Kasus resistensi antibiotik meningkat secara signifikan, menunjukkan angka kematian hingga 50.000 orang setiap tahun. Masalah yang terkait dengan perkembangan dan penyebaran resistensi antibiotik merupakan masalah kesehatan utama yang menyebar dengan cepat di seluruh dunia dan saat ini dipandang sebagai ancaman utama bagi kesehatan masyarakat di tingkat global. Penggunaan antibiotik yang meluas dan tidak tepat mengakibatkan munculnya strain bakteri yang resisten terhadap antibiotik.
Antibiotik telah umum digunakan dalam kedokteran hewan di seluruh dunia untuk penggunaan terapeutik dan untuk meningkatkan produksi pada ternak. Penggunaan antibiotik pada peternakan babi di Indonesia masih banyak dilakukan oleh peternak babi sendiri, dimana tingkat pengetahuan peternak tentang antibiotik dan resistensi antibiotik pada umumnya masih rendah. Banyak petani menentukan sendiri penggunaan antibiotik di lahannya berdasarkan pengalaman dan masukan dari peternak lain. Oleh karena itu, 90% dari dosis yang dicerna dapat diekskresikan tanpa dimodifikasi atau sebagian dimetabolisme langsung melalui urin dan feses. Akibatnya, kotoran babi yang diberi perlakuan antibiotik menjadi reservoir penting dalam hal residu antibiotik dan bakteri yang resisten terhadap banyak kelas antibiotik atau multidrug resistance (MDR).
Bakteri yang memiliki sifat MDR akan lebih sulit dan membutuhkan waktu lebih lama untuk diobati, bahkan mungkin memerlukan antibiotik baru sebagai pengobatannya. Telah dilaporkan dalam surveilans global resistensi bakteri terhadap antibiotik oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Klebsiella pneumoniae (K. pneumoniae) diklasifikasikan sebagai satu dari sembilan bakteri yang terlibat dalam resistensi antibiotik. K. pneumoniae merupakan salah satu organisme terpenting secara klinis yang mendapat perhatian di bidang kesehatan masyarakat. K. pneumoniae merupakan kelompok Enterobacteriaceae yang secara signifikan dianggap sebagai patogen oportunistik sebagai penyebab penyakit dan sering menunjukkan resistensi terhadap antibiotik.
K. pneumoniae menjadi resisten terhadap beberapa golongan antibiotik karena dapat menghasilkan enzim beta-laktamase yang dapat menonaktifkan efektivitas antibiotik. Sudah banyak K. pneumoniae yang resisten terhadap beberapa kelas antibiotik atau multidrug resistance (MDR) di peternakan babi di negara-negara Eropa dan Asia, namun belum ada laporan kejadian MDR di peternakan babi di Indonesia. K. pneumoniae diketahui bersifat patogen dan menyebabkan gangguan pernapasan pada babi yang dapat menyebabkan kematian. Bakteri K. pneumoniae yang terdeteksi pada hewan semakin meningkat, hal ini memungkinkan K. pneumoniae penghasil beta-laktamase berkontribusi terhadap peningkatan kejadian infeksi bakteri penghasil beta-laktamase pada manusia.
Pada peternakan babi di Indonesia dengan kurangnya penerapan biosafety dan biosecurity di sektor peternakan babi menjadi salah satu faktor penyebaran bakteri resisten. Hewan menyebarkan bakteri yang resisten terhadap antibiotik melalui kotoran. Bakteri resisten yang terkandung dalam tinja dapat masuk kembali ke populasi manusia melalui kontak langsung antara hewan dan manusia atau sebaliknya, melalui air, makanan dan lingkungan sekitar. Babi merupakan agen penyebaran bakteri K. pneumoniae yang memiliki sifat MDR terhadap hewan lain, lingkungan dan manusia.
Penelitian MDR pada peternakan babi ini menunjukkan bahwa isolat bakteri yang ditemukan masih sensitif terhadap antibiotik Ciprofloxacin dan Aztreonam, dan sebagian masih bersifat intermediet terhadap Streptomisin. Resistensi bakteri terhadap antibiotik terjadi karena penggunaan antibiotik yang tidak tepat dan berlebihan. Resistensi K. pneumoniae terhadap antibiotik terjadi karena bakteri tersebut memiliki kemampuan untuk memproduksi Extended Spectrum Beta Lactamase (ESBL). Enzim beta-laktamase dapat melindungi bakteri Gram-negatif terhadap antibiotik beta-laktam. Target serangan antibotik beta-laktam adalah dinding sel. Antibiotik pada golongan ini memiliki gugus beta-laktam serta dinding sel yang bereaksi dengan enzim dalam proses pembuatan dinding sel. Enzim tidak akan berfungsi lagi sehingga dinding sel tidak terbentuk sempurna. Dinding sel yang tidak terbentuk sempurna dan sel bakteri tanpa dinding sel menyebabkan bakteri mati.
Meluasnya penggunaan antibiotik dan tanpa pengawasan yang ketat telah menyebabkan munculnya resistensi terhadap antibiotik. Mayoritas peternakan babi di Indonesia menggunakan antibiotik baik untuk pengobatan maupun pencegahan. Sebanyak 82% isolat K. pneumoniae resisten terhadap tetrasiklin dan trimetoprim dalam penelitian ini. Tetrasiklin dan trimetoprim merupakan antibiotik yang paling banyak digunakan oleh ternak di Indonesia dan di seluruh dunia karena khasiatnya sebagai antibiotik spektrum luas, mudah diserap, harga murah dan efek samping yang rendah.
Antibiotik yang sering digunakan di peternakan babi selain tetrasiklin adalah fluorokuinolon yang banyak digunakan pada manusia dan hewan sebagai terapi gangguan pencernaan dan pernafasan. Dari 11 isolat K. pneumoniae yang diuji, semua isolat masih menunjukkan sensitivitas terhadap ciprofloxacin. Sejak tahun 1998, fluoroquinolones telah diklasifikasikan oleh WHO sebagai sangat penting dalam pengobatan manusia karena pentingnya mereka dalam mengobati infeksi Campylobacter, Salmonella dan E. coli. Untuk mencegah resistensi lebih lanjut, pengobatan fluoroquinolone terbatas pada pengobatan individu, bukan kelompok. Bahkan di negara-negara Eropa, penggunaan antibiotik ini telah dilarang untuk digunakan di peternakan.
Kelompok beta-laktam lainnya, aztreonam, tidak digunakan di peternakan babi, tetapi umumnya digunakan dalam pengobatan infeksi bakteri pada manusia, terutama pada kasus infeksi yang resisten terhadap ampisilin dan amoksisilin. Resistensi antibiotik jenis ini dapat mempersulit pengobatan pada manusia dan memakan waktu lebih lama. Bakteri yang resisten terhadap aztreonam mengindikasikan bakteri penghasil ESBL, namun hasil uji ini memiliki sensitivitas yang rendah.
Kesimpulan yang dapat diambil adalah bakteri K. pneumoniae berhasil diisolasi dari sampel swab babi di 2 peternakan babi di Jawa Timur yaitu Kabupaten Gresik dan Kabupaten Malang sebesar 8,5% (11/130). MDR pada K. pneumoniae menjadi masalah serius pada manusia dan hewan, meningkatkan resistensi terhadap sebagian besar antibiotik yang tersedia dan menyebabkan kesulitan pengobatan.
Penulis: Prof. Dr. Mustofa Helmi Effendi, drh., DTAPH
Informasi detail dari riset ini dapat dilihat pada tulisan kami di: https://www.researchgate.net/publication/354173219
Eka Dian Sofiana, Mustofa Helmi Effendi, Hani Plumeriastuti and Junianto Wika Adi Pratama (2021). CASES OF MULTIDRUG RESISTANCE (MDR) IN KLEBSIELLA PNEUMONIAE ISOLATED FROM HEALTHY PIGS. Biochem. Cell. Arch. 21 (Supl.1), 1979-1985.