Cervical spinal cord injury (SCI) merupakan kondisi yang mengancam jiwa dan memerlukan intervensi bedah untuk menghindari bencana hemodinamik dan pernapasan. Jurnal ini menuliskan Tindakan operasi darurat untuk pasien dengan SCI lengkap karena fraktur serviks yang tidak stabil. Pasien mengalami syok spinal dan henti napas setelah pemeriksaan radiologi. Stabilitas dicapai di ICU dan pasien langsung dikirim ke ruang operasi. Pendekatan anterior-posterior adalah dipilih untuk dekompresi dan menstabilkan tulang belakang leher.
Cervical spinal cord injury (SCI) dapat memperburuk kualitas hidup pasien karena dampaknya pada sensorik, motorik, dan fungsi otonom. Peristiwa traumatis akibat kecelakaan mobil dan jatuh dikatakan menjadi penyebab paling umum dari SCI. Harapan hidup di antara pasien dengan SCI umumnya lebih rendah daripada populasi normal. Operasi tulang belakang di Indonesia lebih banyak dilakukan di rumah sakit tersier. Pasien dengan SCI, memerlukan manipulasi hati-hati untuk menghindari memburuknya cedera. Pasien SCI dengan cedera serviks berada dalam bahaya ketidakstabilan kardiovaskular dan gangguan pernapasan. Pembedahan diperlukan segera untuk menghindari komplikasi dan kematian. Artikel ini menyajikan pengalaman operasi darurat pada pasien SCI karena fraktur serviks yang tidak stabil di rumah sakit sekunder Surabaya.
Artikel ini melaporkan adanya pasien wanita berusia 52 tahun yang datang ke rumah sakit dengan tetraplegia selama 1 jam terakhir sebelum masuk setelah jatuh dari atap rumahnya, sekitar 4m tinggi. Survei primer terkenal untuk nyeri leher, sesak napas, tanda-tanda syok spinal dengan tekanan darah 77/46 mmHg, tetraplegia, kulit kepala laserasi pada parietal kanan, deformitas femur kiri, flaccidsfingter ani, dan tidak adanya refleks bulbokavernosus. NS pasien sadar penuh selama pemeriksaan. Tekanan darah membaik setelah resusitasi cairan awal dan memburuk sekitar 2 jam sehingga terjadi vasopresor.
Hasil CT scan serviks mengungkapkan fraktur pecah dan translasi cedera C5 dan fraktur split C6. Pasien kemudian diambil untuk MRI serviks dan terjadi Edema sumsum tulang belakang masif terlihat meluas ke tingkat C2 dan T1 dari pusat cedera. Segi kiri sepihak dislokasi antara C4 dan C5 diidentifikasi. NS sumsum tulang belakang terlihat tertekuk pada tingkat. CT scan otak tidak menunjukkan kelainan. Foto rontgen polos menunjukkan fraktur batang femur kiri. Setelah pemeriksaan radiologis, pasien mengalami apnea dan, oleh karena itu, diintubasi dan dipindahkan ke ICU.
Pasien dinilai dengan SCI lengkap (ASIA tipe A), cedera translasi C5 (AOSpine C) dan fraktur split dari C6 (AOSpin A2). Operasi segera pada hari berikutnya (22 jam setelah masuk) dan hemodinamik stabilitas di ICU tercapai. Gabungan anterior dan pendekatan posterior lebih disukai untuk pasien ini. Depan korpektomi serviks dan fusi dengan sangkar berongga di C5 dan pelapisan anterior. Setelah pendekatan anterior selesai, pasien diposisikan rawan untuk laminektomi total C4 dan C5 dan massa lateral sekrup C3, C4, dan C6. Ruptur posterior ligamen supraspinous dan interspinous ditemukan selama operasi. Evaluasi serviks pasca operasi menunjukkan hasil yang memuaskan posisi sekrup massa lateral. Pasca operasi Sudut Cobb dikoreksi menjadi sudut lordotic 17°, sedangkan sebelum operasi adalah sudut kyphotic 19°.
Artikel ini memperlihatkan keberhasilan yang memuaskan pada operasi pasien dengan kasus SCI. Operasi langsung dilakukan setelah memulihkan hemodinamik stabilitas dalam kasus serviks menjadi prioritas. Pertimbangan rujukan dalam kasus tersebut dapat menempatkan pasien pada risiko kemerosotan. Kehadiran ahli bedah saraf atau ortopedi ahli bedah yang telah dilatih untuk operasi tulang belakang, bersama dengan ahli anestesi yang kompeten di rumah sakit sekunder, akan sangat membantu dalam mengobati SCI serviks yang mengancam jiwa tanpa penundaan lebih lanjut karena waktu tunggu rujukan.
Penulis : Tedy apriawan, dr., Sp.BS (K)
Judul dan Link artikel jurnal scopus:
Emergency surgery for traumatic spinal cord injury in a secondary hospital: A case report