Identifikasi Fraksi Aktif Antimalaria Ekstrak Kulit Batang Artocarpus Sericicarpus pada Kultur Sel Plasmodium Falciparum in Vitro

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Foto oleh phytoimages.siu.edu

Menurut WHO World Malaria Report 2019, ada 228 juta kasus malaria di seluruh dunia dan 405.000 kematian akibat malaria pada tahun 2018. Meskipun angka kejadian kematian akibat malaria telah menurun selama beberapa tahun terakhir, kemajuan pemberantasan malaria mulai melambat. Kejadian resistensi obat malaria menekankan perlunya kelanjutan penelitian dalam pengembangan obat malaria baru.

Bahan alam berkontribusi besar dalam pengembangan banyak obat dengan indikasi yang bervariasi. Terutama tanaman memiliki peranan penting dalam bidang pengobatan di sebagian besar budaya di dunia. Dalam kasus pengobatan malaria, banyak tanaman telah dilaporkan sebagai sumber antimalaria berdasarkan kandungan fitokimianya, seperti: alkaloid, flavonoid, terpenoid, dan metabolit lainnya. Sejumlah besar senyawa antimalaria telah diisolasi dan diidentifikasi dari tanaman. Tanaman telah menjadi sumber utama obat malaria sejak penemuan kina dari kulit kayu Cinchona spp dan artemisinin dari daun dan batang Artemisia annua L. Tanaman secara tradisional digunakan sebagai obat selama ribuan tahun. Obat-obatan tradisional yang digunakan di masyarakat secara signifikan menyediakan kandidat potensial yang mungkin menjadi sumber senyawa yang berkhasiat.

Artocarpus champeden atau lebih dikenal dengan nama cempedak, merupakan salah satu tanaman yang digunakan sebagai pengobatan tradisional dalam budaya asli Papua. Kulit batangnya digunakan untuk mengobati demam dan malaria. Penelitian sebelumnya melaporkan beberapa senyawa antimalaria yang telah berhasil diisolasi dari ekstrak kulit batang cempedak. Dua senyawa baru, bersama dengan tujuh senyawa lainnya, telah diisolasi dan diidentifikasi sebagai antimalaria aktif. Ekstrak kulit batang cempedak diformulasikan sebagai bentuk sediaan kapsul dan diuji pada hewan coba mencit yang terinfeksi Plasmodium berghei. Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa formulasi ekstrak kulit batang cempedak mampu menurunkan tingkat parasitemia, memperpanjang waktu kelangsungan hidup tikus yang terinfeksi, meningkatkan produksi IFN-ɣ dan TNF-α, dan tidak berpengaruh pada hati fungsi. Hasil ini dapat memberikan strategi terapi baru untuk pengobatan malaria. Spesies lain dari Artocarpus yang berpotensi sebagai antimalaria adalah Artocarpus altilis, atau dikenal sebagai sukun. Ekstrak etanol daun sukun menunjukkan aktivitas antimalaria terhadap Plasmodium falciparum dan P. berghei. Senyawa antimalaria dari kelas dihidrokhalkon juga diisolasi dari daun sukun, dan senyawa itu memiliki inhibitor enzim protease sistein falcipain-2, enzim yang dihasilkan oleh Plasmodium, melalui studi in silico.

Penemuan obat yang berasal dari tanaman seringkali mengikuti pendekatan kemotaksonomi sebagai strategi yang potensial. Hal tersebut dikarenakan fakta bahwa tanaman terkait secara taksonomi seringkali melakukan biosintesis metabolit sekunder yang mirip secara kimiawi. Karena pendekatan kemotaksonomi, spesies Artocarpus lain kemungkinan menunjukkan bioaktivitas yang serupa. Meskipun banyak laporan tentang aktivitas antimalaria dari spesies Artocarpus, hanya sedikit perhatian yang diarahkan pada Artocarpus sericicarpus. Tanaman ini banyak ditemui di Kalimantan dan dikenal dengan nama pedalai atau peluntan. Sebuah studi pendahuluan mengungkapkan bahwa ekstrak kulit batang A. sericicarpus menunjukkan potensi sebagai sumber antimalaria. Ekstrak n-heksana, diklorometana, dan metanol dari kulit batang A. sericicarpus dapat menghambat 99-100% pertumbuhan P. falciparum pada konsentrasi 100 µg/mL. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi aktivitas antimalaria dari ekstrak kulit batang A. sericicarpus.

Kulit batang A. sericicarpus diekstraksi dengan cara metode ekstraksi ultrasonik menggunakan n-heksana, diklorometana, dan metanol sebagai pelarut. Fraksinasi ekstrak diklorometana dilakukan dengan metode kromatografi kolom terbuka menggunakan oktadesil silika sebagai fase diam dan gradien asetonitril-air sebagai fase gerak. Aktivitas antimalaria ditentukan dengan uji laktat dehidrogenase (LDH) terhadap Plasmodium falciparum galur 3D7.

Ekstrakn-heksana, diklorometana, dan metanol dari kulit batang A. sericicarpus menunjukkan aktivitas antimalaria dengan nilai IC50 masing-masing >4; 2,11; dan >4 µg/mL. Fraksinasi ekstrak diklorometana diperoleh 13 fraksi. Tujuh dari 13 fraksi yang diuji menunjukkan aktivitas antimalaria. Fraksi-6 melakukan penghambatan tertinggi dengan nilai IC50 1,53 ± 0,04 µg/mL. Skrining fitokimia menunjukkan bahwa Fraksi-6 mengandung flavonoid, senyawa polifenol, dan terpenoid yang dapat berperan dalam aktivitas antimalarianya.

A. sericicarpus mengandung senyawa antimalaria terutama di Fraksi-6, yang menghambat pertumbuhan P. falciparum. Flavonoid, polifenol, dan senyawa terpenoid diidentifikasi dalam Fraksi-6, perlu diisolasi lebih lanjut untuk mendapatkan dan menjelaskan senyawa aktif antimalarianya.

Penulis: Dr. Aty Widyawaruyanti, M.Si., Apt.

Informasi detail dari riset ini dapat dilihat pada tulisan kami di:

https://www.degruyter.com/document/doi/10.1515/jbcpp-2020-0397/html

Lidya Tumewu, Lutfah Qurrota A’yun, Hilkatul Ilmi, Achmad Fuad Hafid, Aty Widyawaruyanti. Artocarpus sericicarpus stem bark contains antimalarial substances against Plasmodium falciparum. J Basic Clin Physiol Pharmacol 2021; 32(4):853-858.

https://doi.org/10.1515/jbcpp-2020-0397

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp