Penggunaan sistem PLTS di Indonesia telah meluas ke berbagai bidang dan area. Salah satu contohnya adalah bangunan tempat tinggal atau sektor residensial di perkotaan. Penelitian ini membahas metode perhitungan praktis untuk mendesain PLTS yang dipasang pada bangunan tempat tinggal, seperti; rumah, kantor, atau sekolah/kampus. PLTS untuk keperluan bangunan tempat tinggal ini biasa disebut dengan solar home system (SHS). Listrik yang dihasilkan dari SHS digunakan untuk menyuplai berbagai macam peralatan listrik, dimana peralatan listrik tersebut digunakan oleh penghuni gedung untuk kehidupan sehari-hari. Metode perhitungannya dilihat dari potensi energi matahari dan keandalan sistem on-site dalam menghasilkan listrik yang berkualitas. Dalam penelitian ini juga disampaikan satu contoh SHS yang dipasang pada di lingkungan Kampus C, Universitas Airlangga.
Metode Kalkulasi Potensi Energi Matahari
Metode dalam penelitian ini digunakan untuk mengetahui total energi listrik yang dibutuhkan oleh suatu bangunan tempat tinggal pada setiap harinya. Selain itu juga untuk mempertimbangkan jenis beban listrik apa saja dan berapa lama pemakaiannya dalam sehari. Potensi energi matahari di lokasi dinyatakan dalam tingkat penyinaran matahari dan peak sun hours (PSH). Kedua variabel ini digunakan untuk menghitung jenis, jumlah, dan spesifikasi setiap komponen SHS yang akan dipasang di lokasi. Hal ini agar sistem yang dirancang dapat memenuhi kebutuhan listrik pada bangunan residensial. Hanya saja dalam penelitian ini beban listrik yang menjadi target pemenuhan suplai energi meliputi bukan seluruh beban listrik di dalam gedung, tetapi hanya untuk sebagian penerangan saja.
Surabaya terletak pada koordinat 07°09’00” – 07°21’00” Lintang Selatan dan 112°36′ – 112°54′ Bujur Timur. Jika metode ini akan diterapkan pada lokasi lain, maka cukup mengganti nilai global horizontal insolation (GHI) untuk koordinat lokasi yang diperoleh dari RETScreen. Menurut G. L. Morrison dan Sudjito, rata-rata penyinaran pada siang hari atau average daily hours (ADH) di Indonesia adalah 12 jam sehari. Kemudian insolasi normal langsung atau direct normal insolation (DNI) untuk rata-rata per bulan adalah hasil pembagian GHI dan ADH.
Dengan mengambil nilai minimum DNI, diharapkan sistem SHS dapat bekerja secara optimal meskipun dalam kondisi musim hujan. Analisis kebutuhan energi disediakan oleh panel surya yang diperoleh dari jumlah energi yang dikonsumsi oleh beban per hari.
Nilai DNI dapat digunakan untuk referensi daya keluaran yang dapat dihasilkan panel surya saat dipasang di lokasi. Sebagai contoh, jika panel surya pada datasheet memiliki kapasitas daya keluaran 100 Wp, berarti panel surya dapat menghasilkan nilai daya yang sama hanya ketika mendapatkan insulasi cahaya matahari 1000 W/m^2 dan suhu 32 °C. Parameter insulasi cahaya dan suhu diperoleh dalam kondisi uji standar (STC). Jadi jika panel surya dipasang di lokasi yang memiliki DNI 0,37 kW/m^2, maka akan memiliki daya keluaran maksimum 37 W.
Metode Kalkulasi Desain SHS/PLTS
Hal pertama yang dihitung adalah jumlah dan kapasitas panel surya. Panel surya merupakan komponen utama dalam unit pembangkitan pembangkit listrik tenaga surya. Komponen ini mengubah energi matahari menjadi energi listrik. Perhitungan ini akan melibatkan satu parameter lagi yang dikenal sebagai PSH. PSH adalah parameter untuk menyatakan rasio durasi penyinaran matahari maksimum (dalam jam) per hari terhadap intensitas radiasi matahari standar yaitu 1 kW/m^2, satuan PSH adalah jam. Menurut G. L. Morrison dan Sudjito, nilai PSH di Indonesia adalah 4 – 5 jam per hari.
SHS ini dijalankan untuk memenuhi kebutuhan listrik selama 24 jam, oleh karena itu diperlukan sistem penyimpanan. Sistem penyimpanan ini berguna agar SHS dapat menghasilkan listrik selama 24 jam. Sistem penyimpanan menggunakan susunan baterai untuk menyimpan energi listrik yang dihasilkan oleh unit pembangkit. Kapasitas sistem penyimpanan mempertimbangkan total energi yang dihasilkan panel surya selama jam-jam PSH.
Komponen penting yang didesain selanjutnya adalah solar charge controller (SCC). SCC berfungsi untuk mengoptimalkan proses produksi energi listrik dari susunan panel PV. Secara umum, SCC memiliki fitur maximum power point tracking (MPPT). Dimana fitur ini berfungsi untuk melacak tegangan power point maksimum dari array panel PV. Konverter DC/DC pada SCC akan mengubah tegangan pengisian arus listrik menjadi tegangan tersebut. Hal ini akan meningkatkan produksi energi listrik dan meningkatkan efisiensi sistem.
Selanjutnya adalah perhitungan kapasitas inverter. Perangkat inverter berfungsi untuk mengubah listrik DC menjadi AC. Perangkat ini dibutuhkan karena hampir semua peralatan listrik menggunakan daya AC. Pada umumnya penentuan kapasitas inverter pada pembangkit listrik tenaga surya hanya mempertimbangkan total daya yang digunakan oleh semua beban ditambah kompensasi 25%. Hal ini dianggap untuk menghindari kelebihan beban atau arus “in-rush” yang ditimbulkan oleh beban listrik induktif.
Implementasi dan Hasil
Desain SHS telah berhasil diterapkan pada atap Gedung Nanizar Zaman, Universitas Airlangga, Surabaya, Indonesia. Potensi energi matahari di lokasi tersebut rata-rata sebesar 0,37 W/m2. Implementasi desain ini juga dapat digunakan untuk mendesain SHS di berbagai lokasi di Indonesia dengan spesifikasi yang sesuai dengan kapasitas sistem yang dibutuhkan. SHS yang dirancang untuk dibangun memiliki kapasitas 1 kWp dengan spesifikasi sistem menggunakan panel PV 50 Wp dengan jumlah 20 unit disusun 2 seri 10 paralel, 6 unit bank baterai disusun 2 seri 3 paralel, SCC-MPPT 2 kW, Gelombang inverter sinus murni 200 W, serta alat pendukung seperti data logger dan meteran listrik. SHS yang dibangun telah beroperasi selama 3 bulan dengan total energi yang dihasilkan sebesar 43,55 kWh, dengan rata-rata 18,2 kWh per bulan. Keterbatasan metode perhitungan yang disajikan dalam penelitian ini hanya dapat digunakan untuk menentukan sistem off-grid dengan kapasitas total lebih rendah dari 30 kWp.
Hal penting lainnya pada implementasi desain SHS adalah penempatan panel surya dan panel pengontrol yang mempertimbangkan topologi atap gedung. Sudut elevasi panel surya adalah 10-15 derajat menghadap khatulistiwa. Jika lokasinya di selatan khatulistiwa, panel surya harus menghadap ke utara, dan sebaliknya. Selain itu, tidak boleh ada benda ke arah sinar matahari yang memiliki ketinggian lebih dari pemasangan panel surya. Hal ini dapat menyebabkan bayangan pada permukaan panel surya. Tinggi minimum kaki pemasangan adalah 20 cm dari permukaan atap. Kemudian yang penting untuk diperhatikan adalah jarak panel antara panel surya ke panel pengontrol dan panel baterai tidak boleh lebih dari 50 meter. Ini akan menyebabkan kerugian besar di sisi DC.
Penulis: Prisma Megantoro, ST. MEng.
Informasi detail dari riset ini dapat dilihat pada tulisan kami di:
http://ijeecs.iaescore.com/index.php/IJEECS/article/view/25887 atau https://www.scopus.com/record/display.uri?eid=2-s2.0-85114327387&doi=10.11591%2fijeecs.v23.i3.pp1736-1747&origin=inward&txGid=19fc1650fa773d9c499be8833c565f91
P. Megantoro, P. Anugrah, Y. Afif, L. J. Awalin, and P. Vigneshwaran, “A practical method to design the solar photovoltaic system applied on residential building in Indonesia,” Indones. J. Electr. Eng. Comput. Sci., vol. 23, no. 3, pp. 1736–1747, 2021, doi: 10.11591/ijeecs.v23.i3.pp1736-1747.