Helicobacter pylori adalah bakteri patogenik yang menginfeksi lambung manusia [2, 3]. Infeksi kronik dari H. pylori memicu perkembangan penyakit gastroduodenal seperti gastritis, duodenal ulcer dan adenokarsinoma lambung [3]. H. pylori diyakini menginfeksi setengah dari populasi dunia, dan prevalensinya telah dilaporkan lebih tinggi di negara berkembang daripada di negara maju .
Eradikasi H. pylori telah terbukti menurunkan insiden adenocarcinoma lambung oleh karena itu deteksi dini infeksi H. pylori sangat penting sebagai langkah pencegahan [4]. Deteksi infeksi H. pylori dapat diperoleh melalui tindakan invasif dan non-invasif. Deteksi H. pylori melalui endoskopi bagian atas, biopsi lambung, dan kultur membuktikan infeksi sekaligus mengevaluasi perkembangan abnormal dari mukosa lambung [5]. Namun, metode ini memiliki banyak efek samping, mahal serta memakan waktu. Selain itu, dalam pemeriksaan histologis sampel biopsi, hanya sebagian kecil lambung yang dinilai. Deteksi infeksi secara non-invasive dinlai lebih superior untuk tujuan skrining dibandingkan dengan deteksi secara invasive. Apalagi di negara yang memiliki resiko infeksi yang tidak terlalu tinggi serta kapasitas ekonomi yang terbatas seperti di salah satu negara berkembang, Sri Lanka.
Penggunaan serum anti-Helicobacter pylori IgG dan deteksi serum pepsinogen (PG) yang terdiri dari PGI dan PGII sebagai metode diagnostik dievaluasi di Sri Lanka. Biopsi lambung dilakukan (353 pasien), dan prevalensi infeksi H. pylori adalah 1,7% (kultur) dan 2,0% (histologi). Pengujian serologi IgG menunjukkan area under the curve (AUC) sebesar 0,922 (cut-off, 2,95 U/mL; spesifisitas, 91,56%; sensitivitas, 88,89%). Evaluasi histologis menunjukkan atrofi ringan (34,3%), atrofi sedang (1,7%), metaplasia (1,7%), gastritis kronis (6,2%), dan jaringan normal (56%). Rasio PGI/PGII secara signifikan lebih tinggi pada pasien H. pylori-negatif (p <0,01). Kadar PGII dan PGI/PGII lebih rendah pada pasien dengan metaplasia dibandingkan pada pasien dengan mukosa normal (p = 0,049 dan p <0,001). Rasio PGI/PGII metaplasia diskriminatif terbaik dan atrofi sedang (AUC 0,88 dan 0,76, masing-masing). PGI dan PGII saja menunjukkan kemampuan diskriminatif yang buruk, terutama pada atrofi ringan (masing-masing 0,55 dan 0,53) dan gastritis kronis (masing-masing 0,55 dan 0,53). Batas terbaik untuk membedakan metaplasia adalah 3,25 U/mL (spesifisitas 95,19%, sensitivitas 83,33%). Anti-H. pylori IgG dan penilaian PG (metode ABC) dilakukan (kelompok B, 2,0%; kelompok A, 92,1%). Cut-off baru lebih akurat mengidentifikasi pasien dengan metaplasia yang membutuhkan tindak lanjut (kelompok B, 5,4%).
Penelitian ini mengungkapkan prevalensi infeksi H. pylori yang sangat rendah di Sri Lanka menurut tiga metode diagnostik. Namun, infeksi masih menyebabkan kerusakan signifikan pada histopatologi lambung; dengan demikian, diagnosis dan pemberantasan H. pylori yang efektif tetap dibutuhkan. Dari studi ini ini diketahui bahwa serologi IgG cukup efektif dalama dalam mendeteksi H. pylori. Rasio PGI/PGII juga bisa menjadi biomarker alternatif yang efektif untuk menentukan status mukosa lambung, terutama metaplasia, bersama dengan H. pylori IgG.
Penulis: Kartika Afrida Fauzia, dr
Link jurnal: https://www.mdpi.com/2075-4418/11/8/1364