Sulitnya untuk mendapatkan dan persiapan FSH-LH yang juga mahal harganya menyebabkan Abpo-eCG hormon menjadi alternatif untuk teknik superovulasi dan sinkronisasi estrus pada ruminansia. Penggunaan Abpo-eCG pada ruminansia untuk program superovulasi menghasilkan keuntungan yang lebih besar, seperti pada ukuran folikel, peningkatan angka kebuntingan dan jumlah juga embrio yang lebih banyak disertai biaya yang lebih murah. Oleh karena itu, penelitian ini diperlukan dalam upaya memproduksi Abpo-eCG. Abpo eCG dapat diproduksi dari kuda lokal betina yang bunting, selanjutnya disuntikkan dengan dosis 3000 IU pada sapi Madura.
Isolasi eCG yang berasal dari serum kuda lokal Indonesia yang bunting 1-3 bulan dikumpulkan dari vena jugularis, dan kemudian dilakukan pemurnian dengan arang melalui metode kromatografi Sephadex G100. Setelah itu, Abpo eCG yang telah diproduksi disuntikkan pad dua sapi jantan Madura dengan dosis 3.000 IU eCG 3 kali dengan interval 10 hari. Selanjutnya, Abpo eCG diisolasi dari serum yang diambil dari vena jugularis sapi, kemudian dilakukan ekstraksi dengan menambahkan arang mutlak dan etanol dan sentrifugal pada 3000 rpm selama 15 menit pada 4oC. Langkah selanjutnya, identifikasi Abpo-eCG yang diproduksi dari Madura bull dengan metode SDS-PAGE 12%, Western Blot dan Elisa indirect didapatkan level tertinggi pada minggu ke-7, yaitu sebesar 408,50 mlU/mL.Kemudian dimurnikan oleh CM Sephadex G-100 teknik kromatografi kolum. Kemudian dimurnikan oleh CM Sephadex G-100 teknik kromatografi kolumn. Produk akhir dibuat sebagai bentuk dosis kering beku.
Serum yang berasal dari setiap sample darah Sapi jantan yang diimunisasi dengan eCG dalam ajudvan dimurnikan untuk mendapatkan antibodi eCG dalam serum. Pemurnian bertujuan untuk memisahkan albumin dan globulin dalam serum, sehingga didapatkan antibodi eCG dalam serum darah sapi yang diimunisasi. Kemampuan eCG untuk menginduksi eCG antibodi diukur secara kuantitatif menggunakan ELISA indirect. Antibodi dalam bentuk IgG dimurnikan, titer antibodi diukur menggunakan metode ELISA untuk setiap bleeding. Antigen dalam bentuk protein eCG berikatan dengan antibodi primer (anti-eCG) dari serum sapi yang diimunisasi dengan eCG. Antibodi primer berikatan dengan antibodi sekunder berlabel Enzim. Selanjutnya, enzim yang berikatan dengan substrat tervisualisasikan dalam bentuk warna. Titer antibodi eCG diukur berdasarkan nilai absorbansi pada panjang gelombang 405 nm menggunakan ELISA reader. Pengukuran titer dilakukan pada setiap bleeding, yang bertujuan untuk menentukan bleeding keberapa yang menghasilkan antibodi eCG tertinggi. Titer terendah terjadi pada preimmune, ini karena sapi belum diimunisasi oleh antigen eCG sehingga tubuh sapi tidak menghasilkan antibodi terhadap eCG. Bleeding preimmune digunakan sebagai kontrol yang kemudian dibandingkan nilai absorbansi dengan bleeding setelah booster pertama dan booster kedua. Anti eCG yang masuk ke dalam tubuh sapi dianggap sebagai benda asing, sehingga memicu respon imun dalam bentuk pengikatan protein oleh reseptor sel B
Sel B plasma pasca-booster akan menginduksi pembentukan IgG yang merupakan antibodi terhadap eCG. Peningkatan tituler antibodi dimulai setelah booster pertama sampai minggu ketiga bleeding kemudian secara bertahap menurun. Hal ini didukung oleh penelitian sebelumnya bahwa IgG terdeteksi dalam serum sekitar 6-7 hari setelah terpapar antigen yang telah diidentifikasi sebelumnya (booster). Penurunan titer antibodi pada minggu ke-4 bleeding terjadi karena konsentrasi antigen dalam tubuh sapi telah menurun sehingga jumlah antibodi yang dihasilkan juga menurun. Booster bertindak sebagai respon imun sekunder dalam tubuh sapi, yaitu dengan mengaktifkan sel B memori untuk mengenali antigen yang masuk ke dalam tubuh dan merespon antigen ini dengan menghasilkan antibodi spesifik. Respon imun sekunder memiliki karakteristik pembentukan antibodi mencapai titik tertinggi, imunoglobulin berkembang lebih cepat, dan imunoglobulin terutama terdiri dari IgG.
Kesimpulan dari penelitian tersebut membuktikan bahwa Protein eCG dapat menginduksi respon imun humoral dari sapi Madura, sehingga Abpo-eCG dapat diproduksi, dengan titer dan konsentrasi tertinggi terjadi pada minggu ke-7, dengan nilai titer absorbansi (Optical Density) sekitar 0,15 dan konsentrasi sekitar 400 mIU/mL.
Penulis: Herry A. Hermadi, Sunaryo H. Warsito, Erma Safitri
Artikel lengkapnya dapat dilihat pada link berikut ini: https://ejmcm.com/article_6636.html