Teknologi Asistif untuk Meningkatkan Akses terhadap Informasi bagi Mahasiswa Disabilitas Penglihatan

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi oleh The Outlook Asia

Booming-nya istilah masyarakat informasi hendaklah diikuti keberadaan teknologi menjadi suatu keharusan dan kesetaraan terhadap akses informasi. Saat ini fokus pembahasan terkait disabilitas dan keseteraan masih saja seputar pada akses fisik misalnya trotoar, pintu otomatis untuk keluar dan masuk gedung, lift dan toilet khusus, ramp untuk pemakai kursi roda, yang bersifat sarana dan prasarana fisik. Dilihat dari data Partisipasi Sekolah di Indonesia, memperlihatkan bahwa posisi paling tinggi berada pada siswa disabilitas kelompok umur 7-12 tahun (tingkat sekolah dasar), yaitu sebanyak 41.227.360 (91,12%). Sedangkan partisipasi sekolah terendah terdapat pada siswa disabilitas  di kelompok umur 19-24 tahun, yaitu 5.870.880 (12,96%), yang umumnya mereka sedang menampuh Pendidikan di tingkat universitas (Databoks, 2019).

Akses terhadap informasi bagi mahasiswa disabilitas penglihatan saat menempuh pendidikan, menjadi kebutuhan yang utama agar dapat membantu mereka mudah menyelesaikan tugas kuliah dan berhasil dalam menyelesaikan pendidikannya. Dahulu mereka hanya mampu mengakses informasi melalui tulisan huruf braille dengan memanfaatkan indra peraba. Kini, mereka dapat menggunakan teknologi bantu (assistive technology) berupa software JAWS (Job Access With Speech) dan NVDA (NonVisual Desktop Access) yaitu software yang memungkinkan disabilitas penglihatan (blind) dapat “membaca” tulisan yang ada di layar monitor. Selain itu media teknologi modern seperti smartphone, laptop dan scanner, juga dapat menjadi alat bantu bagi mahasiswa disabilitas untuk mengakses informasi. Saat ini, teknologi bantu yang dipergunakan oleh mahasiswa disabilitas merupakan milik pribadi, untuk mendukung kemandirian dan keberhasilan mereka dalam menyelesaikan pendidikan. Munculnya hambatan dalam mengakses informasi akibat terbatasnya fasilitas yang disiapkan untuk mereka, bukan menjadi penghalang dalam meraih pendidikan di tingkat yang lebih tinggi. Jika hanya menunggu disediakan fasilitas berupa teknologi bantu, referensi dalam teks digital oleh pemerintah atau lembaga pendidikan, maka mereka akan sulit tumbuh menjadi pribadi yang mandiri dalam menggapai cita-cita dan berpartisipasi aktif terlibat dalam aktifitas di masyarakat (inklusif). Kehadirannya di lingkungan pendidikan tinggi, tentu memberi perubahan dalam sistem pendidikan tinggi karena kini mahasiswa disabilitas tidak hanya dapat menambah pengetahuan akademik dan memperluas interaksi, namun juga mampu memberikan kesadaran di masyarakat untuk menghilangkan tindakan marginalisasi, eksklusif dan tindakan negatif lainnya yang seringkali dihadapi oleh mahasiswa disabilitas.

Ketersediaan teknologi yang kurang tepat tentu menjadi sebuah dilemma bagi mahasiswa disabilitas karena di satu sisi, mereka berharap dapat mengakses informasi agar dapat berpartisipasi aktif di dalam masyarakat, namun di sisi lain tidak terjangkaunya teknologi informasi yang dibutuhkan, mengakibatkan mahasiswa disabilitas penglihatan nyaris tidak dapat menggunakan teknologi secara maksimal. Kesulitan dalam mengakses informasi yang dialami seseorang dapat meningkatkan kesenjangan digital yang disebabkan oleh faktor rendahnya status ekonomi, persoalan kurangnya keterampilan, dan fasilitas yang memadai sehingga menghalangi mereka untuk mendapatkan manfaat dari akses informasi melalui teknologi modern (Duplaga (2017).

Agar tak hanya menjadi sebuah wacana, penataan sistem kurikulum bersifat inklusif, media pembelajaran yang beragam, menyediakan teknologi bantu dan software khusus, teknik mengajar yang inovatif adalah prasyarat yang harus dilakukan dengan tujuan agar mahasiswa disabilitas penglihatan mudah beradaptasi dengan lingkungan pendidikan tinggi. Disisi lain, lingkungan pendidikan harus mengetahui bagaimana cara bersikap terhadap mereka, membuka kesempatan untuk berpartisipasi tanpa batas, sehingga dapat menghilangkan stigma yang selama ini berkembang di masyarakat. Sebagai pencetak sumber daya manusia yang maksimal kemampuan kognitif, sosial dan afeksinya, pendidikan tinggi dapat memfasilitasi mahasiswa disabilitas penglihatan sebagai subjek di berbagai aspek kehidupan yang luas dan penuh tantangan ini.

Bagi pendidikan tinggi yang selalu berupaya mempromosikan kemampuan literasi anak didiknya, maka mahasiswa disabilitas penglihatan perlu difasilitasi dengan lingkungan belajar yang memberikan kesempatan yang  setara melalui sarana dan metode belajar yang tepat, tenaga pengajar yang kompeten, dan suporting system lainnya yang memadai. Dosen sebagai tenaga pengajar sebagai garda terdepan yang berhadapan langsung dengan mahasiswa disabilitas penglihatan, perlu dibekali dengan pengetahuan yang mumpuni tentang cara berinteraksi dan strategi mengajar mahasiswa disabilitas, disisi lain perlu isiapkan pula fasilitas untuk memudahkan proses belajar mengajar di ruang kelas, sehingga mewujudkan kampus inklusif bukan lagi sebuah wacana belaka.

Pendidikan tinggi harus menyadari bahwa akses yang perlu disediakan bagi mahasiswa disabilitas penglihatan cukup luas cakupannya, tidak hanya mengenai akses terhadap bangunan fisik namun yang tak kalah penting yaitu akses terhadap informasi melalui bantuan media teknologi informasi dan komunikasi. Mahasiswa disabilitas sebagai subjek dalam sistem pendidikan inklusif tentu perlu didukung oleh universitas untuk mengakomodasi kebutuhan informasi mahasiswa disabilitas dengan menciptakan lingkungan yang inklusif yang berdampak langsung pada menciptakan kemandirian mereka.

Penulis: Fitri Mutia, & Indah Rachma Cahyani

Link Jurnal: http://journal.uin-alauddin.ac.id/index.php/khizanah-al-hikmah/article/view/18801

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp