Kebijakan Perusahaan Tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Masa Pandemi Covid-19 Dari Prespektif Keadilan

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Foto dari InfoPublik

Adanya virus Covid-19 yang terus mengalami kenaikan di seluruh Kota di Indonesia dan dunia, membuat pemerintah memberlakukan kebijakan pembatasan mulai dari skala kecil sampai skala yang besar. Karena kebijakan pemerintah tersebut akhirnya membuat beberapa perusahaan di Indonesia memilih untuk melakukan pemutusan hubungan kerja (selanjutnya disebut PHK) yang mengakibatkan banyaknya karyawan yang tidak mampu bekerja. Dalam hal ini perlu peran tenaga kerja, pemerintah dan perusahaan untuk bernegosiasi dalam rangka memberikan solusi dan kepastian hukum, karena dalam UU No. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan itu sendiri tidak dijelaskan secara rinci. 

Situsasi pandemi tersebut berakibat adanya pemutusan hubungan kerja yang dilakukan oleh perusahaan. Hubungan antara pengusaha dan pekerja akan terjadi setelah adanya perjanjian kerja. Dalam Pasal 1 nomor 14 dari Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan. Perjanjian kerja tidak diminta oleh bentuk tertentu, bisa dilakukan secara lisan dengansurat penunjukan oleh seorang pengusaha atau dalam menulis, suatu perjanjian kerja yang harus dilaksanakan secara tertulis, hanya berisi:

  1. Jenis pekerjaan;       
  2. Jangka waktu berlakunya perjanjian ;       
  3. Besaran upah bulanan ;       
  4. Durasi waktu istirahat .       

Perjanjian kerja ini berakhir jika terjadi pemutusan hubungan kerja (selanjutnya disebut PHK). Dalam menjalani PHK, para pihak pengusaha dan pekerja/buruh harus benar-benar mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan PHK, khususnya bagi pekerja/ buruh, sehingga mereka bisa mendapatkan haknya setelah PHK. Dalam pasal 1 angka 25 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (selanjutnya disebut UU 13/2003) menyebutkan PHK adalah pemutusan hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan mantan piration dari hak dan kewajiban antara pekerja dan pengusaha.

Dalam pasal 61 UU 13/2003 menyebutkan bahwa hubungan kerja berakhir demi hukum jika waktu berakhir diatur dalam perjanjian dan dalam aturan hukum atau jika semua itu tidak tidak ada, sesuai dengan adat istiadat. Akhir dari hubungan kerja untuk kehilangan pekerja sarana dari mata pencaharian yang berarti juga awal pengangguran dengan segala konsekuensinya, sehingga untuk memastikan kepastian dan ketenangan hidup buruh seharusnya tidak ada termin asi kerja. Namun pada kenyataannya membuktikan bahwa PHK tidak dapat dicegah sepenuhnya. Pemutusan hubungan kerja dibagi menjadi 4 (empat) kelompok, yaitu :

  1. Pemutusan hubungan kerja oleh hukum, terjadi tanpa perlu tindakan, terjadi dengan sendirinya misalnya karena untuk berakhir atau karena kematian yang pekerja;       
  2. Pemutusan hubungan kerja dengan para pekerja, terjadi karena keinginan para pekerja dengan re tertentu asons dan prosedur;       
  3. Pemutusan hubungan kerja dengan para pengusaha, terjadi karena keinginan para pengusaha dengan alasan, persyaratan dan prosedur tertentu;       
  4. Pemutusan hubungan kerja berdasarkan putusan pengadilan, terjadi karena alasan-alasan tertentu yang mendesak dan penting , seperti peralihan kepemilikan, pengalihan harta atau kepailitan.

Sedangkan pemutusan hubungan kerja pada saat pandemi, dilakukan tanpa kesalahan dari pekerjanya sendiri atau dapat disebut dengan PHK yang dilakukan sewaktu-waktu, namun karena SK 12/2020 sendiri maka PHK pada saat terjadinya pandemi diperbolehkan, dengan ketentuan perusahaan harus membayar uang Pesangon 2 (dua) kali ketentuan pasal 156 ayat (2), sebagaimana diatur dalam pasal 164 UU 13/2003.

  • Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perusahaan tutup yang disebabkan perusahaan mengalami kerugian terus menerus selama 2 (dua) tahun, atau keadaan force majeure, dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon dari 1 (satu) kali ketentuan pasal 156 ayat (2) dari yang perubahan hak sesuai dengan ketentuan pasal 156 ayat (4).
  • Kerugian perusahaan sebagaimana dimaksud ke dalam ayat (1) harus dibuktikan dengan yang 2 (dua) laporan keuangan terakhir tahun diaudit oleh seorang akuntan publik.   
  • Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja pekerja / buruh karena perusahaan tutup bukan karena hilangnya 2 (dua) tahun berturut-turut bukan karena kekuatan majeure, tetapi perusahaan melakukan yang efisiensi, dengan ayat (2), yang hadiah uang dari para tenaga kerja dari 1 (satu) kali dalam ketentuan pasal 156 ayat (3) dan perubahan hak sesuai dengan pasal 156 ayat (4).  

Dalam kondisi PHK karena situasi pandemi dapat dapat diklasifikasikan alasan efisiensi Melakukan perusahaan. karena, di masa pandemi, pendapatan perusahaan juga menurun, yang juga akan berimbas pada upah pekerja. Sesuai dengan dasar yang tepat, PHK yang telah memenuhi hak-hak fundamental, yang mana pengaturan pesangon bagi pekerja di PHK karena perusahaan melakukan efisiensi yang sudah diatur dalam pasal 164 ayat ( 3) UU 13/2003. 

Penulis : Prawitra Thalib, Herman, Sri Winarsi, Faizal Kurniawan, Wahyu Aliansa

Informasi terperinci dari tulisan ini dapat dilihat pada

https://www.atlantis-press.com/proceedings/icolgas-20/125948262

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp