Karakteristik Mikronutrien pada Kejang Berulang Anak Epilepsi Terkontrol dengan Status Gizi Normal

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Foto oleh Kompas

Kejang berulang pada epilepsi mempengaruhi faktor medis, tumbuh, dan kembang pada anak. Gangguan motorik dapat timbul akibat iskemik neuron  cerebral yang bersifat ireversibel. Kerusakan tersebut juga bersifat progresif sehingga berdampak pada neuron di sekitarnya. Dampak jangka panjang pada tumbuh kembang anak akan mempengaruhi kualitas hidup di masa depan. Kejang berulang pada epilepsi merupakan faktor resiko timbulnya disabilitas motorik dan retardasi mental pada anak dengan epilepsi. Epilepsi merupakan penyakit yang banyak dijumpai pada anak dengan insiden rata-rata 35 sampai 124 tiap 100.000 populasi anak per tahun. Insiden epilepsi dijumpai lebih tinggi pada anak usia di bawah 1 tahun yakni 100 tiap 100.000 populasi per tahun. Kejang berulang pada epilepsi terjadi pada 6.92% dari jumlah penderita epilepsi. Penelitian lain menunjukkan angka kejang berulang pada epilepsi sebesar 13,04%. Disabilitas dan penurunan kualitas hidup yang berat pada epilepsi terjadi pada 3.35% kasus yang dihubungkan dengan adanya kejang berulang pada epilepsi. Beberapa penelitian menunjukkan adanya hubungan antara beberapa faktor dengan insiden kejang berulang pada anak dengan epilepsi. Usia, usia kehamilan, berat lahir, kalsium, hemoglobin, jenis obat anti-epilepsi, frekuensi demam, dan frekuensi sakit dihubungkan dengan kejadian kejang berulang pada anak dengan epilepsi. Defisiensi zat besi merupakan defisiensi mikronutrien yang paling sering terjadi dan dialami paling sedikit sepertiga populasi penduduk dunia. Anemia merupakan manifestasi klinis yang paling sering terjadi dikarenakan oleh defisiensi zat besi, namun beberapa organ dan sistem organ juga dapat terpengaruh karena defisiensi besi, di antaranya adalah sistem saraf. Defisiensi zat besi memengaruhi perkembangan otak melalui beberapa mekanisme berikut; mengganggu perkembangan neuron di hipokampus, mengganggu keseimbangan metabolisme energi, menghambat maturasi myelin, memperlambat bangkitan saraf auditori dan visual, mengganggu sistem sinaps dan neurotransmitter norepinephrin, dopamin, glutamat, gamma-aminobutyric acid (GABA), dan serotonin. Hubungan antara kadar Haemoglobin (Hb) dan kejadian kejang saat ini masih menjadi perdebatan. Hubungan antara kadar hemoglobin dengan kejadian kejang berulang masih menjadi perdebatan. Rendahnya kadar hemoglobin menimbulkan hiposia relatif di tingkat jaringan yang menurunkan GABA dan mempengaruhi metabolisme neuron.

Defisiensi kalsium  menyebabkan meningkatnya eksitabilitas neuron. Pada saat ion kalsium tidak ada, voltase yang dibutuhkan untuk membuka kanal natrium secara signifikan berubah (semakin sedikit eksitasi yang dibutuhkan). Hipokalsemia menyebabkan suatu potensial aksi yang menyebabkan kontraksi otot skeletal perifer dan berlanjut menjadi kejang. Studi menunjukan bahwa adanya hubungan yang bermakna antara kadar kalsium dengan kejadian kejang. Penurunan kadar kalsium secara signifikan dapat menyebabkan terjadinya kejang. Pengobatan antiepilepsi jangka panjang dapat mengurangi tingkat kepadatan tulang, selain itu juga dapat menyebabkan kondisi hipokalsemia, hipofosfatemia, defisiensi vitamin D dan meningkatnya alkali fosfatase. Faktor sosial telah diidentifikasi sebagai faktor prediktor utama penentu kepatuhan pengobatan epilepsi pada anak, luaran pengobatan epilepsi, dan prognosis pasien-pasien anak dengan epilepsi. Faktor sosial yang menentukan dalam pengobatan epilepsi antara lain; status sosial ekonomi, ras/etnis, usia, dan jenis kelamin. Menurut penelitian sebelumnya, penderita epilepsi dengan status sosial ekonomi rendah dan status minoritas memiliki risiko epilepsi yang lebih tinggi, lebih banyak rawat inap dan kunjungan ruang gawat darurat (dibandingkan layanan rawat jalan), ketidakpatuhan obat antiepilepsi, dan tingkat operasi epilepsi yang lebih rendah.

Pada penelitian kami kejang berulang terjadi pada 19 dari 30 anak. Didapatkan hubungan antara hemoglobin, kalsium, dan kadar 25-(OH)D dengan kekambuhan kejang (p<0,05). Di antara semua mikronutrien yang diamati, 25-(OH)D memiliki korelasi paling kuat (r = 0,750). Tidak ada hubungan yang signifikan antara kejang berulang dan riwayat keluarga dan durasi pengobatan minum obat anti epilepsi.

Kesimpulan: Status zat gizi mikro berhubungan dengan prevalensi kejang berulang. Kadar 25-(OH)D berkorelasi kuat, sedangkan kadar hemoglobin, dan kalsium berkorelasi lemah dengan kekambuhan kejang pada anak epilepsi.

Penulis: Dr. Irwanto, dr. Sp.A(K)

Link Jurnal: http://www.ant-tnsjournal.com/index.asp

Disarikan dari artikel dengan judul: “Micronutrient characteristic in recurrent seizure in medicine controlled epileptic children with normal nutritional status” yang diterbitkan bulan Juni 2021 di Acta Neurologica Taiwanica, Volume 30, No 2, Halaman: 54-62.

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp