Pentingnya Skrining Pendengaran pada Bayi Baru Lahir Melalui Pemeriksaan Otoacoustic Emission (Oae)

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin

Prevalensi hilangnya pendengaran pada bayi terjadi pada 1 hingga 3 per 1000 kelahiran hidup, sedangkan pada bayi dengan risiko tinggi (seperti bayi BBLR, asfiksia perinatal, dan hyperbilirubinemia) diestimasikan prevalensinya sekitar 2-4 per 100 bayi. Perburukan fungsi pendengaran dari lahir bisa menyebabkan gangguan pada aspek kemampuan bicara, bahasa dan perkembangan kognitif. Oleh karena itu, perburukan fungsi pendengaran pada bayi seharusnya diidentifikasi dari awal sehingga intervensi awal dapat dilakukan untuk perkembangan sistem sensor. Skrining selektif pada 50% anak-anak dengan perburukan pendengaran tidak terdeteksi, sehingga perlu adanya skrining pendengaran universal pada semua bayi. Terdapat alat skrining yang cepat dan murah yaitu Otoacoustic Emission (OAE) yang bisa digunakan untuk menilai fungsi dari sel-sel rambut terluar koklea. 

Apabila respon pada OAE normal, maka dapat dijadikan sebagai prediktor yang kuat untuk fungsi pendengaran normal. Tidak diperlukan petugas yang sangat terlatih untuk melakukan tes OAE karena dapat dilakukan tanpa penggunaan sedasi pada bayi. Tersedianya OAE sebagai alat skrining dapat membuat program-program skrining pendengaran pada bayi baru lahir menjadi lebih efisien, efektif, dan reliabel. Sejauh ini, skrining pendengaran bayi baru lahir tidak dilakukan di RSUD Dr Soetomo sehingga penelitian ini dapat menjadi dasar untuk skrining pendengaran pada semua bayi baru lahir, khususnya pada bayi dengan faktor-faktor risiko tinggi seperti BBLR. Penelitian ini bertujuan untuk memprediksi efek dari bayi BBLR pada perburukan fungsi koklea bayi baru lahir. 

Metode dan Hasil

Penelitian ini adalah penelitian observasional analitik dengan desain studi komparatif cross-sectional untuk menganalisis efek dari BBLR pada perburukan fungsi koklea bayi baru lahir. Penelitian ini dilakukan pada bulan September 2018 sampai bulan Maret 2019 di ruang Neonatus Intermediate dan ruang Audiologi RSUD Dr Soetomo. Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah orangtua pasien yang setuju mengikuti penelitian ini (informed consent), bayi yang berusia 2-28 hari, dan bayi yang berada dalam kondisi stabil. Sedangkan untuk kriteria eksklusinya adalah subjek yang gagal dalam pemeriksaan OAE akibat faktor-faktor non teknis, bayi yang menggunakan ventilator mekanik, dan bayi dengan berat badan <1000 gram. Subjek yang memenuhi kriteria dipilih secara acak melalui consecutive sampling. Sebelum dilakukan pemeriksaan OAE, subjek diperiksa terlebih dahulu kanal telinganya oleh otolaryngolog untuk memastikan bahwa mereka memenuhi kriteria untuk dilakukan pemeriksaan OAE pada telinga kanan atau kiri. Pengecekan dilakukan menggunakan 4 frekuensi yaitu 2000 Hz, 3000 Hz, 4000 Hz, dan 5000 Hz. Ruangan untuk pemeriksaan OAE harus berada pada standar kebisingan <40 dB dengan pengukuran menggunakan sound level meter.

Terdapat 40 sampel berusia 2-28 hari dalam penelitian ini yang memenuhi kriteria inklusi. 20 bayi memiliki berat badan >2500 gram dan 20 bayi dengan berat lahir <2500 gram. Usia gestasi ibu dalam penelitian ini hampir sama yaitu 19 subjek merupakan kehamilan prematur. Mayoritas subjek dilahirkan secara caesar yaitu 36 subjek. Total subjek yang lahir dari ibu dengan komorbid adalah 6 subjek yang mendapatkan pengobatan selama kehamilan. Sebagian besar subjek mengacu pada frekuensi rendah yaitu 2000 Hz dan 3000 Hz. Hasil tes DPOAE menunjukkan bahwa subjek yang mengacu pada frekuensi 2000 Hz sebanyak 16 subjek untuk telinga kanan dan 15 subjek untuk telinga kiri. Sedangkan hasil tes DPOAE pada frekuensi 3000 Hz untuk telinga kanan sebanyak 16 subjek dan untuk telinga kiri sebanyak 15. Pada penelitian ini bayi dengan berat lahir 2500 gram lebih mengalami disfungsi koklea daripada bayi yang berat lahirnya lebih kecil. Prevalensi dari kegagalan skrining neonatal dengan BBLR lebih tinggi dibandingkan berat lahir normal karena akumulasi dari cairan di telinga tengah sehingga hilangnya pendengaran konduktif terjadi. 

Oleh karena itu, kita seharusnya memikirkan tentang tes diagnostik pendengaran pada bayi-bayi dengan BBLR. Sedangkan untuk bayi-bayi kelompok lain perlu untuk melihat faktor-faktor lain yang mungkin berkontribusi pada laju kegagalan skrining pendengaran. Hal ini dikarenakan skrining pendengaran merupakan hal yang krusial yang perlu diperhatikan misalnya dengan melakukan tes diagnostik awal. Bayi-bayi dengan risiko tinggi dan yang gagal pada tes pendengaran yang pertama maka melakukan skrining kedua satu bulan setelahnya. Bayi-bayi yang gagal dalam pemeriksaan skrining pendengaran seharusnya menjalani rehabilitasi awal yang mana dapat memberikan manfaat dari perkembangan sistem sensorik. 

Bias dari penelitian ini adalah banyaknya faktor-faktor konfonding yang mempengaruhi hasil-hasil dari OAE seperti usia gestasi, perawatan NICU, konsumsi oksigen, infeksi-infeksi postpartum, dan obat-obatan ototoksik. Pada penelitian ini, peneliti hanya menganalisis OAE sebagai skrining pertama karena terbatasnya biaya penelitian, sehingga subjek-subjek dengan hasil OAE refer direkomendasikan kembali satu bulan setelahnya untuk menjalani skrining kedua. Harapan untuk penelitian-penelitian selanjutnya lebih baik melakukan analisis sasaran terlebih dahulu khususnya di daerah yang mana biaya, logistik, dan pendidikan komunitas memang perlu diperhatikan. 

Penulis: Dr. Risa Etika, dr., SpA(K)

Informasi detail dari riset ini dapat dilihat pada tulisan kami di: 

https://medic.upm.edu.my/upload/dokumen/2021040613485632_MJMHS_0616.pdf

Handoko WB, Etika R, Harianto A, dan Purnami N. Effects of Low Birth Weight Babies on Cochlear Function in Newborns at Dr Soetomo Hospital Surabaya. Malaysian Journal of Medicine and Health Sciences, 2021 17(2), 234-238. Published April 2021.

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp