Populisme Kebijakan Luar Negeri Jokowi

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Sumber: CNBC Indonesia

Banyak kalangan akademisi maupun pengamat politik domestik yang menganggap Presiden Joko Widodo (Jokowi) adalah seorang populis. Dengan gaya blusukan merakyat, Jokowi menciptakan citra diri sebagai seorang pemimpin yang pro-kepentingan wong cilik. Aksi populis pun mewarnai berbagai kebijakan ekonomi yang dibuat pemerintahannya. Mulai dari proteksionisme ekonomi hingga nasionalisasi saham perusahaan asing seperti Freeport. Tidak diragukan lagi Jokowi memang populis.

Namun pertanyaannya ialah apakah saat berdiplomasi atau menjalankan kebijakan luar negeri Jokowi juga populis? Belum tentu. Ada tiga indikator yang bisa menunjukkan seorang pemimpin populis dalam arena politik internasional.

Pertama, seorang pemimpin populis menggunakan bahasa ‘kita’dan ‘mereka’ untuk mengidentifikasi diri/bangsa yang dibela dan pihak luar/bangsa lain yang dianggap sebagai musuh. Oposisi biner ini dibuat disertai persepsi moral tentang kita sebagai yang benar dan baik, sedangkan mereka sebagai yang salah dan jahat. Untuk konteks hubungan antarbangsa, personifikasi rakyat terjajah dan bangsa asing ‘penghisap darah’ lazim dirujuk guna mempertebal rasa nasionalisme pengikut pemimpin populis. Kalau disimak dari apa yang dikatakan dan dilakukan Jokowi ketika menghadapi masalah dengan negara lain, semisal agitasi Tiongkok di Laut Natuna Utara, tampak jelas bahwa Jokowi lebih memilih nasionalis tanpa bumbu populis. Kedaulatan adalah harga mati, tetapi kita siap berdiplomasi. Jokowi tidak menunjuk Tiongkok sebagai musuh yang harus dibasmi, tetapi hanya sebagai pihak luar yang tidak menghormati kedaulatan teritorial Indonesia.

Kedua, pemimpin populis suka menyisipkan pesan-pesan solidaritas etnis dan keagamaan dalam wacana kebijakan luar negeri. Ambil contoh Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan yang selalu berpidato berapi-api tentang Islam melawan Barat, dan kadang menjadikan Rusia sebagai model bangsa kuat dan mapan. Saat menanggapi konflik pun Erdogan sering merujuk solidaritas umat Islam sedunia dan mengklaim diri mampu mempersatukan Dunia Muslim untuk menghadapi penindas. Jokowi Tidak demikian. Misal ketika merespons genosida Rohingya, Jokowi lebih memilih bahasa universal seperti bantuan kemanusiaan, meskipun diarahkan untuk saudara seiman. Jokowi tidak menyebut militer Myanmar sebagai penindas dan warga Muslim Rohingya sebagai yang ditindas. Jokowi juga tidak menggunakan jalur organisasi solidaritas Muslim sedunia untuk menggelorakan kepemimpinan berpanji Islam. Yang dilakukan sebatas diplomasi untuk mendekati Pemerintah Myanmar agar menghentikan kekerasan tentara terhadap warga Muslim Rohingya. Selain itu, Jokowi lebih fokus pada bantuan sosial dan pendidikan untuk Rohingya.

Ketiga, barangkali satu-satunya indikator yang menunjukkan sikap populis Jokowi adalah diplomasi pro-rakyat yang kerap ditampilkan sejak awal memerintah. Jokowi menunjuk Retno Marsudi, seorang diplomat karier yang sukses membangun kemitraan Indonesia-Belanda-Uni Eropa, sebagai menteri luar negeri. Retno terkenal dekat dengan kalangan masyarakat umum baik di negeri kincir angin maupun di tanah air. Ia juga aktif dalam kegiatan sosial budaya yang dijadikan sebagai medium menjalin kerja sama ekonomi. Jokowi tampil dengan pendekatan serupa. Prioritas hubungan luar negeri ialah meningkatkan investasi dan membuka pasar untuk produk-produk ekonomi lokal Indonesia, bukan acara diplomasi multilateral mencusuar seperti para pendahulunya. Jokowi juga menekankan perlindungan warga Indonesia di luar negeri, terutama para pahlawan devisa (TKI). Jokowi juga tidak terlalu mengekspos aktivitas diplomasi mewah, melainkan lebih suka menampilkan acara santai dengan para kepala negara dan pemerinthan asing di akun media sosial miliknya. Hal ini bertujuan agar konstituen populis langsung bisa mengakses profil presiden tanpa lewat birokrasi diplomatik.

Jadi kadar populisme Jokowi di dalam negeri tidak terefleksi total dalam implementasi kebijakan luar negerinya.

Penulis: I Gede Wahyu Wicaksana Artikel lengkap dapat dibaca di Wicaksana, I. Gede Wahyu, and Agastya Wardhana. “Populism and foreign policy: The Indonesian case.” Asian Politics & Policy 13, no. 3 (2021): 408-425. https://onlinelibrary.wiley.com/doi/abs/10.1111/aspp.12594

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp