Efisiensi Penggunaan Lahan Perkebunan Kelapa Sawit Rakyat

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Foto dari Money Kompas com

Indonesia menjadi negara penghasil dan pengekspor terbesar kelapa sawit dunia. Lebih dari lima puluh persen kebutuhan kelapa sawit dunia dipenuhi Indonesia. Sepanjang tahun 2014 hingga 2018 peningkatan ekspor kelapa sawit Indonesia mencapai 2,07 persen sampai dengan 19,45 persen pertahun atau tumbuh sebesar 24,37 juta ton pada tahun 2014 dan meningkat menjadi 29,67 juta ton pada tahun 2018. Peningkatan permintaan kelapa sawit dunia juga didukung dengan peningkatan jumlah produksi kelapa sawit. Tahun 2014-2018 produksi kelapa sawit mengalami peningkatan berkisar 1.35 persen sampai dengan 10,96 persen. Pada tahun 2014 produksi kelapa sawit mencapai 29,28 juta ton, meningkat menjadi 34,94 juta ton pada tahun 2017 atau meningkat sebesar 19,34 persen dan diperkirakan mengalami kenaikan 4,74 persen menjadi 36,59 juta ton pada tahun 2018.

Peningkatan permintaan kelapa sawit Indonesia direspon oleh pemerintah Indonesia dengan memberikan izin perluasan lahan perkebunan kelapa sawit melalui Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia No 21 tahun 2017. Peraturan tersebut berimplikasi pada penambahan jumlah luas lahan yang digunakan. Selama priode tahun 2014-2018 perluasan lahan Indonesia cenderung mengalami peningkatan berkisar 2,77 persen sampai dengan 10,55 persen pertahun. Pada tahun 2014 lahan perkebunan kelapa sawit tercatat mencapai 10,75 juta hektar dan diperkirakan mengalami peningkatan menjadi 12,76 juta hektar pada tahun 2018. Berdasarkan status pengusahaannya pada tahun 2017, swasta sebesar 6.05 juta hektar (48,83%), sebesar 5.70 juta hektar (46,01%) diusahakan oleh perkebunan petani kecil dan 0.64 juta hektar (5.15%) diusahakan oleh perkebunan kelapa sawit negara. Tahun 2018, lahan kelapa sawit swasta meningkat menjadi 6,36 juta hektar (49,81%), perkebunan petani kecil meningkat menjadi 5,81 juta hektar (45,54%) dan 0.59 juta hektar (4,56%) diusahan oleh perkebunan Negara.

Namun perluasan lahan kelapa sawit memberikan dampak negatif terhadap lingkungan. Isu deforestasi hutan menjadi perdebatan panjang. Perubahan hutan akibat deforestasi membawa dampak pada hilangnya keanekaragaman hayati dan perubahan iklim yang menjadi isu politik atas terus peningkatan perluasa). Sejak 1990 hingga 2015 setidaknya 25 persen Indonesia telah kehilangan hutan hujan, sebagian besar disebabkan oleh perkebunan kelapa sawit. Deforestasi hutan telah berdampak negatif terhadap keanekaragaman hayati di wilayah ASIA dan telah menyebabkan kondisi kritis pada hewan asli wilayah, termasuk orangutan, harimau Sumatera, gajah dan beruang madu.

Pembukaan perkebunan kelapa sawit dengan cara membakar hutan telah meningkatkan gas emisi rumah kaca berupa carbon dioksida. Peningkatan karbon dioksida sebagai akibat pembakaran lahan hutan menempatkan Indonesia sebagai negara ketiga sebagai negara dengan penyumbang gas rumah kaca terbesar di dunia. Efek pembakaran hutan seperti lahan gambut telah meningkatkan kabut asap diwilayah Asia Tenggara dan telah meningkatkan risiko kesehatan pernapasan diwilayah Asia Tenggara. Perkembangan luas lahan terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun akan tetapi produktivitas per-lahan kelapa sawit Indonesia berada dibawah Malaysia. Statistik kelapa sawit Indonesia mencatatkan rata-rata produktivitas mencapai 17 ton perhektar dibawah Malaysia yang mampu tumbuh 21 ton perhektar. Hasil studi lapangan yang dilakukan di Sumatera dan Kalimantan, kelapa sawit Indonesia mempunyai potensi 11 ton perhektar pada perkebunan petani kecil dan 30 ton perhektar pada sektor perkebunan swasta.

Data dalam studi ini menggunakan data sensus pertanian 2013 (survei rumah tangga (usaha perkebunan tahun 2014). Data berjumlah 7139 observasi dan diperoleh dari Badan Pusat Statistika (BPS). Efisiensi lahan perkebunan kelapa sawit dengan pendekatan input distance funtion  tidak dapat digunakan secara lansung untuk mengestimasi efisiensi lahan. Dibutuhkan fungsi parametrik untuk mengestimasi efisensi lahan, yaitu menggunakan stochastik frontier analysis (SFA). Dalam studi ini, kami menggunakan pendekatan input distance function yang diestimasi dengan fungsi produksi stochastic frontier. Kami menganalisis tingkat efisiensi lahan perkebunan kelapa sawit petani kecil pada tahun 2013. Hasil studi menunjukkan efisiensi lahan perkebunan kelapa sawit petani kecil Indonesia mengalami ketidakefisiensi lahan yang relatif rendah, dengan rata-rata nilai 0,6 hingga 0,7. Secara rata-rata keseluruhan nilai efisiensi lahan berada di 0,6, hasil ini menduga semua wilayah memiliki karakteristik yang sama baik dalam segi teknis dan pemanfaatan lahan. Jika melihat dari jumlah lahan yang terdeforestasi dan dampak yang ditimbulkan hal ini tidak sebanding dengan hasil estimasi kami.

Hasil temuan kami mengkonfirmasi keseluruhan perkebunan kelapa sawit petani kecil pada masing-masing provinsi secara rata-rata menghadapi ketidakefisienan lahan perkebunan kelapa sawit. Tiga provinsi dengan nilai tertinggi yaitu Sumatera Selatan (0,715), Kalimantan Tengah (0,702), Sulawesi Barat (0,701) dan tiga terendah dari bawah yaitu provinsi Lampung (0,620), Jambi (0,633), Bengkulu (0,653). Wilayah provinsi Jambi menjadi salah satu wilayah penyumbang terbesar produksi kelapa sawit Indonesia akan tetapi nilai efisiensi lahan berada diurutan tiga terbawah. Dari seluruh wilayah yang diteliti pada masing-masing wilayah masih memiliki potensi untuk ditingkatkan lebih jauh tanpa perlu menambah jumlah luas lahan. Studi ini menyarankan untuk lebih mengintensifikasi luas lahan dengan cara bekerja sama dengan pihak swasta dan pemerintah untuk memaksimalkan lahan yang tersedia.

Penulis: Dyah Wulan Sari, Faqih Nur Hidayat, dan Irawati Abdul

Link Jurnal: Efficiency of land use in smallholder palm oil plantations in indonesia: A stochastic frontier approach
https://journal.unhas.ac.id/index.php/fs/article/view/10912

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp