UNAIR NEWS – Kesenian tradisional harus tetap lestari meskipun di era milenial. Seperti halnya kesenian Ludruk yang menjadi identitas Surabaya.
Guna mendukung tetap lestarinya Ludruk, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga (FIB UNAIR) menggelar workshop kesenian pada Senin (29/11/2021). Acara tersebut mengusung topik yakni Peningkatan Potensi Kesenian Mahasiswa.
“Generasi muda sekarang utamanya mahasiswa di bidang kebudayaan, harus menjadi pelopor berkesenian. Karena siapa lagi yang akan melestarikan kesenian, terkhusus kesenian tradisional yakni Ludruk. Oleh sebab itulah acara ini hadir,” ujar Moch. Jalal, S.S., M.Hum selaku Dosen Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia pada sesi pembuka.
Sejalan dengan hal itu, Dr. Listiyono Santoso, S.S., M.Hum juga mengatakan bahwa mahasiswa FIB penting untuk menjadi garda terdepan bagi upaya pelestarian, pemanfaatan, dan pengembangan seni tradisional termasuk Ludruk tersebut. Hal itu sejalan dengan slogan FIB UNAIR yakni ‘membangun negeri berbasis tradisi.’
“Kita boleh menjadi modern, namun tanpa menghilangkan identitas tradisional,” tutur Wakil Dekan I FIB UNAIR tersebut.
Pentingnya pelestarian dan pengembangan seni tradisional juga turut didukung oleh pendapat ketiga narasumber. Ketiganya yakni Edi Karya, Meimura, dan Robert Bayoned yang sudah mumpuni di bidang seni tradisional Ludruk.
“Ada beberapa kiat untuk menjaga Ludruk di era sekarang atau milenial ini,” ungkap Edi Karya yang menjadi pembicara pertama. Pegiat kelompok Ludruk Karya Budaya tersebut menyebutkan, bahwa penting untuk tetap menjaga pakem Ludruk di era milenial. “Misalnya kidungan, itu harus tetap ada sebagai pembuka Ludruk,” sambungnya.
Selanjutnya menurut Edi Karya, bahwa pelibatan anak-anak milenial begitu penting. Minimal mereka mau menonton Ludruk. “Kedua kiat tersebut kemudian didukung dengan peningkatan Sumber Daya Manusia pemain Ludruk dan pemanfaatan media sosial,” terang pegiat Ludruk senior tersebut.
Menyambung dari pemaparan sebelumnya, Meimura sebagai pembicara selanjutnya, menyetujui bahwa memang Ludruk harus tetap lestari. Karena menurutnya dalam Ludruk, terkandung banyak nilai moral seperti patriotisme dan kebangsaan. Selain itu, setiap Ludruk yang dimainkan pasti memiliki tujuan.
“Kalau milenial tidak mampu melahirkan Ludruk, ya berarti ada kecelakaan moral kebangsaan dan kebudayaan. Karena sebelum-sebelumnya, perkembangan zaman mampu ditandai dengan Ludruk,” tegas pegiat dan pemain Ludruk Monthero itu.
Mendukung keinginan kedua pembicara sebelumnya, Robert Bayoned yang lebih dekat dengan era milenial mengungkapkan caranya memperkenalkan Ludruk di masa sekarang. Melalui kelompok Ludruk bernama Ludrukan Nom-Noman Tjap Arek Suroboyo (Luntas), menampilkan kesenian tersebut secara ringkas di depan kelompok-kelompok milenial.
“Jadi misalnya ada perkumpulan milenial, kami tampil di situ secara ringkas dan singkat saja. Tujuannya untuk menarik perhatian awal dari mereka. Ini sebagai langkah awal sebelum kita optimis bahwa generasi milenial dapat mendalami Ludruk secara keseluruhan,” ungkapnya.
Terakhir, Robert berharap bahwa Ludruk tidak hanya menjadi bahan kajian ilmiah. “Bantu juga untuk mengembangkan keseniannya,” tutupnya.
Penulis: Fauzia Gadis Widyanti
Editor: Khefti Al Mawalia