Perdagangan global merupakan penentu penting dari pertumbuhan ekonomi dan fitur penting dari akuisisi produksi. Dalam situasi ini, perdagangan biasanya mengacu pada pertukaran barang jadi. Ukuran ini dihitung dengan barang yang diekspor dibagi dengan total barang yang diproduksi, yang diakui sebagai intensitas ekspor dan dicerminkan sebagai indikator utama daya saing. Di sisi lain, fenomena perdagangan global yang dibentuk oleh penggunaan input oleh produsen yang diimpor oleh produsen untuk menghasilkan output yang kemudian diekspor, belum sepenuhnya diakui. Fenomena ini kebanyakan muncul pada perusahaan asing yang dimiliki oleh perusahaan multinasional (MNCs) yang dapat melakukan proses produksi atau sub-kontrak mereka ke negara lain yang memiliki input berbiaya rendah.
Artinya, eksportir dari pabrik dalam negeri mengekspor barang jadi dengan menggunakan input lokal, sedangkan eksportir dari pabrik asing yang dimiliki oleh MNC diperbolehkan untuk mengurai proses produksinya atau melakukan outsourcing ke negara lain yang input penggunaannya murah. Baru-baru ini, beberapa studi empiris berfokus pada peran perdagangan barang yang terfragmentasi. Perdagangan barang komponen lintas batas sebagai akibat dari proses produksi yang terfragmentasi telah menjadi fitur utama dalam transaksi global, terutama untuk komponen produk berteknologi tinggi. Perdagangan internasional pembuatan komponen berteknologi tinggi di Asia Timur umumnya tumbuh lebih cepat dari total perdagangan dunia
Data industri berasal dari survei tahunan produsen menengah dan besar. Survei ini dirancang untuk semua produsen dengan setidaknya 20 karyawan. Semua data diambil dari Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia. Sayangnya, publikasi terbaru dari data industri yang disediakan oleh BPS adalah tahun 2014. Oleh karena itu, data produsen menengah-besar yang digunakan dalam penelitian ini hanya mencakup periode 2010-2014. Data tambahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah indeks harga grosir. dan tabel input-output (IO) tahun 2010. Data indeks harga grosir digunakan untuk mengempiskan nilai output dan semua input menjadi nilai riil dengan harga konstan untuk 2010, kecuali tenaga kerja.
UNIDO (2019) mengklasifikasikan industri manufaktur berteknologi tinggi berdasarkan intensitas teknologi menjadi tiga kategori. Yaitu industri dengan teknologi tinggi dan menengah-tinggi, teknologi menengah, dan teknologi rendah. Penelitian ini menggunakan data panel yang tidak seimbang dengan industri manufaktur berteknologi tinggi dan menengah-tinggi. Selanjutnya, industri yang diteliti ini disebut industri manufaktur berteknologi tinggi. Menurut International Standard Industrial Classification (ISIC), terdapat 7 kelompok industri manufaktur berteknologi tinggi dengan tingkat ISIC 2 digit dan 107 kelompok dengan tingkat ISIC 5 digit. Semua industri manufaktur berteknologi tinggi dalam penelitian ini dikategorikan berdasarkan level ISIC 5 digit.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat bukti limpahan FDI negatif ke belakang dan ke depan positif pada tingkat efisiensi perusahaan, tetapi pada limpahan horizontal tidak ditemukan. Hasilnya juga membuktikan bahwa perusahaan asing di industri teknologi tinggi lebih efisien daripada perusahaan lokal. Dampak negatif backward spillover dari korporasi asing berimplikasi pada kebijakan mendorong FDI. Pemerintah harus mempertimbangkan apakah keberadaan FDI membawa keuntungan bagi produsen lokal. Karena afiliasi multinasional berpotensi merugikan produsen dalam negeri, pemerintah Indonesia sebagai pembuat kebijakan harus mewaspadai kehadiran perusahaan asing. Itu harus memastikan bahwa kerugian dari FDI yang datang tidak melampaui keuntungan totalnya. Namun, di mana keuntungan dari FDI yang masuk mengimbangi kerugian mereka, pembuat kebijakan harus mendukung masuknya perusahaan multinasional di Indonesia sebagai negara tuan rumah.
Lebih jauh lagi, tingkat integrasi perdagangan yang terfragmentasi yang lebih besar benar-benar terkait dengan tingkat efisiensi perusahaan dalam industri teknologi tinggi, yang menunjukkan pentingnya produksi bersih dibandingkan dengan produksi kotor. Perdagangan yang lebih terfragmentasi secara positif terkait dengan produksi perusahaan-perusahaan di industri teknologi tinggi Indonesia, dengan demikian menunjukkan pentingnya produksi bersih relatif terhadap produksi kotor. Implikasi kebijakan dari hasil ini menegaskan bahwa pemerintah harus mempertimbangkan apakah keberadaan MNC di industri teknologi tinggi membawa manfaat bagi produsen lokal.
Penulis: Dyah Wulan Sari, Wenny Restikasari, Shochrul Rohmatul Ajija, Haura Azzahra Tarbiyah Islamiya, dan Darmawati Muchtar