Kontentasi Dua Perempuan dalam Memperebutkan Peran Ibu di Masa Order Baru dalam Novel Dua Ibu

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Foto by Cerita Perjalanan Kita

Novel yang ditulis oleh Arswendo Atmowiloto yang berjudul Dua Ibu pertama kali diterbitkan pada tahun 1980. Novel ini sukses meraih penghargaan sebagai Juara Pertama di Yayasan Buku Utama pada tahun 1981 sebagai karya fiksi terbaik dan diterbitkan kembali pada tahun 2009. Berlatar belakang di kota Solo dan Jakarta, dimana Solo digambarkan sebagai kota yang terkenal sebagai pusat tradisi beserta sejarah dan budaya Jawa sedangkan Jakarta digambarkan sebagai Ibu Kota yang sedang berkembang pada masa rezim Orde Baru.

Peran menjadi seorang Ibu pada masa rezim Orde Baru mencerminkan bagaimana tradisi dan modernitas di gambarkan di Jawa pada tahun 1980. Ibu mewakili tradisi yang telah dibentuk oleh lingkungan budaya dan tradisional di Solo, Jawa Tengah. Sementara itu, Tante Mirah mewakili modernitas yang sedang terjadi di Jakarta, kota dimana Tante Mirah berhasil menjadi kaya dan sukses Bersama suaminya.

Novel ini menghadirkan sosok dua ibu yang berusaha mengambil peran sebagai seorang ibu untuk seorang putra, bernama Mamid. Tante Mirah yang melahirkan Mamid, namun Mamid dirawat dan dibesarkan oleh ibu angkatnya, yang kemudian dia panggil Ibu. Menjadi seorang Ibu yang sesungguhnya bagi Mamid menjadi peran yang diperebutkan oleh Ibu dan juga Tante Mirah.

Menjadi ibu yang baik bukan hanya tentang melahirkan anak-anak yang sehat secara jasmani, tetapi juga bagaimana mencintai, merawat, serta bertanggung jawab terhadap jiwa anak anak dan terlebih terhadap diri mereka sendiri. Faktor keuangan selain memegang peran yang penting ternyata juga memberikan dampak yang cukup besar. Ibu rela mengunakan harta serta uangnya untuk memenuhi semua kebutuhan anak angkatnya. Selama krisis keuangan, Ibu memilih untuk memperjuangkan nasib anak-anaknya dengan membayar biaya pendidikan, kebutuhan untuk hidup sehari sehari, sampai menyelenggarakan acara khitan dan juga pernikahan. Setelah itu, Ibu juga harus mengambil alih peran ayah yang telah meninggal. Hal ini tentu tidak mudah bagi Ibu. Disini Ibu digambarkan sebagai wanita tanpa pamrih dan selalu tulus demi anak anaknya.

Sedangkan karakter Tante Mirah begitu bertentangan dengan Ibu. Tante Mirah begitu dekat dengan modernitas. Dia cerdas, istimewa dan berpendidikan. Jakarta sebagai Ibu Kota adalah kota impian karena disitu dia bisa mewujudkan keinginannya. Dia rela meninggalkan Solo dan pindah ke Jakarta dikarenakan di Jakarta adalah tempat yang cocok untuk meraih mimpinya dan merubah hidupnya menjadi lebih baik dari pada di Solo. Tentu saja pilihannya akan membuatnya meninggalkan anaknya. Tante Mirah dan Oom Bong pada akhirnya berhasil meraih mimpi mereka dan memutuskan tinggal di Jakarta di salah satu kawasan tanpa nama yang membuat mereka tidak mempunyai kewajiban untuk mengenal dan menghormati tetangganya. Sehingga terkesan lebih individual dan sedikit meninggalkan tradisi serta budaya. Karakter Tante Mirah menggambarkan moderinitas yang sedang muncul dan terus berkembang di kota besar pada era Orde Baru.

Di novel ini seorang Ibu harus memilih diantara tetap tinggal di Solo dan merawat anak atau pindah ke Jakarta demi hidup yang lebih baik. Pilihan yang diambil pun akan memberikan hasil dan konsekuensi yang berbeda serta tidak mudah bagi keduanya. Ada banyak pengorbanan dan juga rasa sakit didalamnya. Tradisi serta budaya atau modernitas. Sebuah perebutan yang terjadi antara Ibu dan Tante Mirah. Ibu yang patuh serta mengikuti nilai nilai yang telah ada sejak zaman nenek moyang dan turun temurun dilestarikan oleh generasi yang selanjutnya, atau Tante Mirah yang mengikuti gelombang baru yang bernama modernitas yang ada pada masa Orde Baru demi kehidupan yang mapan dan sukses di Jakarta.

Cinta seorang ibu tidak akan mengenal batas baik bagi ibu yang melahirkan atau ibu yang merawat hingga dewasa. Mamid sadar dan mengerti akan hal itu. Sehingga pada akhirnya Mamid sanggup menerima dan mencintai kedua sosok ibu tersebut. Kedua ibu ini ada dan saling melengkapi hidupnya. Sehingga pada akhirnya, seorang anak harus melakukan yang terbaik untuk membalas budi atas semua kebaikan beserta cinta tanpa syarat yang telah diberikan oleh ibu kepadanya.

Penulis: Edi Dwi Riyanto

Link artikel: http://jurnal.unissula.ac.id/index.php/edulite/article/view/12873
DOI: http://dx.doi.org/10.30659/e.6.2.341-352

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp