UNAIR NEWS – Pelecehan seksual yang terjadi di Indonesia seringkali menyisakan trauma tersendiri bagi korbannya. Salah Satu trauma yang seringkali menghinggapi para korban ialah post traumatic stress disorder. Menanggapi hal tersebut, Pakar Psikologi Klinis dan Kesehatan Mental, Margaretha, S.Psi., P.G.Dip.Psych., M.Sc., mengatakan bahwa para korban tidak hanya menderita seksual dan psikologis saja tetapi juga mengalami ketidakadilan.
“Jadi cara memulihkan keluar dari situasi kekerasan seksual atau korban menjadi penyintas (victim to survivor) setidaknya membutuhkan dua pemulihan,” ujar Konselor Unit Pelayanan Psikologi Universitas Airlangga itu, Rabu (8/9).
Pertama, korban harus diberikan rasa keadilan, Menurut Margaretha, apabila korban telah mengalami kekerasan seksual lantas pelaku bebas malah ‘si pelaku’ ini bisa melecehkan orang lain. Hal ini dikarenakan pelaku memiliki kekuasaan sebagai senior.
“Terus semakin menderita lho victim itu,” tandasnya.
Artinya, korban ini tidak didengar, bahkan lebih jauh lagi pengalaman korban tidak dipertimbangkan. Selain itu, korban akan merasa tidak dimanusiakan ketika korban tidak mendapatkan keadilan. Maka untuk mencapai proses keadilan, hukum harus tetap berjalan. Hal ini juga sangat penting bagi perusahaan untuk menegakkan kembali nama baiknya.
“Jadi KPI kalau mau dianggap mampu mengerjakan tugasnya. Dia (KPI) harus bisa menyelesaikan masalahnya dan pelaku harus mendapatkan sanksi yang sangat setimpal,” tambahnya.
Kedua, korban harus bisa melampaui traumanya, baik trauma seksual ataupun trauma psikologis. Saat tubuh dijarah tanpa seizin pemiliknya (non consensual).
“Makanya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Bagi Perempuan belum jalan karena ada orang yang berpikir bahwa kalau kita bilang sex non consensual artinya memperbolehkan pelecehan seksual. Maka tak mengherankan kalau pemerkosaan belum bisa dikatakan sebagai sex non consensual,” tandas Margaretha.
Margaretha menambahkan pelecehan seksual bagian dari kekerasan seksual dimana tindakan seksual dikenakan tanpa persetujuan dari si penerimanya.
“Jadi korban nggak setuju tubuhnya disentuh, ditowel bahkan dilirik pun. Kalau kita nggak setuju itu namanya pelecehan seksual bahkan ketika seseorang menjulurkan lidahnya dengan niatan menunjukkan minat seksualnya pada kita dan kita nggak setuju – itu namanya pelecehan seksual,” tutur Margaretha.
Ketika kita dikenai perilaku seksual dan kita tidak menginginkannya. Apabila terjadi ditempat kerja bisa disebut sebagai pelecehan seksual di tempat kerja. Lebih lanjut, Margaretha membagikan tips untuk menanggulangi trauma healing tersebut.
“Ini harus dilakukan proses yang cukup intensif secara psikologis dan upaya menerima kondisi yang telah terjadi sekaligus berupaya memahami betul bahwa peristiwa ini bisa terjadi pada siapapun dan ini bukan sesuatu yang harus ditutupi, bukan juga untuk dipergunjingkan, tapi untuk dipahami dan dicari jalan keluarnya,” pungkasnya.
Penulis : Dimas Bagus Aditya
Editor: Nuri Hermawan