UNAIR NEWS – Prodi S1 Kesehatan Masyarakat PSDKU UNAIR Banyuwangi memiliki program rutin berupa kuliah tamu. Untuk kali ini, diadakan kuliah tamu bertajuk “Penganggaran dan Integrasi Program Kesehatan di Daerah” yang dilaksanakan secara online melalui Zoom Meeting dan live streaming di Youtube pada Jumat pagi (19/11/2021).
“Kegiatan pagi ini membahas topik terkait dengan penganggaran yang merupakan salah satu fungsi dari manajemen. Jika kita lihat dari kompetensi S.KM. (Sarjana Kesehatan Masyarakat), maka perlu untuk dipahami terkait penganggaran. Fungsi dari penganggaran ini cukup krusial karena kalau kita membicarakan perencanaan, agar bisa dilaksanakan secara optimal maka butuh penganggaran yang baik,” ungkap Syifaul Lailiyah S.KM., M.Kes dalam sambutannya selaku Sekretaris Prodi S1 Kesehatan Masyarakat PSDKU UNAIR Banyuwangi mewakili Koordinator Program Studi (KPS).
Dalam kuliah tamu tersebut, panitia mendatangkan Sony Efriandi, SKM., M.Kes. yang berasal dari Dinas Kesehatan Kota Jambi. Seperti kuliah tamu pada umumnya, sesi dibagi menjadi sesi pemaparan materi dilanjutkan oleh sesi tanya jawab yang dipandu oleh Diansanto Prayoga, S.KM., M.Kes selaku moderator.
“Terkait masalah penganggaran ini menjadi suatu isu yang tidak selesai-selesai dibahas. Apalagi sekarang terkait dengan kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah itu menjadi polemik yang muncul kembali,” ungkap Sony Efriandi mengawali sesi pemaparan materinya.
Di akhir Oktober, sambungannya, terdapat informasi dari beberapa daerah bahwa telah dikeluarkan lagi juknis terkait dengan Dana Alokasi Khusus untuk non fisik yang menjadikan polemik terkait penganggaran muncul kembali. Selama ini fasilitas pelayanan kesehatan daerah terutama puskesmas memanfaatkan DAK Non Fisik untuk hampir keseluruhan programnya. Namun, sekarang kewenangan daerah terkait anggaran tersebut dibatasi hanya menjalankan fungsi dari kewenangan pusat.
“Jadi sudah ditentukan ada 5 program saja yang bisa menggunakan DAK. Sehingga untuk program pelayanan kesehatan esensial yang lain, sekarang daerah kebingungan karena anggarannya terus terang dari APBD itu sangat minim bahkan di beberapa daerah itu tidak ada,” terang Sony.
Sebenarnya, lanjut Sony, semenjak dikeluarkannya PP No. 21 tahun 2004, pemerintah pusat sudah melaksanakan proses perubahan. Dari proses penganggaran yang tradisional yang hanya berfokus pada besarnya jumlah alokasi sumber daya menjadi penganggaran berbasis kinerja yang berfokus pada hasil yang dicapai dari penggunaan sumber daya.
“Jadi sebenarnya secara peraturan sudah berlaku sejak lama, tapi ternyata secara pelaksanaannya masih berfokus pada penganggaran tradisional. Hal ini nanti yang akan kita bahas bagaimana pelaksanaannya dengan anggaran yang minim serta bagaimana pada akhirnya integrasi program itu menjadi suatu hal yang krusial,” ungkapnya.
Sony menjelaskan bahwa dalam menyusun penganggaran berbasis kinerja diperlukan kerangka bangun indikator kinerja yang memuat input (SDM, sarana prasarana, dana), kegiatan (proses kegiatan yang menggunakan input), output (hasil dari proses), outcome (manfaat dalam jangka menengah sebagai hasil dari output), dan dampak (hasil pembangunan yang diperoleh dari pencapaian outcome).
“Dalam kesehatan, kalau di daerah tidak memiliki anggaran (input) untuk melaksanakan pembangunan kesehatan di bidang yang lain, maka indikator kinerja minimal diukur dari 12 SPM kesehatan yang harus dicapai 100%,” terangnya.
Selain itu, imbuhnya, untuk mengatasi masalah keterbatasan sumber daya tersebut, dapat dilakukan dengan cara integrasi program. Menurut Sony, integrasi program merupakan satu-satunya jalan untuk mencapai target indikator kesehatan baik di daerah maupun pusat. Kunci dari integrasi program tersebut adalah sinkronisasi target.
“Jadi, kata kuncinya adalah setiap kita mau merencanakan suatu program, kita tentukan dulu indikator kinerjanya, sehingga nanti akan mendapatkan hasil yang optimal,” tegasnya di akhir presentasi.
Penulis: Tyas Ratna Manggali
Editor: Nuri Hermawan