Sektor industri perjalanan dan pariwisata merupakan salah satu sektor yang mengalami dampak paling parah dalam krisis yang disebabkan oleh merebaknya pandemi COVID-19. Pada tahun 2020 saja, kedatangan turis internasional turun 74%, dan pariwisata domestik juga berkurang secara signifikan (UNWTO, 2020d). Hal ini menyebabkan hilangnya pendapatan ekspor antara US$910 miliar hingga US$1,2 triliun dan mengakibatkan 100-120 juta pekerjaan terkait pariwisata berisiko hilang (UNWTO, 2020a).
Dampak pengangguran pada sektor pariwisata, pada skala setengah juta pekerjaan yang mungkin hilang per hari, delapan kali lebih besar daripada yang pernah terjadi selama krisis keuangan global 2008 (UNWTO, 2020d). Untuk mengurangi dampak sosial ekonomi dari krisis pariwisata global ini, langkah-langkah pemerintah yang signifikan dan cepat telah diterapkan untuk mendukung sektor pariwisata (Khalid et al., 2021). Di tengah semua langkah keuangan pemerintah, United Nation World Tourism Organization (2020e) and the World Travel and Tourism Council (2020) telah menyerukan satu prioritas—melindungi mata pencaharian pekerja—dan langkah pertama adalah “mendorong retensi pekerjaan, mendukung wirausaha dan melindungi kelompok yang paling rentan” (UNWTO, 2020c).
Meskipun prioritas ini telah banyak diterapkan secara luas, pemerintah menghadapi tantangan dalam mengidentifikasi kelompok yang paling rentan dan merancang kebijakan subsidi untuk memfasilitasi dukungan dengan target yang tepat. Di seluruh dunia, sekitar 100 negara menerapkan dukungan keuangan untuk membantu menjaga lapangan pekerjaan di sektor perjalanan dan pariwisata dalam bentuk subsidi untuk usaha pariwisata skala kecil dan menengah dan pekerja wiraswasta (UNWTO, 2020b). Namun, program subsidi nasional tingkat tinggi seperti ini mungkin tidak akan bertahan lama karena jumlah pekerja yang besar akan dengan cepat menghabiskan anggaran yanga ada. Dengan adanya kebijakan pengurangan mobilitas untuk menekan penyebaran COVID-19 yang berkepanjangan dan ketidakpastian pemulihan sektor pariwisata dalam jangka pendek, hal yang harus segera dilakukan oleh pemerintah adalah menyalurkan sumber daya yang tersedia untuk memberikan dukungan secara langsung kepada mereka yang paling terkena dampak secara finansial (UNWTO, 2020c).
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengembangkan dan menguji model analisis baru untuk menganalisis kerentanan lapangan kerja pada sektor pariwisata selama pandemi COVID-19. Model yang dikembangkan mengintegrasikan model input-output multi-regional dengan data profil ketenagakerjaan dari Survei Tenaga Kerja Nasional untuk lebih memahami bagaimana hilangnya pariwisata mempengaruhi lapangan kerja lokal dari perspektif sosiodemografi, sektoral, dan regional. Secara khusus, kami mengadopsi dua indikator: hilangnya lapangan kerja pariwisata dan tingkat pengangguran pada sektor pariwisata untuk menentukan kerentanan lapangan kerja sektor pariwisata. Berdasarkan studi kasus di Indonesia, analisis risiko ketenagakerjaan beresolusi tinggi ini menunjukkan bagaimana model yang diusulkan dapat dengan cepat mengidentifikasi segmen angkatan kerja yang rentan dengan menunjukkan secara tepat siapa mereka, di mana mereka bekerja, dan di sektor apa mereka bekerja. Informasi ini memiliki potensi besar untuk membantu pemerintah dalam merancang dan merencanakan secara strategis paket dukungan yang ditargetkan untuk pekerjaan yang terkena dampak pandemi COVID-19 dan untuk antisipasi krisis pariwisata di masa depan.
Berdasarkan model yang disusun, dua kriteria — total pekerjaan yang berisiko hilang dan tingkat pengangguran melebihi 10% — digunakan dan empat propinsi yang bergantung pada pariwisata serta siapa saja yang paling membutuhkan bantuan dapat diidentfikasi, yakni:
- Bali – terdapat sekitar 820.000 lapangan kerja yang mungkin hilang dan tingkat pengangguran bagi pekerja usia muda, perempuan, pekerja berpendidikan rendah dan berpenghasilan rendah melebihi 30% di wilayah tersebut. Sekitar 40% dari kehilangan pekerjaan terjadi di sektor ritel dan grosir.
- Yogyakarta – terdapat sekitar 242.000 lapangan kerja yang mungkin hilang, dan risiko ekonomi bagi perempuan, pekerja usia muda, dan pekerja berpenghasilan rendah telah mencapai lima hingga enam kali lebih tinggi daripada rata-rata nasional. Sektor ritel dan grosir juga mengalami kehilangan terbesar (40%).
- Nusa Tenggara Barat – terdapat sekitar 204.000 pekerjaan yang mungkin hilang, dan beban ekonomi diperkirakan akan lebih berat bagi pekerja perempuan dan pekerja berpendidikan rendah dengan tingkat pengangguran mencapai 10%. Setengah dari total pekerjaan yang hilang berasal dari sektor hotel dan restoran.
- Kepulauan Riau – sekitar 114.000 pekerjaan kemungkinan hilang, dan satu dari setiap enam pekerja berpenghasilan rendah dan perempuan diperkirakan akan menanggung dampak kehilangan pekerjaan dan pendapatan yang signifikan, dan satu dari setiap tiga pengangguran dilaporkan berasal dari sektor hotel dan restoran.
Hasil berbagai studi dan evaluasi menunjukkan pemberian bantuan dengan target yang spesifik secara efektif mampu mengatasi permasalahan kesenjangan pendapatan (Jurzyk et al., 2020). Oleh karena itu, kami menyarankan pendekatan yang spesifik dari sisi sektoral, regional, dan pekerja dalam kebijakan pemberian bantuan dalam jangka pendek. Mengarahkan dana dari pusat ke tingkat daerah untuk membantu kompensasi upah, subsidi pengangguran, transfer dalam bentuk barang, atau relokasi pekerjaan untuk sebagian dari pekerja akan sangat membantu mereka yang paling rentan terkena dampak krisis. Dalam jangka panjang, diperlukan penguatan kapasitas tenaga kerja pariwisata dalam menghadapi krisis seperti ini. Berbagai program untuk upskill, reskill and multi-skill tenaga kerja pariwisata dapat dilakukan melalui inovasi dan digitalisasi. Peningkatan kemampuan dalam digitalisasi melalui kejuruan, pelatihan kerja atau pelatihan on-line adalah ‘keharusan’ untuk semua karyawan yang terkena dampak (UNICEF et al., 2021). Secara keseluruhan, kebijakan ketenagakerjaan ini harus berjalan seiring dengan subsidi untuk membantu kelangsungan bisnis pariwisata. Pinjaman berbunga rendah dan pengurangan pajak untuk usaha pariwisata kecil dan menengah yang paling terkena dampak provinsi merupakan cara yang efektif untuk mendukung usaha-usaha tersebut (OECD, 2020).
Penulis: Ilmiawan Auwalin
Tulisan ini diringkas dari artikel jurnal dengan judul: “Who are vulnerable in a tourism crisis? A tourism employment vulnerability analysis for the COVID-19 management” oleh Ya-Yen Sun, Lintje Sie, Futu Faturay, Ilmiawan Auwalin, Jie Wang yang telah diterbitkan di Journal of Hospitality and Tourism Management 49 (2021) 304–308. https://doi.org/10.1016/j.jhtm.2021.08.014