UNAIR NEWS – Identitas merupakan salah satu aspek penting dalam suatu kelompok masyarakat. Tidak terkecuali bagi masyarakat Jawa, periode klasik. Namun dewasa ini, belum banyak masyarakat yang memahami identitas periode klasik pada masyarakat Jawa tersebut.
Guna menyebarluaskan mengenai identitas klasik masyarakat Jawa, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga (FIB UNAIR) menggelar seminar bertajuk Classical Javanese Identity. Acara tersebut digelar pada Rabu (22/09/2021) malam dan merupakan bagian dari Seminar Humaniora (Senarai) Nasional FIB UNAIR. Sepanjang 2021, FIB UNAIR telah menggelar Senarai Nasional sebanyak tujuh kali.
Sebagai pembicara, hadir Dr. Natalie Ong (National University of Singapore) yang mengulas tentang identitas klasik Jawa pada masa Pra-Islam. Selain itu, hadir pula Adrian Perkasa, S.Hub.Int., S.Hum., M.A (FIB UNAIR) yang memaparkan terkait periode klasik Jawa masa pergerakan nasional.
Dr. Natalie menyebut bahwa memahami sebuah gambar merupakan salah satu cara untuk mengenali identitas suatu masyarakat. Pada periode klasik Pra-Islam masyarakat Jawa, gambar yang dimaksud yakni relief. Ia memberi contoh yakni relief yang ada pada Candi Borobudur dan Candi Prambanan.
“Corak relief menggambarkan aktivitas masyarakat pada masa lampau. Dengan begitu, kita dapat pula mengetahui identitas masyarakat pada masa tersebut,” tuturnya.
Lanjutnya, Dr. Natalie mengatakan bahwa memahami suatu relief dapat dilakukan dengan Arkeologi dan Ilmu Sejarah. “Melalui arkeologi, kita dapat membawa informasi mengenai relief tersebut. Sedangkan ilmu sejarah berfungsi untuk lebih mendalami maksud gambar pada relief,” jelas Dr. Natalie yang juga menjadi Pasca Doktoral di Departemen Ilmu Sejarah Universitas Airlangga.
Sesi selanjutnya, yakni pemaparan materi oleh Adrian Perkasa., S.Hub.Int., S.Hum., M.A. Pada pemaparannya, dapat ditarik kesimpulan bahwa kebudayaan Jawa klasik merupakan identitas yang dominan di masa pergerakan nasional Bangsa Indonesia.
“Hal itu tidak lepas dari peran Indische Partij atau tiga serangkai. Douwes Dekker, Cipto Mangunkusumo, dan Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara, Red) ingin merangkul semua anak bangsa dari berbagai latar belakang. Namun demikian, mereka lebih banyak menggunakan simbol-simbol Jawa,” jelasnya.
Adrian juga memaparkan, bahwa dominasi kebudayaan Jawa harusnya telah berakhir setelah peristiwa Sumpah Pemuda di tahun 1928. “Dan kemudian setelah masa pergerakan nasional tepatnya tahun 1950-an, Jawa bukan yang dominan dari sisi politik, maupun ekonomi. Akan tetapi jika diperhatikan dari sisi budaya, Jawa masih mendominasi,” ungkapnya.
Identitas sebagai kebudayaan Jawa memang tidak bisa dilepaskan dari Bangsa Indonesia. Dalam hal ini, Adrian menyebut bahwa tokoh penting dalam formasi pembentukan identitas Jawa dan ide-ide nasionalis yakni Pangeran Prangwedono atau Mangkunegaran. “Pengaruhnya memang kita rasakan bahkan sampai era ini,” pungkas Adrian.
Penulis: Fauzia Gadis Widyanti
Editor: Khefti Al Mawalia