Agensi dan Retrospeksi Geopolitik Global

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Foto oleh forum.teropong.id

Para analis internasional dan politik strategis sedang ramai mendiskusikan kebijakan luar negeri Presiden Amerika Serikat Joe Biden yang ternyata tetap melanjutkan elemen-elemen fundamental persaingan sengit dengan Tiongkok, sebagaimanan diterapkan Donald Trump. Bahkan selama empat bulan pertama memimpin Gedung Putih, Biden sudah berkali-kali mengirim sinyal terbuka; Tiongkok harus terus dihadapi dan supremasi global Amerika dipertahankan. Referensi akademik terkemuka seperti The Military Balance melaporkan hingga awal Maret 2021, proyek pengembangan jet tempur F-35 Pentagon menelan biaya 1,7 triliun dollar, masih lebih besar dari pengeluaran unit militer sejenis dari seluruh negara Eropa anggota NATO ditambah Rusia, serta Tiongkok.

Namun, uang belanja pertahanan Washington belumlah cukup. Pesawat secanggih F-35 baru salah satu dari ratusan agenda fantastis Pentagon, termasuk sistem perang antariksa, yang menurut perkiraan Brookings Institution pada Februari 2021 bisa mencapai 240 triliun dollar. Tidak ada yang tahu pasti berapa banyak yang telah dan akan dihabiskan Pentagon, sebab tidak seorang auditor pun berhasil memeriksa dengan presisi keuangan Departemen Pertahanan Amerika tersebut. Anggaran siluman dan praktek pembelanjaan semasa perang Afghanistan dan Irak (2001-2003) pun masih teka teki.

Menteri Pertahanan pilihan Biden, LIoyd Austin, malah bersikeras ia dan jajaran Pentagon butuh lebih banyak lagi dana guna membela Amerika melawan “great Chinese threat”. Saat melawat ke Tokyo, Maret 2021 lalu, Austin menyebut Indo-Pasifik jadi kancah utama pertarungan kekuatan dimana Beijing nyata-nyata menantang keabsahan kepemimpinan Amerika untuk memelihara stabilitas dan keamanan kawasan. Gayung bersambut, penasehat militer Biden mengamini tambahan 400 miliar dollar akan diberikan kepada Divisi Indo-Pasifik Angkatan Laut Amerika. Tujuannya senada, menghalau bahaya yang datang dari Tiongkok.

Jenderal dan politisi boleh membuat prediksi apapun berkenaan dengan dinamika geopolitik dan geostrategi. Tetapi, pertanyaannya dalam bentuk apakah ancaman Tiongkok terhadap Amerika, sehingga Washington harus habis-habisan mengeenjot anggaran militer? Jawabnya, ancaman itu hanya kreasi intelektual pesimistik yang kemudian diterjemahkan menjadi persepsi kebijakan keliru. Apakah Tiongkok pernah menyerang basis pertahanan ataupun negara sekutu Amerika? Apakah Beijing memperlihatkan gelagat kuat hendak mengambil alih Timur Tengah, terlebih lagi mendepak posisi Israel dari Teluk? Apakah Tiongkok mengganggu Amerika Latin? Tentu daftar panjang pertanyaan lanjutan bisa diajukan. Yang jelas, respons umum dan valid secara empiris ialah tidak sekalipun angkatan perang Tiongkok berani mengobok-obok wilayah tradisional kekuasaan Amerika. Lalu senjata super mahal dan hebat itu buat apa? Ilmuwan Politik dan mantan Menteri Luar Negeri Amerika Henry Kissinger blak-blakan mengatakan selama tiga dekade Washington bersaing dengan Beijing, kegagalan terbesar adalah tidak ada strategi, hanya reaksi spontan tanpa visi terencana.

Sementara itu, Beijing semakin giat. Hingga awal tahun 2021, Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB) besutan Presiden Xi Jinping sudah menggelontorkan pinjaman senilai 1,5 triliun dollar ke ke lebih 70 negara yang turut serta dalam program pembangunan infrastruktur terkoneksi global Tiongkok; Belt and Road Initiative. Angka ekonomi yang mendekati pengeluaran militer Amerika, meskipun dengan tujuan berbeda dan bertolak belakang. Yang satu diciptakan untuk menghancurkan sesuai skenario perang, sedangkan yang lain dirancang guna mendatangkan keuntungan material berorientasi jangka panjang. Ambisi ekonomi Tiongkok pun dikawal oleh senjata dan tentara modern, walaupun dalam hal jumlah dan kapabilitas jauh di bawah Amerika. Untuk seluruh kegiatan pembangunan konektivitas maritim dunia Tiongkok hanya memiliki tiga pangkalan luar negeri, sementara Amerika punya 800 landasan tempur aktif tersebar di segenap penjuru samudra Pasifik, Hindia hingga Antlantik.

Rezim komunis yang berkuasa di Beijing memang fakta politik. Hanya saja apakah ideologi totaliter mereka diekspor ke seluruh dunia seperti dilakukan Uni soviet saat Perang Dingin? Tidak. Beijing cuek. Siapa saja yang mau berkawan dan berdagang sejauh sama-sama untung, maka akan dirangkul, entah demokratis atau otoriter, begitu pula teokrasi ataupun sekuler diajak bergandengan tangan. Justru musuh bebuyutan Tiongkok adalah negara sosialis, Vietnam, yang selama 2000 tahun lalu mereka bertetangga hingga kini belum pernah rukun. Taiwan merupakan persoalan paling sensitif. Mungkin satu-satunya sebab Beijing angkat senjata melawan negara lain, termasuk Amerika, jika taiwan secara resmi mengumumkan merdeka dan didukung oleh aktor lain. Inipun jauh dan belum tentu terjadi.

Seorang pakar politik internasional Mark Beeson menulis di Current History (2016), tidak kurang dari 60 miliar dollar transaksi dagang dan keuangan antara komunitas bisnis Amerika dan Tiongkok tercatat setiap hari, dan perusahaan-perusahaan multinasional kedua negara saling berkontribusi dalam mempromosikan jejaring produksi industri global, lalu mengapa mengedepankan rivalitas, bukankah mereka hidup berdampingan (co-exist). Kalau Beijing benar-benar berniat menyaingi Washington sebagai adi daya, adakah bukti menunjukkan upaya untuk itu mencapai hasil, atau setidaknya memberi manfaat politik bagi Tiongkok? Apakah dengan miliaran dollar kucuran modal dari AIIB Beijing sukses membuat dunia berpaling dan meninggalkan segala yang berasal dari Amerika? Tidak. Yang terjadi berkebalikan. Sentimen nasionalis anti-Tiongkok merebak di berbagai negara jalur yang dilalui Belt and Road Initiative.

Bisa dikatakan Tiongkok pun gagal dalam kompetisi dengan Amerika. Xi Jinping memang mampu menyulap wajah Tiongkok agar semakin glamor, namun tidak berhasil membuat Beijing mendapat status sebagai pusat peradaban dunia seperti inti falsafah politik yang dianut para petinggi Partai Komunis di Beijing. Begitu pula Clinton, Bush, Obama, Trump dan kemungkinan besar Biden tidak menunjukkan tanda-tanda positif keberhasilan menggiring masyarakat internasional untuk menjauhi Tiongkok. Isu pelanggaran HAM, genosida, pencemaran lingkungan dan pembajakan hak cipta yang kerap dituduhkan terhadap Tiongkok ditanggapi santai dan lebih sering diabaikan Beijing. Gelombang panas politik Covid-19 pun ditepis lewat diplomasi kultural Tiongkok.

Kericuhan kompetisi Amerika Tiongkok berbuah pahit bagi umat manusia. Masalah-masalah riil dan serius di depan mata terbengkalai. Perubahan iklim yang kian berdampak rumit belum kunjung terselesaikan secara diplomatis hanya gara-gara Beijing dan Washington sama-sama egois. Pembantaian warga sipil Myanmar tidak tersentuh oleh intervensi internasional. Penanganan krisis corona tidak padu ditambah kekacauan akibat nasionalisme vaksin yang merugikan semua pihak. Satu-satunya yang bakal menikmati terus situasi konfliktif adalah pendukung perseteruan, karena setting panggung ala perang nuklir dan proxy adalah tujuan sekaligus sumber penghasilan terbesar mereka.

Penulis: I Gede Wahyu Wicaksana, S.IP., M.Si., Ph.D.

Tulisan selengkapnya dapat dibaca di: https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/09512748.2021.1998202

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp