Pengaruh Penatalaksanaan Terapi Obat Komprehensif terhadap Keberdayaan Pasien

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Foto oleh talkspace

Pelayanan kesehatan di Indonesia telah menggunakan Jaminan Kesehatan Nasional yang dikelola oleh pemerintah. Penyandang penyakit kronis dengan kondisi stabil yang memerlukan kontinuitas pelayanan akan dikelola dengan pelayanan Program Rujuk Balik (PRB) untuk memberikan kemudahan akses terhadap obat melalui fasilitas pelayanan kesehatan primer. Diabetes menjadi perhatian dalam PRB, khususnya dalam pencegahan komplikasi akut dan kronis. Penyandang Diabetes yang menjalani terapi obat baru sepertiga yang mencapai target, dimana rata-rata HbA1c masih sebesar 8%. Hal ini disebabkan masih tingginya perilaku pasien yang tidak patuh dalam pengobatan sehingga pengelolaan diabetes perlu ditingkatkan. Keberdayaan pasien dalam pengelolaan diabetes secara mandiri perlu menjadi perhatian tenaga kesehatan, dimana dapat menjadi penyebab hambatan pasien dalam membuat keputusan untuk menggunakan obat dengan aturan yang tepat untuk mengendalikan penyakitnya.

Pelayanan obat oleh apoteker merupakan proses berlangsungnya hubungan terapeutik, dimana pada proses tersebut, apoteker berperan melakukan asuhan kefarmasian (pharmaceutical care), untuk memastikan bahwa seluruh pengobatan pasien telah sesuai dan terkoordinasi dengan cara yang efisien. Salah satu model yang dikembangkan untuk mengoptimalkan terapi obat dalam pengelolaan penyakit kronis berpusat pada pasien dengan kolaborasi antar tenaga kesehatan di pelayanan primer dikenal sebagai Comprehensive Medication Management (CMM). Peran apoteker dalam CMM adalah melakukan kajian terhadap keseluruhan terapi obat yang digunakan oleh pasien pada semua tingkat pelayanan kesehatan untuk menjamin semua obat yang diterima oleh pasien telah sesuai, efektif dengan aturan dosis yang diberikan, aman untuk kondisi pasien maupun obat lain yang digunakan dan pasien mampu menggunakan obatnya dengan benar.

Berdasarkan kajian yang telah dikemukakan, konsep CMM berpotensi diimplementasikan dalam pengelolaan pasien DM tipe 2 yang mengalami transisi pelayanan kesehatan dalam Model Penatalaksanaan Terapi Obat Komprehensif (Model PTOK) yang disusun dalam penelitian ini oleh tim peneliti. Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan Model PTOK dapat diterapkan di pelayanan primer dan untuk mengevaluasi pengaruhnya terhadap keberdayaan pasien dan HbA1c.

Penelitian ini menggunakan rancangan kuasi eksperimental yang dilaksanakan di 18 Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) Kota Surabaya berdasarkan penunjukan oleh Dinas Kesehatan Kota Surabaya, yang terbagi ke dalam 9 kelompok intervensi dan 9 kelompok kontrol. Apoteker pada kelompok intervensi mengimplementasikan Model PTOK dan pada kelompok kontrol menjalankan asuhan kefarmasian sesuai standar pelayanan di Puskesmas. Unit analisis penelitian ini adalah 21 pasien diabetes PRB pada masing-masing kelompok. Besar sampel penelitian adalah total populasi sesuai kriteria penelitian (purposive sampling). Peneliti mengembangkan instrument untuk menilai keberdayaan pasien yang terdiri dari 5 domain yaitu, keberdayaan pasien dalam pemahaman penggunaan obat,  pengalaman pasien dalam penggunaan obat, sikap pasien dalam pengobatan, partisipasi pasien dalam pengobatan, dan kemampuan pasien melakukan pengobatan.

Pemahaman pasien dalam penggunaan obat dapat dievaluasi melalui proses apoteker menggali informasi penggunaan obat kepada pasien terkait tujuan penggunaan obat, efektivitas, keamanan dan kenyamanan/kepatuhan. Skor rata-rata keberdayaan pemahaman  penggunaan obat (pre-post test) pada kelompok intervensi adalah 64.76±20.46 dan 87.62±14.50 (p=0.000) sedangkan pada kelompok kontrol 67.94±18.93 dan 71.43±16.21 (p=0.050).

Pengalaman pasien dalam penggunaan obat dapat dievaluasi melalui proses apoteker menilai kebutuhan terapi obat pasien terkait pemahaman tujuan penggunaan obat, harapan efektivitas, perhatian keamanan dan perilaku kepatuhan. Skor rata-rata keberdayaan pengalaman penggunaan obat (pre-post test) pada kelompok intervensi adalah 78.68±11.31 dan 92.06±8.98 (p=0.000) sedangkan pada kelompok kontrol  86.28±7.64  dan 88.32±8.18 (p=0.126).

Sikap pasien dalam penggunaan obat dapat dievaluasi melalui proses apoteker menyusun rencana asuhan kefarmasian terkait tujuan penggunaan obat, efektivitas, keamanan dan kenyamanan/kepatuhan. Skor rata-rata keberdayaan sikap dalam pengobatan (pre-post test) pada kelompok intervensi adalah 83.81±10.36 dan 94.05±7.35 (p=0.000) sedangkan pada kelompok kontrol 85.48±9.99 dan 87.14±8.74 (p=0.659).

Partisipasi pasien dalam penggunaan obat dapat dievaluasi melalui proses apoteker menetapkan intervensi atau merujuk ke dokter terkait tujuan penggunaan obat, efektivitas, keamanan dan kenyamanan/kepatuhan. Skor rata-rata keberdayaan partisipasi dalam pengobatan (pre-post test) pada kelompok intervensi  adalah 61.19±20.49 dan 85.48±13.31 (p=0.000) sedangkan pada kelompok kontrol 61.43±19.57 dan 60.24±20.52 (p=0.517).

Kemampuan pasien dalam melakukan pengobatan dapat dievaluasi melalui proses apoteker melakukan monitoring dan evaluasi terkait tujuan penggunaan obat, efektivitas, keamanan dan kenyamanan/kepatuhan. Skor rata-rata kemampuan dalam melakukan pengobatan (pre-post test) pada kelompok intervensi  adalah 73.72±9.84 dan 88.92±8.67 (p=0.000) sedangkan pada kelompok kontrol 84.30±10.16 dan 86.25±10.29 (p=0.421).

Berdasarkan analisis Mann Whitney Test, terdapat perbedaan keberdayaan kelompok intervensi dibandingkan kelompok kontrol dalam pemahaman penggunaan obat (p=0.000), sikap dalam pengobatan (p=0.009) dan partisipasi dalam pengobatan (p=0.000) namun tidak terdapat perbedaan keberdayaan pengalaman (p= 0.090) dan kemampuan (p=0.275). Terdapat perbedaan HbA1c signifikan pada kelompok intervensi (pre-post test; p=0.010), namun tidak terdapat perbedaan dengan kelompok kontrol (p=0.940)

Berdasarkan hasil ini disimpulkan bahwa pada pelayanan obat PRB, apoteker dapat berperan dalam fungsi pengawasan pengobatan berkolaborasi dengan dokter dalam proses asuhan kefarmasian pasien diabetes. HbA1c adalah parameter klinis utama yang digunakan untuk mengevaluasi keberdayaan pasien. Setiap penurunan 0,5% pada hasil HbA1c menyebabkan penurunan yang signifikan pada komplikasi diabetes dan setiap peningkatan 1% HbA1c dari nilai target 7% diikuti  peningkatan risiko kejadian komplikasi pada pembuluh darah. Pada kelompok intervensi terdapat penurunan rata-rata HbA1c sebesar 1.27%, sedangkan pada kelompok kontrol terdapat penurunan sebesar 0.010%.

Peneliti menyatakan bahwaModel PTOK dapat diimplementasikan dalam pelayanan primer untuk meningkatkan keberdayaan pasien dan hasil pengobatan diabetes melalui kajian farmakoterapi sebagai landasan proses asuhan kefarmasian. Kurangnya pengalaman pengobatan pasien dapat berpotensi menjadi penyebab pengambilan keputusan yang tidak tepat. Penurunan HbA1c yang signifikan pada kelompok intervensi menunjukkan keberdayaan pasien dalam pengelolaan diabetes secara mandiri.

Penulis: Umi Athiyah, Lisa Aditama, Wahyu Utami, Moch. Bagus Qomaruddin

Hasil penelitian secara lengkap dapat diakses di: https://japer.in/article/effect-of-comprehensive-medication-management-on-patient-empowerment-type-ii-diabetes-mellitus-pati-ulhvhnxlzizbtjl

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp