Perbandingan Tingkat Risiko Kegagalan Bank Syariah dengan Bank Konvensional di Indonesia

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Foto dari KabarUang.com

Sektor perbankan memiliki peran penting dalam perekonomian Indonesia. Bank yang memiliki peran dan fungsi sebagai lembaga intermediasi atas pihak yang kelebihan dana dengan pihak kekurangan dana, melalui produk simpanan dan pembiayaan. Peran pembiayaan pada bank Syariah dan kredit bank konvensional memiliki tujuan dalam rangka mendukung peningkatan kegiatan ekonomi. Bank Syariah memiliki karakteristik yang sangat berbeda dibandingkan bank konvensional, dimana bank Syariah beroperasional berdasarkan prinsip – prinsip Syariah berdasarkan Al – Quran dan Hadist serta melarang transaksi keuangan yang memiliki unsur Maysir, Gharar, Riba dan Dzalim dan berlandaskan prinsip Bagi Hasil (Profit Loss Sharing – PLS). Prinsip Syariah pada bank Syariah menghasilkan produk perbankan yang berbeda dengan prinsip dengan operasional bank konvensional.

Indonesia menggunakan sistem keuangan berbasis dual banking system semenjak berdirinya bank Syariah pertama di Indonesia yaitu Bank Muamalat Indonesia pada tahun 1992 dan didukung Undang – Undang Republik Indonesia No. 7 tahun 1992. Hal ini memberikan ruang bagi bank Syariah dapat beroperasional dan juga bersaing dengan bank konvensional dalam operasionalnya. Pemerintah dan regulator keuangan di Indonesia memiliki perhatian penuh terhadap perkembangan bank Syariah, dimana terdapat regulasi yang berbeda dengan dengan bank konvensional dan berbeda dengan bank konvensional.

Bank Syariah dan bank konvensional menghadapi risiko operasional bank yang sama sehingga kedua jenis bank harus melakukan manajemen risiko dengan sangat baik agar memiliki ketahanan dalam kinerja perbankan dan profitabilitasnya. Sektor perbankan sangat terbuka pada peluang berbagai risiko antara baik dari pembiayaan atau kredit, strategik, pasar, likuiditas, hukum, operasional, reputasi dan kepatuhan, dan di bank Syariah terdapat risiko imbal hasil dan investasi. Apabila risiko tidak dikelola dengan baik maka akan menyebabkan perbankan berisiko mengalami kegagalan bank yang dapat menyebabkan tidak dapat beroperasional kembali akibat dari kerugian yang dialami. Hal ini juga berdampak bank gagal akan mengalami kesulitan likuiditas sehingga kesulitan mengembalikan simpanan nasabah. Di Indonesia, kegagalan bank akan ditangani oleh Lembaga Penjamin Simpanan, berdasarkan Undang – Undang Republik Indonesia No. 24 tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan.

Risiko kegagalan bank dapat menyebabkan risiko sistemik yang disebabkan kegagalan beberapa bank terjadi apabila risiko tidak dikelola dengan dari masing – masing bank. Maka pengukuran risiko menjadi penting dalam rangka bank menjaga stabilitasnya, yang disebut dengan early warning system. Salah satu metode yang digunakan adalah Probability of Default (PD). Menurut Hadad,  Santoso,  Besar dan Rulina (2004), mendefinisikan Probability of Default adalah bentuk penilaian yang menggunakan Merton model untuk melihat perusahaan berdasarkan penilaian pasar menggunakan asumsi terkait dengan kondisi aset dan kewajiban perusahaan.

Untuh menghitung Probability of Default diawali dengan penghitungan Distance Default (DD). Menurut Kabir, Md Nurul, Andrew Worthington, dan Rakesh Gupta (2015), Distance Default adalah jumlah standar deviasi yang dimiliki bank nilai aset harus turun untuk mencapai titik default. Skor DD yang lebih tinggi kemudian menunjukkan nilai perusahaan jauh dari titik default, sehingga menurunkan kemungkinan default. Misalnya, jika nilai pasar yang diharapkan bank dari aset dalam satu tahun adalah 100 dan titik default adalah 20, maka penurunan 80 persen nilai pasar aset akan membuat bank default. Probabilitas dari  nilai pasar aset turun dari 100 menjadi 20 tergantung pada volatilitas nilai aset bank. Misalnya, jika volatilitas nilai aset bank adalah 10 persen, maka 8 poin standar deviasi akan dibutuhkan untuk mencapai sebuah titik default 20.

Penelitian Rani dan Silvira (2021), memberikan bukti empiris dari standar perbandingan risiko pada bank syariah dan bank konvensional di Indonesia periode 2011 hingga 2017. Perhitungan risiko bank gagal (bank default risk) menggunakan Model Merton telah memungkinkan ukuran Distance to Default (DD) dan Default probability (DP). Studi ini adalah diperluas untuk menyelidiki perbedaan risiko default bank antara bank syariah dan bank konvensional dengan karyawan dari uji-T. Bukti menunjukkan bank syariah sebagai bank yang jauh dari Distance to Default (DD) daripada konvensional bank. Uji-T menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan dalam Probabilitas nilai Default antara bank syariah dan bank konvensional. Temuan ini mungkin relevan dengan regulator di Indonesia untuk mendukung pertumbuhan Islam, yang membantu dalam menjaga stabilitas sistem keuangan dan menghindari risiko sistemik.

Mengukur Distance to Default (DD) akan berfungsi sebagai sistem peringatan dini (Early Warning System) dan saran bagi perbankan untuk terus mencapai kondisi yang rendah Distance to Default, yaitu dengan beroperasi dengan menghindari eksposur risiko perusahaan kegiatan. Konsep operasional bank syariah yang menggunakan konsep pembagian untung-rugi (Profit – Loss Sharing)  untuk menghindari penggunaan suku bunga seperti yang ditemukan dalam konvensional bank menunjukkan bahwa, hasil pengukuran kemungkinan default risk (kegagalan bank) menunjukkan risiko gagal bayar yang lebih rendah dibandingkan dengan bank konvensional.

Penulis: Okta Silvira dan Lina Nugraha Rani

Link Jurnal: https://ejournal.um.edu.my/index.php/JS/article/view/29798

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp