Manajemen Risiko pada Pinjaman Online di Tengah Pandemi Covid-19

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi by Tirto ID

Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi (LPMUBTI) atau Fintech Lending atau biasa disebut dengan pinjaman online (Pinjol)  adalah salah satu inovasi pada sektor jasa keuangan dengan pemanfaatan teknologi yang memungkinkan pemberi pinjaman dan penerima pinjaman melakukan transaksi pinjam meminjam tanpa harus bertemu langsung. Mekanisme transaksi pinjam meminjam dilakukan melalui sistem yang telah disediakan oleh Penyelenggara Fintech Lending, baik melalui aplikasi maupun laman website.  Berdasarkan data di OJK Per 25 Oktober 2021 terdapat 104 perusahaan fintech lending yang berizin dan terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan (OJK)

Pinjol menawarkan pendanaan yang cepat, (sebagian besar) tanpa agunan dengan syarat/proses lebih mudah karena dapat dilakukan dengan menggunakan smartphone saja. Kemudahan tersebut meningkatkan ketertarikan masyarakat untuk memanfaatkannya apalagi dengan adanya pandemik covid-19 yang sangat memukul perekonomian sehingga masyarakat lebih memilih meminjam uang lewat pinjol dibandingkan mengajukan kredit ke bank.  Bahkan disebutkan bahwa selama pandemik pinjol meningkat drastis. Akan tetapi, banyak masyarakat yang tidak bisa membedakan antara pinjol yang terdaftar/berizin oleh OJK dengan pinjol yang tidak terdaftar/berizin oleh OJK sehingga banyak menimbulkan problem hukum. Adanya berita seorang ibu di Depok gantung diri karena terlilit utang pinjol, demikian juga dialami pegawai bank perkreditan di Bojonegoro yang bunuh diri karena terlilit pinjol. Pinjol yang tidak terdaftar/berizin menawarkan bunga yang lebih tinggi dari pinjol yang terdaftar/berizin yaitu rata-rata 2 % bahkan bisa lebih dari 3 %, akibat bunga yang tinggi dan adanya keterlambatan membayar mengakibatkan jumlah pinjamannya semakin membengkak. Berbeda dengan pinjol yang terdaftar/berizin harus mengacu pada code of conduct AFPI yang diatur oleh Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI), bahwa jumlah total biaya pinjaman tidak melebihi suku bunga flat 0,8% per hari. Juga adanya ketentuan bahwa jumlah total biaya, biaya keterlambatan, dan seluruh biaya lain maksimum 100% dari nilai pinjaman. Di samping itu, karena terdaftar/berizin oleh OJK maka OJK dapat mengawasi kegiatan pinjol tersebut sehingga jika terjadi pelanggaran maka dapat dikenakan sanksi administratif berupa peringatan tertulis, denda, pembatasan kegiatan usaha dan pencabutan izin.

Di sisi lain pinjol memunculkan risiko yang dihadapi oleh penyelenggara dan pemberi pinjaman. Salah satunya adalah risiko kredit, yaitu risiko kegagalan pihak penerima pinjaman dalam memenuhi kewajiban kepada pemberi pinjaman, dalam hal ini penerima pinjaman telah wanprestasi kepada pemberi pinjaman. Risiko kredit bertambah besar karena ketiadaan agunan sehingga pemberi pinjaman hanya berkedudukan sebagai kreditor konkuren yang dijamin oleh jaminan umum diatur pada Pasal 1131 BW. 

Salah satu manajemen risiko kredit yang dilakukan oleh OJK, yaitu berkolaborasi dengan AFPI, membuat Pusat Data Fintech Lending (Pusdafil). Pusat data ini bakal memuat informasi terkait calon peminjam yang terindikasi melakukan penipuan (fraud), terlambat membayar pinjaman, dan meminjam di lebih dari satu perusahaan fintech lending. Ada tiga hal utama dalam manajemen risiko penyaluran pinjaman yang dapat didukung oleh Pusdafil. Pertama, indikasi fraud atau penipuan. Fraud yang dimaksud adalah transaksi pinjamannya belum terjadi. Akan tetapi, ada upaya pengajuan pinjaman dengan menggunakan nomor KTP yang terbukti tidak terdaftar di Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri RI. Lewat Pusdafil, penyelenggara dapat mengecek apakah calon peminjam tersebut pernah melakukan fraudatau tidak. Calon peminjam yang terindikasi fraudtidak akan diberikan pinjaman. Kedua, daftar hitam peminjam. Daftar ini memuat orang-orang yang tidak membayar pinjamannya lebih dari 90 hari. Akan tetapi, peminjam bisa keluar dari daftar tersebut apabila melunasi utangnya. Apabila peminjam tidak mau melunasi utang, maka AFPI akan mengusahakan peminjam masuk daftar hitam dan tidak bisa mengakses pinjaman dari institusi keuangan lain yang masih dalam pengawasan OJK. Hal ini dilakukan sebagai efek jera sehingga peminjam tidak bisa mengajukan pinjaman motor di multifinance, tidak bisa ambil KPR di bank. Ketiga, jika peminjam yang meminjam di lebih dari satu perusahaan fintech lending. Data tersebut bakal menjadi pertimbangan bagi suatu perusahaan untuk meloloskan pengajuan pinjaman orang tersebut. Peminjam yang meminjam lebih dari satu perusahaan  pinjol dapat meningkatkan risiko penyaluran pinjaman. Kehadiran Pusdafil ini dapat mereduksi risiko penyaluran pinjaman karena fraud dan gagal bayar.

Kegiatan pinjol telah memberikan kemudahan, kecepatan, kepraktisan dalam pinjam meminjam tetapi di sisi lain banyak problem hukum bilamana pinjol tersebut tidak terdaftar/berizin oleh OJK. Disamping itu, juga memunculkan risiko kredit yang disebabkan oleh adanya keterlambatan pembayaran bahkan gagal bayar oleh penerima pinjaman. Risiko kredit tersebut akan menjadi tanggungan dari penyelenggara maupun pemberi pinjaman. Oleh karena itu, perlunya mengadopsi analisis kredit 5C (karakter, modal, kapasitas, agunan, kondisi) sebagai cara untuk meminimalkan risiko kredit. OJK belum mengatur manajemen risiko untuk pinjol secara komprehensif. Dengan demikian, pinjol harus mengikuti model yang ada dari lembaga perbankan untuk mengelola risikonya.         

Penulis: Trisadini Prasastinah Usanti, Fiska Silvia Raden Roro, Nur Utari Setiawati

Opini dari artikel dengan judul:

MANAGING THE RISK FOR FINTECH LENDING AMID THE GLOBAL PANDEMIC CORONA VIRUS

Jurnal Hukum & Pembangunan 51 No. 1 (2021): 229-244 ISSN: 0125-9687 (Cetak) E-ISSN: 2503-1465 (Online)

DOI: http://dx.doi.org/10.21143/jhp.vol51.no1.2867

http://jhp.ui.ac.id/index.php/home/article/view/3017

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp