BEM FH UNAIR Kenalkan Kelakar Seksis

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi oleh peoplemattres

UNAIR NEWS – Kementerian Kesetaraan Gender BEM FH UNAIR kembali mengadakan seri kegiatan gelar wicara Let’s Do IT! untuk ketujuh kalinya pada Senin malam (27/9/2021). Gelar wicara kali ini dilaksanakan via Instagram Live dan mengeksplor topik yang berjudul “Sexist Jokes: Verbal Harrasment and Must be Stopped!”. Dua narasumber dari elemen mahasiswa UNAIR dihadirkan pada malam itu, yakni Anggota Komite Kajian Hak Perempuan, Anak, dan Keberagaman Gender Amnesty UNAIR Jonathan Imanuel Misman dan Menteri Pergerakan dan Kesetaraan Gender BEM FISIP UNAIR Diba Eriestantia.

Jonathan membuka kegiatan tersebut dengan mengatakan bahwa untuk memahami kelakar seksis (sexist jokes), perlu untuk memahami apa itu seksisme. Ia menjelaskan bahwa seksisme ialah segala bentuk prasangka dan diskriminasi yang didasarkan pada seks atau identitas gender seseorang. Seksisme tak hanya dapat ditujukan untuk seorang individu saja, tetapi dapat menjamur di suatu sistem atau model keorganisasian sehingga ujungnya, sistem tersebut mendukung ketidaksetaraan gender.

“Perlu dipahami juga perbedaan antara seks dan gender. Seks itu didasarkan pada jenis kelamin seseorang, jadi biner (laki-laki dan perempuan). Tetapi gender itu luas spektrumnya, tidak seperti seks,” ujar mahasiswa Hubungan Internasional itu.

Diba kemudian melanjutkan eksplanasi Jonathan bahwa seksisme ini acapkali ditujukan pada kelompok gender minoritas, seperti perempuan dan komunitas non-biner. Ia menambahkan bahwa tujuan dari seksisme ini agar gender tersebut menjadi inferior, dan seringkali bentuk-bentuk seksisme ini verbal – salah satunya adalah sexist jokes.

“Jadi sexist jokes adalah humor yang menghina, menstereotip, dan mengobjektifikasi seks atau identitas gender tertentu. Karena dibalut humor, model seksisme ini lebih dapat diterima dan dinormalisasi oleh masyarakat. Padahal layaknya seksisme yang lain, normalisasi ini juga dapat berujung pada masyarakat yang melanggengkan ketidaksetaraan gender, atau bahkan kekerasan seksual,” tutur mahasiswi angkatan 2019 itu.

Kelakar seksis ini menurut Jonathan dapat ditelaah melalui koridor teori ambivalent sexism. Teori tersebut membagi model seksisme jadi dua, yaitu hostile sexism dan benevolent sexism. Jonathan menjelaskan bahwa hostile sexism modelnya lebih gamblang seperti mengejek bahwa perempuan itu inferior daripada laki-laki. Benevolent sexism di sisi lain lebih dapat diterima oleh masyarakat karena modelnya tidak terlalu konfrontatif dan seakan-akan terlihat positif.

“Model-model benevolent sexism itu seperti pemberian peran terhadap perempuan. Perempuan itu harus dilindungi, lemah, harus menjadi pengurus anak dan suami. Padahal sama saja intinya menciptakan relasi kuasa antara laki-laki dengan perempuan. Sexist jokes ini sama seperti itu,” papar Jonathan.

Kelakar seksis menurut Jonathan tak bisa diremehkan karena humor merupakan power language yang menyatukan orang-orang yang setuju (in-group), dan mengeksklusi orang-orang yang dirugikan dari kelakar tersebut (out-group).

Hal ini diamini pula oleh Diba yang menjelaskan bahwa kelakar seksis menjustifikasi peran dan stereotip gender tertentu. Ia mengambil contoh memes yang seksis, dimana perempuan apabila berkumpul pasti akan membahas soal kecantikan sementara laki-laki apabila berkumpul akan membahas politik, keagamaan, dan sejarah.

“Jadi ia mengkerdilkan kemampuan perempuan. Sexist jokes ini sering muncul di tongkrongan, apalagi kalau disitu banyak cowoknya. Mungkin langkah pertama adalah bisa di-callout,” tutup Diba.

Penulis: Pradnya Wicaksana

Editor: Nuri Hermawan

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp