UNAIR NEWS – Dunia digital saat ini memudahkan setiap orang untuk melakukan kegiatan cyber aktivism. Yaitu istilah yang merujuk pada ruang kebebasan bagi setiap orang untuk berbicara tanpa adanya hambatan dan sensor di dunia siber. Namun sayangnya, pemerintah justru sering kali melakukan turn back kritis melalui Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) serta banyak dari para aktivis yang menerima serangan teror siber.
Hal itu menjadi perhatian khusus bagi Luky Sandra Amalia, S.IP., M.D.S., dalam Talkshow Nasional Airpol 6.0 yang diselenggarakan oleh HIMA Ilmu Politik Universitas Airlangga (UNAIR).
“Cyber aktivism sangat efektif dijadikan sebagai mobilitasi bagi masyarakat untuk menekan segala kebijakan dari pemerintah,” terang Peneliti Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) itu.
Namun, Luky melanjutkan bahwa tidak adanya perlindungan dari negara sering kali menyebabkan para aktivis menerima berbagai ancaman di dunia digital. Adapun aktivis tersebut, berdasarkan pemaparannya biasanya terdiri dari para kritikus yang selalu mengkritisi kebijakan pemerintah, mahasiswa, akademisi, jurnalis, ataupun warganet lainnya.
Beberapa bentuk teror yang kerap diterima oleh aktivis siber adalah peretasan media sosial WhatsApp dan Instagram, teror telepon dari nomor luar negeri, dan berbagai ujaran caci maki dengan kalimat yang tidak senonoh.
“Para aktivis siber belum memiliki perlindungan dari negara, sehinga mereka mudah menerima serangan teror. Mengingat semakin banyaknya aktivis yang menjadi korban, maka RUU Perlindungan Data Pribadi harus segera disahkan,” tekannya.
Menurut Luky, RUU Perlindungan Data Pribadi sangat penting untuk menjamin keamanan dari para aktivis siber. Dengan begitu, mereka bisa melakukan aktivitas demokrasi di ruang digital tanpa dihantui bayang-bayang ketakutan yang bisa membahayakan data pribadinya.
Selain itu, melihat banyaknya aktivis yang justru terkena serangan balik UU ITE, Luky menilai pemerintah perlu melakukan beberapa tindakan. Di antaranya yaitu mulai komit dengan demokrasi deliberatif yang membuka partisipasi luas agar masyarakat terlibat dalam perumusan kebjakan, terbuka menerima berbagai kritik dengan tidak mudah melaporkan secara kriminal, dan segera membereskan para buzzer yang sering kali memproduksi berita hoax.
“Mudah-mudahan negara bisa segera hadir untuk melakukan kewajibannya untuk melindungi keamanan warga negara melalui RUU Perlindungan Data Pribadi,” pungkasnya.
Penulis : Nikmatus Sholikhah
Editor : Feri Fenoria