Trombositopenia yang Diinduksi Heparin Selama Wabah COVID-19

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Foto oleh Kumparan

Pandemi global yang diakibatkan oleh SARS-COV-2 (infeksi COVID-19) telah mengakibatkan lebih dari 2 juta kasus pada lebih dari 114 negara. Infeksi ditunjukkan dengan gejala demam, batuk kering, nyeri otot, diare, dan anosmia. Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS) seringkali merupakan manifestasi kasus yang berat dan ditunjukkan dengan perburukan cepat hipoksemia dan penambahan infiltrat paru. Selain itu, kondisi hiperkoagulabilitas juga dapat menyertai sebagai bagian dari patofisiologi dan progresi terhadap trombosis arteri dan vena. Pada pemeriksaan laboratorium dapat dijumpai peningkatan D-dimer, peningkatan Fibrin Degradation Products (FDP), dan penurunan antithrombin. Hal ini mendasari pemberian antikoagulan pada pasien COVID-19 dengan heparin sebagai pilihan terapi.

Penggunaan heparin bukanlah suatu hal yang baru, mengingat terapi ini telah digunakan dalam berbagai kasus kardiovaskular dan hematologis. Pemantauan faal hemostasis perlu dilakukan secara berkala menyesuaikan dengan target terapi selain guna menghindari efek samping perdarahan. Namun, salah satu efek samping lain yang perlu diperhatikan terhadap penggunaan heparin ialah Heparin induced trombocytopenia with or without trombocytosis (HITT). Angka kematian HITT mencapai 20% yang diakibatkan oleh pembentukan antibodi (IgG) terhadap komplek faktor platelet 4 (PF 4) dan heparin. Komplek PF4/IgG ini berikutnya dapat mengaktivasi platelet dan menyebabkan trombosis. Hal ini dapat terjadi 5-10 hari setelah pemberian heparin pada 0.5-3% pasien. Selain itu, pada pasien dengan riwayat pemberian heparin, HITT dapat terjadi 24 jam setelah pemberian heparin kembali. Peningkatan insidensi HITT pada pasien COVID-19 terjadi akibat eksaserbasi reaksi imun dan pelepasan PF4 akibat aktivasi platelet.

Kami memaparkan sebuah kasus mengenai diagnosis dan penanganan HIT pada pasien dengan COVID-19 derajat berat yang disertai dengan hematuria. Seorang pasien laki-laki berusia 71 tahun datang ke Instalasi Gawat Darurat (IGD) dengan keluhan batuk kering selama 1 minggu disertai sesak dan demam yang memberat 3 hari sebelum masuk rumah sakit (MRS). Didapatkan riwayat hipertensi, diabetes mellitus, dan infark miokard dengan riwayat terapi aspirin, bisoprolol, lisinopril, diltiazem, atorvastatin, dan insulin subkutan. Tidak didapatkan riwayat kontak pasien COVID-19. Pemeriksaan tanda vital menunjukkan tekanan darah 132/75 mmHg, frekuensi nadi 79 kali/menit, dan frekuensi nafas 28 kali/menit. Pasien mengalami desaturasi (85% dengan oksigen bebas) dan meningkat dengan pemberian Non-Rebreathing Mask (NRM; 95%). Pemeriksaan fisik dalam batas normal. Pemeriksaan elektrokardiogram menunjukkan irama sinus 79 kali/menit, deviasi sumbu ke kiri, dengan Old Myocard Infarction (OMI) Inferior. Hasil laboratorium menunjukkan peningkatan CRP (195,3 mg/L), hipokalemia (3,2), gagal nafas (PaO2/FiO2 Rasio 82 mmHg), dan asidosis respiratorik. Foto radiologis thoraks (CXR) menunjukkan kardiomegali dan pneumonia bilateral. Dilakukan skrining COVID-19 dan didapatkan hasil swab PCR positif.

Kami mengases pasien sebagai Pneumonia COVID-19 dengan ARDS serta mengomunikasikan kebutuhan dukungan ventilator terhadap keluarga pasien. Namun, terkait ruang perawatan intensif dan ventilator yang penuh, keluarga menolak rujukan. Sehingga pasien kami rawat di ruang perawatan low-care dengan pemberian antibiotika (moxifloxacin), antivirus (remdesivir), dexametashon, Unfractionated Heparin (UFH) kontinyu, multivitamin, dan melanjutkan terapi rutin pasien (insulin, aspirin, lisinopril, bisoprolol, nitrat, dan atorvastatin). Tocilizumab 400 mg diberikan setelah hari perawatan ke-2 selama 5 hari dengan pemantauan tanda vital dan laboratorium berkala.

Pasien mengalami desaturasi pada hari ke-6 sehingga mendapatkan pemberian Non-Invasive Vetilation (NIV). Pasien didapati dengan hematuria pada hari ke-9 dengan trombositopenia signifikan (40.000 mg/L) tanpa perubahan pemeriksaan fisik, elektrokardiogram, dan CXR. Pemeriksaan rutin diperlukan dalam tatalaksana COVID-19 guna mengevaluasi hasil terapi dan efek samping pengobatan. Trombositopenia dapat terjadi sebagai manifestasi HITT maupun sebagai tanpa progresi infeksi. Disseminated Intravascular Coagulopathy (DIC) merupakan tanda perburukan sepsis pada COVID-19 yang dikenal juga sebagai Sepsis-induce Coagulopathy (SIC). Pembedaan keduanya diperlukan karena tatalaksana yang berbeda dan pemberian lanjutan heparin pada pasien HITT memberikan luaran yang fatal.

Kriteria diagosis HITT meliputi (1) terdapatnya komplek PF4/IgG heparin; (2) aktivasi platelet yang dipicu oleh antibodi heparin; (3) penurunan cepat dan progresif trombosit 40-50% nilai dasar; (4) trombositopenia yang terjadi 5-10 hari pemberian heparin atau 24-48 jam setelah pemberian ulang heparin; dan (5) thrombosis yang terjadi pada pasien yang mendapatkan terapi heparin. Pemeriksaan komplek PF4/IgG heparin merupakan pemeriksaan yang membantu dalam diagnosis, sayangnya belum didapati pada banyak negara berkembang. Hal ini semakin meningkatkan pentingnya penggunaan sistem skoring dalam penegakkan diagnosis HITT.

Kami melakukan skoring menggunakan 4Ts (5 poin) dan HEP (5 poin) menunjukkan probabilitas tinggi terjadinya HITT. Penggunaan kedua sistem skoring membantu dalam menghindari overdiagnosis. Skoring 4Ts menilai trombositopenia, waktu terjadinya trombositopenia, kejadian thrombosis, dan ketiadaan penyebab trombositopenia lain. Kekurangan sistem skoring ini ialah subyektifitas pada penyebab lain trombositopenia, terlebih hal ini sering dijumpai pada pasien COVID-19. Skoring HEP membantu memberikan penilaian yang lebih obyektif karena perincian penyebab trombositopenia dalam skoring yang lebih seksama.

Ketika secara klinis kecurigaan HITT muncul sebagaimana ditunjukkan dengan penurunan trombosit >50% pada hari ke 5-10 pemberian heparin serta didukung dengan skoring yang tinggi, penghentian UFH kontinyu kami lakukan. Penggantian dengan rivaroxaban dilakukan dan didapatkan peningkatan trombosit dan berhentinya hematuria 2 hari kemudian. Trombosit meningkat menjadi 177.000 pada hari ke-11 perawatan dan pasien pulang setelah perawatan 13 hari.

Penulis: Louisa Fadjri Kusuma Wardhani, Ivana Purnama Dewi, Denny Suwanto, Ade Meidian Ambari, Meity Ardiana

Link Jurnal: Http : https://f1000research.com/articles/10-469

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp