Gambaran Umum Infeksi Helicobacter pylori di Indonesia: Apa yang Membedakannya dari Negara dengan Insiden Kanker Lambung Tinggi?

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi oleh std-gov.org

Helicobacter pylori adalah patogen manusia yang paling sukses dan berhubungan dengan dispepsia. H. pylori juga merupakan penyebab umum dari tukak lambung dan kanker lambung. Infeksi H. pylori memiliki prevalensi tinggi di banyak daerah seperti di Afrika dan Asia Timur yang dilaporkan masing-masing sebesar 79,1% dan 56,1%. Meskipun prevalensi H. pylori tinggi, namun kejadian kanker lambung cukup bervariasi. Wilayah Asia Timur memiliki tingkat standar usia (ASR) yang tinggi yaitu 22,4 dan negara-negara lainnya yaitu Korea, Mongolia, dan Jepang dikenal memiliki insiden kanker lambung tertinggi di dunia dengan ASR masing-masing sebesar 39,6; 33,1; 27,5. Berbeda dengan wilayah Asia Timur, wilayah Afrika memiliki ASR yang sangat rendah yaitu sebesar 4,2 per 100.000 orang. Sebaliknya, ada juga wilayah yang memiliki prevalensi infeksi H. pylori yang rendah dan insiden kanker lambung yang rendah; seperti wilayah padat penduduk di negara kepulauan, Indonesia. Investigasi pada daerah dengan prevalensi yang rendah baik infeksi maupun kejadian kanker lambung juga diperlukan sebagai pembanding untuk mencari faktor risiko dan sifat H. pylori yang dapat berkontribusi terhadap infeksi dan patogenesis kanker lambung.

Indonesia merupakan negara terpadat keempat di dunia, dengan 267.842.296 orang yang tergabung dalam 300 kelompok etnis dengan luas wilayah total sekitar 1.900.000 km2. Berdasarkan GLOBOCAN 2018, Indonesia termasuk negara dengan risiko kanker lambung rendah dengan ASR 1,22/100,000 (gco.iarc.fr). Negara tetangga kita seperti Malaysia juga dilaporkan memiliki prevalensi infeksi H. pylori yang rendah dan insiden kanker lambung yang rendah (ASR 5,2). Studi di Malaysia melaporkan bahwa etnis berperan dalam infeksi H. pylori dan kanker lambung. Etnis Melayu dilaporkan memiliki risiko kanker lambung lebih rendah dibandingkan dengan orang Cina dan India. Etnik Melayu juga merupakan salah satu suku bangsa yang besar di Indonesia. Keturunan Melayu di Indonesia memiliki tingkat keparahan mukosa lambung yang rendah, sama dengan yang terjadi pada orang Melayu yang berada di Malaysia dan Singapura. Apalagi Indonesia terdiri dari lebih banyak etnis yang dapat memberikan wawasan lebih tentang peran etnis dan faktor lainnya.

H. pylori dapat merusak sel epitel dan menginduksi respon inflamasi serta menghasilkan histopatologi yang parah, hal ini menunjukkan bahwa H. pylori harus dieradikasi bahkan pada populasi dengan prevalensi H. pylori yang rendah. Mendeteksi keberadaan H. pylori sangat penting, dan tes validasi untuk H. pylori sangat diperlukan, terutama di daerah dengan prevalensi H. pylori yang rendah. Di Indonesia, tes urin telah divalidasi dengan sensitivitas sebesar 83,3% dan spesifisitas 94,7%, untuk tes serologis juga telah tervalidasi dengan sensitivitas sebesar 86,7% dan spesifisitas 96,8%. Selain itu, validasi tes napas urea noninvasif dan tes antigen tinja masih diperlukan. Endoskopi gastrointestinal memiliki keterbatasan dalam ketersediaannya dan sebagian besar hanya dimanfaatkan di Pulau Jawa, dan tidak sepenuhnya ditanggung oleh asuransi kesehatan. Deteksi invasif infeksi H. pylori di Indonesia merupakan pilihan yang kurang baik.

Berdasarkan dari gambaran di atas, peneliti dari Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran, RSUD Dr. Soetomo, Universitas Airlangga berhasil mempublikasikan hasil review di salah satu jurnal Internasional terkemuka, yaitu Gut and Liver. Dalam review ini, penulis memberikan gambaran status H. pylori terkini di negara dengan risiko kanker lambung rendah dan berbagai faktor yang membedakan dengaan negara yang memiliki insiden tinggi pada kanker lambung, termasuk prevalensi dan faktor risikonya, penyakit terkait H. pylori, faktor virulensi dan resistensi antibiotik, dengan beberapa rekomendasi yang diusulkan.

Beberapa kesimpulan yang didapatkan dalam review ini diketahui bahwa etnis dan karakteristik genetik H. pylori merupakan penentu penting pada angka infeksi H. pylori di Indonesia. Tingkat infeksi lebih tinggi pada etnis Batak, Papua dan Bugis daripada etnis Jawa yang menjadi kelompok etnis dominan. Etnisitas juga merupakan penentu penting dari karakteristik genetik H. pylori. Analisis CagA pada segmen EPIYA menunjukkan bahwa genotipe dominan pada etnis Papua, Batak dan Bugis berturut-turut adalah CagA tipe ABB-, ABD dan ABC. Sementara itu, di negara-negara dengan insiden kanker lambung yang tinggi, hampir semua strain memiliki CagA tipe Asia Timur. Evaluasi resistensi antibiotik menunjukkan bahwa terapi triple standar masih dapat digunakan dengan hati-hati di beberapa kota. Ada tingkat resistensi yang sangat tinggi terhadap rejimen lini kedua seperti levofloxacin dan metronidazol. Studi terbaru menunjukkan bahwa furazolidone, rifabutin dan sitafloxacin merupakan pengobatan alternatif yang potensial untuk infeksi H. pylori yang resistan terhadap antibiotik di Indonesia. Daripada berfokus pada deteksi dini dan pemberantasan seperti di negara-negara dengan prevalensi kanker lambung yang tinggi, negara-negara dengan prevalensi kanker lambung yang rendah harus fokus pada skrining beberapa kelompok yang memiliki risiko tinggi terkena kanker lambung.

Penulis: Muhammad Miftahussurur

Informasi detail dari penelitian ini dapat dilihat pada link artikel berikut :https://www.gutnliver.org/journal/view.html?doi=10.5009/gnl20019

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp