Menilik Exploitation Cinema, Film Klasik Indonesia yang Memiliki Penggemar Global

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Kelas tamu AMERTA berjudul "Rethinking Classic Indonesian Exploitation Cinema" dilaksanakan pada Sabtu (9/10) lalu. (Foto: Dokumentasi Pribadi)

UNAIR NEWS Indonesian exploitation film yang merupakan film klasik Indonesia, memasuki fase redup di zaman orde baru. Genre tersebut kerap dianggap marginal atau tidak sesuai dengan kultur Indonesia, sehingga banyak yang hilang dan terabaikan.

Dengan berjalannya waktu, ditambah makin terbukanya kebebasan untuk berpendapat, produk audio visual tersebut akhirnya dikenalkan di mata dunia. Disambut dengan baik, film genre ini bahkan memiliki tempat tersendiri di hati penggemar mancanegara. Sebagai sebuah isu yang penting, AMERTA Indonesian Visual Culture & Creative Arts mengadakan kelas tamu berjudul “Rethinking Classic Indonesian Exploitation Cinema”.

“Setelah kurang lebih tiga puluh lima tahun setelah produksi, akhirnya film eksploitasi atau cult film didistribusikan, bahkan mendapat julukan sebagai the holy grail of cult Asian cinema,” sebut Ekky Imanjaya, pembicara dalam rangkaian kelas tamu AMERTA pada Sabtu (9/10).

Exploitation film adalah film yang kental dengan adanya cerita, tokoh dan publikasi yang dieksploitasi, biasanya merujuk pada hal-hal mistis, seks, sadistis, dan lain-lain.

Di Indonesia, Exploitation film memiliki subgenre yang unik karena memiliki unsur sejarah dan budaya dalam negeri. Misal subgenre Kumpeni yang berkisah tentang seseorang yang memiliki kekuatan super untuk melawan penjajah kolonial di abad ke-17, contohnya adalah film “Jaka Sembung” dan “Jaka Gledek”. “Yang kedua yakni mengisahkan legenda tradisional dengan kerap memasukan unsur black magic, supernatural power, dan eastern mystic,” sebut pengajar Film Studies Program di Universitas Bina Nusantara.

Dalam rangkaian besutan Departemen Komunikasi Universitas Airlangga (UNAIR) tersebut, Ekky juga menjelaskan subgenre lain yang mengadopsi film eksploitasi Amerika. “Contohnya film berjudul “Primitif” pada sub genre cannibalism, dan “Pembalasan Rambu” pada subgenre mockbuster,” tuturnya.

Pada tahun 1980-an muncullah konsep cultural educative film yang menganggap bahwa film harus konsisten dengan kultur dan nilai-nilai yang dianut bangsa Indonesia. “Tentunya konsep ini semakin membuat exploitation film menjadi semakin terabaikan,” ungkapnya.

Namun berbanding terbalik dengan keadaan tiga puluh lima tahun mendatang, ragam film ini banyak dilirik oleh pecinta film mancanegara. Keunikan tersendiri pada film eksploitasi Indonesia menjadikan genre film ini banyak diminati oleh masyarakat global. Maka tak heran bila, exploitation film asal Indonesia dikenal sebagai representasi dari film Indonesia.

“Fans luar negeri menyebut film ini sebagai crazy Indonesia, karena eksotis dan sifat unknown-nya yang benar-benar berbeda dengan budaya mereka,” pungkasnya.(*)

Penulis : Stefanny Elly

Editor : Khefti Al Mawalia

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp