Pemulihan Kesuburan Kuda Pacu Betina yang Mengalami Korpus Luteum Persisten

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Foto dari Grid ID

Kuda pacu biasanya dilatih pada usia 1-1,5 tahun, dan sejak itu jadwal kegiatannya akan sangat padat berupa latihan dan lomba sebagaimana atlet professional. Masa keemasan prestasi sebagai kuda pacu adalah selama 5-6 tahun dan selama periode itu kuda pacu betina tidak dikawinkan sehingga reproduksinya istirahat. Kuda pacu dipensiunkan, berhenti berlatih dan berlomba setelah prestasinya tidak kompetitif lagi, sehingga kuda pacu betina tersebut dapat mulai diternakkan untuk menghasilkan keturunan kuda pacu yang unggul.

Kuda bersifat poliestrus musiman, dan sifat kesuburannya dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Siklus birahi kuda antara 18-22 hari, dengan rata-rata 21 hari. Kuda dalam kesehatan dan perawatan yang baik diharapkan mencapai efisiensi reproduksi dengan menghasilkan satu anak per tahun. Apabila kuda bunting setelah dikawinkan, maka korpus  luteum pada ovariumnya dipertahankan sampai menjelang melahirkan. Korpus  luteum berfungsi menghasilkan hormone progesterone untuk memelihara kebuntingan.  Sebagaimana jenis ternak lain,  tidak semua kuda  langsung bunting setelah dikawinkan.  Korpus luteum yang terbentuk setelah ovulasi biasanya berfungsi selama 14 sampai 15 hari pada kuda betina yang tidak bunting.  Apabila kuda gagal bunting setelah dikawinkan, secara normal korpus  luteum akan diluruhkan oleh prostaglandin (PGF2α) yang disekresikan oleh endometrium, untuk memulai siklus birahi baru.  Namun, apabila terdapat gangguan pada endometrium sehingga endometrium tidak mampu menghasilkan hormone prostaglandin, maka korpus  luteum tersebut menetap yang disebut korpus  luteum persisten.  Penyebab paling umum korpus  luteum persisten adalah ovulasi yang terlambat, sehingga menghasilkan korpus luteum yang belum matang pada saat pelepasan prostaglandin; adanya kematian embrio dini; dan disebabkan infeksi rahim yang mengakibatkan kerusakan endometrium, sehingga endometrium tidak mampu memproduksi prostaglandin. Korpus luteum persisten dapat bertahan selama 2-3 bulan, selama waktu itu kuda betina tidak akan menunjukkan perilaku birahi.

Diagnosis korpus luteum persisten dapat dilakukan berdasarkan pengamatan perilaku, palpasi organ reproduksi melalui rektum, ultrasonografi, analisis konsentrasi progesteron plasma, atau respons klinis terhadap pemberian prostaglandin. Kuda betina yang mengalami korpus  luteum persisten tidak menunjukkan perilaku birahi (mengalami anestrus) selama lebih dari tiga bulan. Kuda yang mengalami anestrus 2-3 bulan setelah melahirkan banyak diantaranya yang disebabkan oleh korpus luteum persisten.  Pada pemeriksaan visual, vagina nampak kering karena pengaruh kadar hormone progesterone yang tinggi.  Palpasi organ reproduksi melalui rectum dapat dirasakan tonus  pada serviks dan uterus baik, serta terdapat korpus luteum pada permukaan ovariumnya. Keberadaan korpus luteum dapat dikonfirmasi dengan pemeriksaaan ultrasonografi dan pengukuran kadar progesterone dari sampel darah. Konsentrasi progesteron lebih besar dari 1,0 ng/ml merupakan indikasi adanya aktivitas luteal. Korpus luteum yang persisten dapat disembuhkan dengan pemberian hormone prostaglandin intramuskular dosis tunggal (PGF2α, 10 mg; atau cloprostenol, 250 mg). Pada pemberian secara intramuskular, migrasi PGF2α dari tempat suntikan ke ovarium kuda betina adalah secara sistemik  melalui seluruh tubuh, sehingga membutuhkan dosis PGF2α  lebih tinggi. Sampai sat ini belum pernah dilakukan pengobatan PGF2α secara intrauterin (diinfuskan langsung kedalam rahim) untuk induksi birahi guna memulihkan kesuburan kuda pacu yang mengalami korpus luteum persisten.

Penelitian ini dilakukan di kandang kuda pacu di Trawas, Mojokerto, dan Kenjeran, Surabaya. Pengukuran kadar progesterone dalam serum  darah dilakukan di Sub Laboratorium Endokrinologi, Laboratorium Kebidanan Hewan, Divisi Reproduksi Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga. Para peneliti yang terlibat terdiri atas Prof. Dr. Tjok Gde Oka Pemayun, drh., M.S., Guru Besar dan peneliti pada Laboratorium Reproduksi Hewan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana, Prof. Dr. Imam Mustofa, drh,. M.Kes, Prof. Dr. Laba Mahaputra, drh., M.Sc., Prof. Dr. Herry Agoes Hermadi, drh., M.Si., Dr. Sri Mulyati, drh., M.Kes., Suzanita Utama M.Phil., PhD., drh, Dr. Tjuk Imam Restiadi, drh., M.Si., dan Dr. Rimayanti, drh., M.Kes., dari Divisi Reproduksi Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga, serta Ngakan Made Rai Wijaya, drh., MS., dari Divisi Ilmu Kedokteran Dasar Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga

Penelitian ini menggunakan 12 ekor kuda betina yang telah diistirahatkan setelah dijadikan kuda pacu selama 2-5 tahun. Kuda-kuda ini adalah pasien dari Prof. Dr. Laba Mahaputra, drh., M.Sc., praktisi dan pakar reproduksi kuda, yang pada waktu penelitian dilaksanakan beliau menjabat sebagai Ketua Seksi Kesehatan dan Peternakan Kuda pada Persatuan Olahraga Berkuda Seluruh Indonesia (Pordasi), Wilayah Jawa Timur. Diagnosis dilakukan berdasarkan pengamatan perilaku dan riwayat tidak bersiklus birahi dan tidak kembali birahi 2-4 bulan setelah dikawinkan. Palpasi rektal dilakukan untuk mengetahui adanya korpus luteum dan dikonfirmasi dengan pengukuran konsentrasi progesterone serum sebelum pengobatan. Sampel darah untuk pengukuran konsentrasi progesterone diperoleh dari vena jugularis sebelum pengobatan, pada 24, 48, dan 72 jam setelah pengobatan, 21-30 hari setelah birahi, dan 40-45 hari setelah dikawinkan. Progesteron diukur dengan menggunakan enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA). Pengobatan dilakukan dengan menggunakan 5 mg PGF2α dilarutkan dalam 3 mL aquades dan kemudian diinfuskan ke dalam rongga Rahim menggunakan Foley kateter (kateter yang biasa dipergunakan untuk kateterisasi urin pada manusia) ukuran 24G. Deteksi birahi didasarkan pada pengamatan visual dan pemeriksaan intravaginal. Kuda birahi menunjukkan vulva bergerak-gerak seperti mata berkedip diikuti dengan keluarnya urin, suatu manifestasi klinis yang tidak ada pada mamalia lain. Pemeriksaan intravaginal dilakukan menggunakan vaginoskop dua hari setelah pengobatan untuk mendeteksi  pelebaran serviks dan adanya lendir serviks. Apabila kuda tidak menunjukkan dilatasi serviks atau keluarnya lender serviks pada hari kedua, maka deteksi birahi diulang pada hari ketiga. Kuda betina yang terdeteksi birahi dikonfirmasi keesokan harinya dengan didekatkan pada kuda jantan pengusik. Apabila kuda betina birahi maka tanda-tanda visual yang nampak akan berlanjut disertai penerimaan terhadap pejantan pengusik, ekor terangkat, dan sering urinasi. Perkawinan secara alami dilakukan pada hari ketiga setelah munculnya tanda-tanda birahi, dengan terlebih dahulu disuntik dengan 8,4 g gonadotropin-releasing hormone (GnRH)  secara intramuscular dua kali sehari. Pemeriksaan melalui rectum dilakukan pada hari ke 21-30 setelah kawin untuk meraba keberadaan korpus luteum pada ovarium dan untuk menentukan posisi korpus luteum di ovarium kiri atau kanan. Diagnosis kebuntingan melalui palpasi transrektal dilakukan pada 40-45 hari setelah dikawinkan dan dikonfirmasi menggunakan pemindai ultrasound Doppler BT-200.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kuda betina yang dicurigai mengalami korpus luteum persisten berdasarkan manifestasi klinis, terbukti semua kuda tersebut memiliki korpus luteum di ovarium pada pemeriksaan melalui rektum. Pemeriksaan kadar hormone progesterone menunjukkan bahwa 91,7% (11/12) dari kuda tersebut positif mengalami korpus luteum persisten dengan konsentrasi progesterone  2,6-9,5 ng/mL, sedangkan 8,3% (1/12) negatif korpus luteum persisten karena konsentrasi progesterone hanya 0,5 ng/mL (kurang dari 1 ng/mL). Dengan demikian pengobatan hanya dilakukan pada 11 kuda tersebut. Rata-rata kadar progesterone menurun dari 5.03 ng/mL sebelum pengobatan menjadi menjadi 1.33 ng/mL (masih lebih dari 1 ng/mL) 24 jam setelah pengobatan dan menjadi kurang dari 1 ng/mL pada 48 jam dan 72 jam setelah pengobatan. Semua kuda betina yang didiagnosis korpus luteum persisten menunjukkan tanda-tanda birahi 36,4% (4/11) pada 48 jam dan 63,6% (7/11) pada 72 jam setelah pengobatan PGF2α, dengan rata-rata waktu munculnya birahi 2,6±0,5 hari. Semua kuda mengalami ovulasi berdasarkan pemeriksaan korpus luteum pada ovarium melalui palpasi transrektal, dan terkonfirmasi dengan konsentrasi progesterone lebih tinggi dari 1 ng/mL. Distribusi korpus luteum 72,7% (8/11) di ovarium kanan dan 27,3% (3/11) di ovarium kiri. Angka kebuntingan yang diperoleh setelah semua kuda dikawinkan adalah 54,5% (6/11) dengan distribusi 45,5% (5/11) di rahim kanan dan 9% (1/11) di rahim kiri. Semua kebuntingan tersebut terkonfirmasi berdasarkan hasil pemindaian ultrasound Doppler. Sebanyak 45,5% (5/11) kuda yang tidak bunting terindikasi kembali mengalami korpus luteum persisten yang memerlukan pemeriksaan lebih lanjut.

Berdasarkan hasil penelitian ini, pemberian prostaglandin  intrauterin  dapat dipergunakan untuk memulihkan kesuburan kuda yang mengalami korpus luteum persisten.

Artikel ilmiah hasil penelitian ini sudah terbit pada jurnal Veterinary World (https://www.veterinaryworld.org/) suatu jurnal internasional bereputasi, terindeks Scopus Q1/H index= 18 (38/83)/SCImago Journal Rank (SJR): 0.55/Cite Score: 2.6/Impact Factor: 1.547. Artikel dapat di akses melalui tautan: http://www.veterinaryworld.org/Vol.14/September-2021/9.pdf

Penulis: Prof. Dr. Imam Mustofa, drh., M.Kes. (Corresponding author)

Disarikan dari artikel:

Research article

Tjok Gde Oka Pemayun, Imam Mustofa, Laba Mahaputra, Herry Agoes Hermadi, Ngakan Made Rai Wijaya, Sri Mulyati, Suzanita Utama, Tjuk Imam Restiadi and Rimayanti Rimayanti. (2021) Fertility restoration of racing mare with persistent corpus  luteum, Veterinary World, 14(9): 2356-2361. doi: www.doi.org/10.14202/vetworld.2021.2356-2361

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp