Prospek Keadilan bagi Korban Genosida 1965-66

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi oleh IndoPROGRES

UNAIR NEWS – Manunggal Wardaya, Ph.D., menjelaskan bahwa prospek keadilan bagi korban Genosida 1965-66 di era Reformasi penuh dengan lika-liku dan semakin menyempit. Secara normatif, Indonesia telah memiliki instrumen hukum UU 26/2000 yang dapat mengadili pelanggaran HAM masa lalu, dengan Komnas HAM diberi wewenang sebagai penyelidik dan Kejaksaan Agung sebagai penyidik. Namun, kasus genosida ini masih belum pernah sama sekali masuk ke ranah pengadilan.

Manunggal mengkritisi kinerja kedua lembaga tersebut. Penyelidikan yang dilakukan oleh Komnas HAM tidak pernah menyeluruh secara geografis. Hal itu diperburuk pula dengan Kejaksaan Agung yang selalu mengembalikan berkas penyelidikan Komnas HAM dengan dalih tak lengkap (Pasal 20 ayat (3) UU 26/2000).

“Penyelidikan Komnas HAM hanya dilangsungkan di daerah Sumatera, sementara di Jawa-Bali tidak pernah. Padahal episentrum genosida tersebut terjadi paling banyak di wilayah tersebut. Keseriusannya masih terus dipertanyakan dan dituntut. Pasal 20 ayat (3) tersebut yang menimbulkan banyaknya ketidakpastian itu sudah pernah diuji ke MK tetapi ditolak,” ujar alumni Monash University itu.

Upaya penyelesaian politik melalui rekonsiliasi dan pengakuan negara juga mengalami jalan buntu. Manunggal merefleksikan pada keluarnya UU 27/2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang dibatalkan seluruhnya oleh MK, tetapi tidak pernah ditindaklanjuti oleh negara. Hal ini dikarenakan bahwa model rekonsiliasi masih tetap mendiskriminasi korban.

“Bahkan pengakuan resmi dari negara bahwa negara adalah aktor utama dari Genosida 1965-66 tak pernah dilakukan. Hal ini semakin dipersedih dengan faktor waktu, mengingat para penyintas genosida dan kebijakan diskriminatif Orde Baru sudah semakin uzur dan telah banyak yang meninggal. Jadi prospek keadilan semakin menyempit,” tuturnya.

Berbagai upaya dari elemen masyarakat sipil demi meningkatkan kesadaran dan memberikan keadilan terhadap korban genosida juga muncul. Upaya tersebut berupa penggalian kuburan massal dan kontra narasi lewat kajian dan produk budaya. Upaya yang lebih menarik lagi disinggung adalah The International People’s Tribunal for 1965 and the Indonesian Genocide.

“Itu merupakan pengadilan rakyat internasional yang fokusnya terhadap pemenuhan esensi keadilan hukum itu sendiri, sekalipun tak mengikat secara hukum. Ini juga sebagai penggalang menolak lupa terhadap genosida ini. Pengadilan tersebut memutus bahwa Pemerintah Indonesia bersalah atas gross human rights violence itu,” papar Manu.

Namun the song remains the same, Indonesia masih belum menyelesaikan kasus yang terjadi di masa lalu itu. Banyak sekali aspek penghalang seperti nihilnya kemauan politik, stigmatisasi yang masih berkelindan, hingga sudah wafatnya banyak sekali penyintas dan pelaku dari kejahatan kemanusiaan tersebut.

Penulis: Pradnya Wicaksana

Editor: Nuri Hermawan

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp