Analisis Penggunaan Antibiotika pada Infeksi Saluran Pernafasan Akut Non Pneumonia dan Diare Non-Spesifik

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Foto oleh YouTube

Masalah kesehatan masyarakat di negara berkembang didominasi oleh penyakit menular. Data WHO SEARO menunjukkan bahwa 40% per tahun, kematian di daerah tersebut disebabkan oleh penyakit menular. Di Indonesia, Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) non-pneumonia dan diare nonspesifik merupakan kasus terbanyak di pelayanan kesehatan primer. Ini lebih tinggi dari standar WHO, 20% untuk ARTI non-pneumonia dan 8% untuk diare nonspesifik. Antibiotik merupakan obat yang paling sering digunakan di fasilitas pelayanan kesehatan, dan harus digunakan secara rasional untuk memberikan manfaat yang optimal. Penggunaan obat yang rasional diperlukan agar pasien menerima obat yang sesuai dengan kebutuhan klinis mereka, dalam dosis yang memenuhi kebutuhan individu mereka sendiri, untuk jangka waktu yang memadai, dan dengan biaya terendah bagi mereka . Rasionalitas resep antibiotik dievaluasi berdasarkan kesesuaian pemilihan antibiotik, kesesuaian dosis, dan durasi dan frekuensi penggunaan, seperti yang direkomendasikan dalam pedoman klinis. Penggunaan antibiotik yang tidak rasional memiliki konsekuensi kesehatan yang merugikan, termasuk resistensi antibiotik bakteri, pengobatan yang tidak efisien, peningkatan morbiditas dan mortalitas, dan peningkatan biaya perawatan kesehatan. Namun, penggunaan antibiotik yang rasional masih menjadi masalah yang signifikan di banyak negara, terutama di negara berkembang, sehingga strategi yang terdiri dari penerapan penggunaan antibiotik yang bijaksana dan pencegahan penularan mikroba yang resisten diperlukan. Penggunaan obat yang rasional dikaitkan dengan beberapa faktor, antara lain petugas kesehatan, pasien, beban pasien dan fasilitas pelayanan kesehatan. Intervensi diperlukan untuk meningkatkan penggunaan obat yang rasional. Sebagai langkah awal adalah evaluasi penggunaan antibiotik di layanan primer yang dapat dilakukan dengan evaluasi kualitatif dan kuantitatif untuk menentukan intervensi yang relevan dengan masalah yang ada. Indikator penggunaan obat inti menyediakan alat sederhana untuk menilai secara cepat dan andal beberapa aspek penting penggunaan obat di pelayanan kesehatan primer, yang biasa digunakan untuk mengukur kinerja fasilitas pelayanan kesehatan yang terkait dengan penggunaan obat. Indikator tersebut adalah indikator peresepan, indikator pelayanan pasien, dan indikator fasilitas. Hasil dengan indikator ini harus menunjukkan masalah penggunaan antibiotika tertentu yang memerlukan pemeriksaan lebih rinci. Oleh karena itu, perlu dilakukan pendalaman untuk mengevaluasi kualitas dan kuantitas antibiotik juga. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis penggunaan antibiotik dan faktor-faktor yang mempengaruhinya, sebagai data bukti untuk pengembangan rekomendasi dalam pelayanan PHCC (Primary Health Care Centre), serta sebagai evaluasi perencanaan dan pengadaan antibiotik.

Penelitian ini dilakukan dengan observasional analitik tentang kualitas, kuantitas, dan faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas penggunaan antibiotik pada ARTI non-pneumonia dan diare nonspesifik di Puskesmas perkotaan dan pedesaan, dengan 16 dokter yang berpraktik di sana. Sampel penelitian adalah pasien berusia 19-59 tahun. Penelitian ini dilakukan setelah mendapatkan izin etik dari Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga dan mendapat persetujuan dari Dinas Kesehatan Kota Banjarbaru. Pengambilan sampel dalam penelitian ini dilakukan secara consecutive sampling dari bulan Maret sampai April 2018. Analisis deskriptif dan komparatif dilakukan. Penggunaan antibiotik dianalisis kualitasnya berdasarkan pedoman klinis yang dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia dan kuantitas berdasarkan perhitungan DDD. Tingginya penggunaan antibiotik di Puskesmas pedesaan disebabkan oleh semakin tingginya jumlah pasien yang berkunjung ke Puskesmas. Dalam penelitian ini, yang paling sering digunakan di PHCC perkotaan dan pedesaan adalah amoksisilin, sefadroksil, dan kotrimoksazol. Amoksisilin dan sefadroksil umum digunakan pada ARTI non-pneumonia, sedangkan kotrimoksazol sering digunakan pada diare nonspesifik. Antibiotik tersebut tersedia dalam jumlah besar di toko PHCC, karena harganya lebih murah dibandingkan antibiotik lainnya dan juga tersedia di semua PHCC sebagai salah satu obat standar di dinas kesehatan.

Penggunaan antibiotik untuk ISPA non pneumonia dan diare non spesifik di Puskesmas (Puskesmas) perkotaan dan pedesaan di Kota Banjarbaru, Kalimantan Selatan masih kurang rasional. Analisis kuantitatif menunjukkan bahwa penggunaan antibiotik pada DDD di PHCC perkotaan adalah 3.544.416 DDD/1.000 orang-hari dan di PHCC pedesaan adalah 3.478.693 DDD/1.000 orang-hari. Faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan antibiotik adalah masa kerja dokter, pelatihan penggunaan obat yang rasional, dan ketersediaan pedoman klinis. Intervensi yang tepat diperlukan untuk mendorong peningkatan penggunaan antibiotik di Puskesmas, terutama pada ISPA non-pneumonia dan diare non-spesifik. Otoritas kesehatan dapat medorong semua PHCC untuk menyusun pedoman klinis dan melengkapi fasilitas pendukung di PHCC.

Penulis: Rizky Listia Wardani, Suharjono, Kuntaman, Agus Widjaja

Link Jurnal: https://www.degruyter.com/document/doi/10.1515/jbcpp-2020-0417/html

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp