
Konvensi Keanekaragaman Hayati (CBD) mengakui peran TK, inovasi dan praktik masyarakat adat dan lokal dalam konservasi dan pemanfaatan keanekaragaman hayati yang berkelanjutan. CBD meletakkan dasar hukum bagi pemerintah nasional untuk menyediakan peraturan tentang pembagian manfaat secara adil dan merata atas penggunaan dan pemanfaatan sumber daya genetik. Protokol Nagoya juga telah disepakati oleh Para Pihak untuk menerapkan prinsip-prinsip access and benefit sharing (ABS). Setelah CBD berlaku, sejumlah negara menetapkan kerangka hukum tentang ABS untuk pemanfaatan keanekaragaman hayati yang berasal dari wilayah negaranya.
Namun, hingga saat ini, Indonesia belum memiliki kerangka hukum tentang ABS meskipun telah meratifikasi CBD lebih dari (25) dua puluh lima tahun yang lalu. Beberapa negara telah menggunakan mekanisme ABS ini untuk meningkatkan dan menguatkan perekonomian masyarakat lokal. Mekanisme ABS ini sangat penting karena mengandung makna adanya pengakuan TK masyarakat lokal. Ada beberapa kasus yang bisa digunakan sebagai model oleh Indonesia untuk mengembangkan implementasi ABS ini, yaitu: Kasus Kani di India.
Kani adalah salah satu suku asli di Negara Bagian Kerala, India. Suku ini memiliki tradisi memanfaatkan tumbuhan hutan yang berasal dari daerahnya untuk obat-obatan, yaitu tanaman arogyapacha (nama lokal). Buahnya dimakan oleh Suku Kani untuk melawan kelelahan, mengurangi stres, dan meningkatkan stamina (Gupta, 2004). Dari praktek lisan secara turun-temurun, arogyapacha ini kemudian diketahui memiliki khasiat sebagai obat. Berdasarkan informasi dari Suku Kani, pada tahun 1987, bahkan sebelum adanya CBD, Pemerintah Kerala
melalui Tropical Botanic Garden and Research Institute (TBGRI) mengembangkan obat yang berasal dari arogypacha yang dikenal dengan nama Jeevani. TBGRI memperoleh proses paten proses untuk Jeevani dan melisensikannya kepada Arya Vaidya Pharmacy Ltd (AVP) perusahaan herbal terbesar di India selama 7 (tujuh) tahun dengan biaya lisensi US $ 50.000 ditambah royalti 2% selama 10 tahun mulai dari waktu produksi komersial.
TBGRI membagi royalti dan biaya lisensi yang diperoleh dari AVP untuk memberikan pengakuan atas kontribusi masyarakat Kani. Meskipun pada saat itu, tidak ada hukum dan kebijakan nasional di India yang menekankan pembagian keuntungan antara masyarakat adat dan lembaga yang terlibat dalam penggunaan pengetahuan masyarakat tradisional. Pemerintah membentuk Kerala Kani Samudaya Welfare Trust (KKSWT) untuk mewakili komunitas Kani dan untuk mempromosikan skema pembagian manfaat ini. Menariknya, Perjanjian Lisensi antara TBGRI dan AVP diatur oleh Hukum Perdata India, tetapi tidak mengikat secara hukum. Berdasarkan Perjanjian, TBGRI memberikan 50% biaya lisensi dan 50% royalti yang diperoleh dari AVP kepada masyarakat lokal.
Pada tahun 1999, jumlah yang diterima KKSWT adalah $12.500. Uang tersebut ditransfer ke KKSWT dengan kesepakatan bahwa hanya bunga yang diperoleh dari jumlah uang tersebut yang akan digunakan untuk kesejahteraan Suku Kani. TBGRI juga telah melatih sejumlah keluarga dari suku tersebut untuk menanam arogyapacha di sekitar rumah mereka di dalam hutan. Pada tahun pertama penanaman, setiap keluarga menerima US$ 180 untuk penjualan daun arogyapacha, tetapi kemudian Departemen Kehutanan Kerala (KFD) menghentikan penanaman tanaman tersebut. Kemudian KKSWT yang mewakili lebih dari 700 KK mulai menyediakan pekerjaan bagi Suku Kani sebagai penggarap dan pengolah tanaman, sekaligus memastikan teknik panen tetap lestari.
Kasus ini menunjukkan bahwa pengaturan akses dan pembagian keuntungan memberikan manfaat finansial dan non-finansial yang signifikan dalam bentuk peningkatan kapasitas, asuransi kesehatan, dan pemanfaatan sumber daya alam secara berkelanjutan. Dengan demikian, memberdayakan ekonomi dan kapasitas masyarakat lokal.
Kasus Kani ini sangat unik dan luar biasa karena ABS sudah diterapkan ada sebelum CBD berlaku, dan pengaturan ABS pada kasus ini didukung penuh oleh pemerintah, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan masyarakat sekitar. Meskipun pengaturan ABS ini tidak mengikat secara hukum, tetapi dipatuhi dan efektif. Kasus ini bisa diterapkan di Indonesia, sehingga sumber daya genetik dan keanekaragaman hayati yang dimiliki Indonesia dapat digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Mekanisme pembagian keuntungan ini dapat menjadi alat yang penting untuk mencapai kemakmuran tersebut, terutama bagi masyarakat lokal, pemelihara biodiversity.
Penulis: Nurul Barizah
Link Jurnal: https://rigeo.org/submit-a-menuscript/index.php/submission/article/view/407/314