Penggunaan Antikoagulan pada Pasien Penyakit Jantung Koroner

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Foto dari Alomedika

Penyakit jantung koroner (PJK) merupakan penyakit pada arteri koronaria karena suatu kelainan yang disebabkan adanya penyempitan atau penghambatan pembuluh arteri yang menyebabkan ketidakseimbangan antara suplai darah dan oksigen yang bisa menyebabkan iskemik miokard. Penyakit jantung koroner menyebabkan kematian sebesar 42,3% (7,4 juta) dengan prevalensi sebesar 1,5% di Indonesia menurut Riskesdas tahun 2018. Salah satu terapi yang dapat diberikan adalah antikoagulan yang memiliki mekanisme kerja menghambat pembentukan maupun aktivasi faktor pembekuan. Penggunaan antikoagulan dapat mengurangi terjadinya iskemik miokard namun antikoagulan juga dapat menimbulkan perdarahan sehingga meningkatkan resiko kematian pada pasien PJK sehingga perlu dimonitor. Ada beberapa jenis antikoagulan yang dapat diberikan antara lain: LMWH (Low Molecular Weight Heparin), UFH (Unfractionated Heparin), Vitamin K Antagonists, Direct Thrombin Inhibitor dan Factor Xa Inhibitor.

Masalah terkait antikoagulan dapat disebabkan oleh pemilihan jenis antikoagulan, efek samping, dosis obat, interaksi obat, penggunaan antikoagulan pada pasien PJK yang tepat dan sesuai dengan pedoman terapi yang ada. Berdasarkan masalah diatas, maka dilakukan studi penggunaan antikoagulan pada pasien PJK terkait pola dan permasalahan penggunaan antikoagulan pada pasien PJK untuk meningkatkan pelayanan kefarmasian.

Penelitian yang dilakukan merupakan penelitian observasional dan pengumpulan data diambil secara retrospektif di RS Bhayangkara Surabaya melalui penelusuran rekam medik pasien pada tahun 2019. Data pasien yang diambil harus memenuhi kriteria inklusi, yaitu pasien PJK dengan atau tanpa penyakit komplikasi dan komorbid yang mendapat terapi antikoagulan. Analisis data dilakukan secara deskriptif. Jumlah sampel yang diperlukan sebesar 35 berdasarkan rumus lemeshow.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 40 pasien yang memenuhi kriteria inklusi, laki-laki (80%) memiliki resiko yang lebih besar terkena PJK dibandingkan perempuan, karena pada perempuan terdapat adanya kombinasi antara hormon estrogen dan progesteron sebagai pencegahan sekunder terkena PJK. Estrogen dapat berperan dalam memelihara kesehatan endotelium dan mencegah pembentukan aterosklerosis. Kejadian PJK dapat meningkat pada wanita jika sudah mengalami menopause karena menurunnya kadar estrogen pada Wanita. Kerentanan terjadinya PJK meningkat seiring bertambahnya usia terutama yang sudah melebihi usia 45 tahun, rentang usia paling banyak 61 – 70 tahun (37.5%). Bertambahnya usia seseorang menyebabkan perubahan pada fisiologi jantung dan pembuluh darah meskipun tidak ada penyakit yang diderita oleh orang tersebut. Miokard dari jantung yang bertambah tua terkadang beristirahat secara tidak sempurna diantara detak jantung, akibatnya ruang pompa jantung pun akan menjadi semakin kaku dan akan bekerja kurang efisien.

Antikoagulan yang paling banyak digunakan adalah fondaparinuks (45%) dengan dosis 1 x 2.5mg sc, enoxaparin (37.5%) dengan dosis 2 x 60mg sc, dan warfarin (17.5%) dengan dosis 1 x 2-4mg po. Fondaparinux adalah obat yang mengkatalisis penghambatan faktor Xa oleh antitrombin dengan tidak meningkatkan hambatan pada trombin. Enoxaparin adalah antikoagulan yang termasuk dalam golongan LMWH (Low Molecular Weight Heparin), enoxaparin memiliki mekanisme kerja yang hampir sama seperti heparin yaitu mempengaruhi akitivitas dari antithrombin (AT III) namun yang membedakan dari heparin adalah enoxaparin lebih spesifik dalam degradasi faktor Xa sedangkan heparin lebih fokus kepada penghambatan thrombin oleh antithrombin. Pada pasien PJK dosis fondaparinuks 2,5 mg sehari sekali dapat diberikan kepada semua pasien. Pemberian dosis terapi fondaparinuks  diberikan sehari sekali berkaitan dengan waktu paruh dari fondaparinuks yaitu 15-17 jam dengan rute subkutan.

Komorbid yang paling banyak dialami oleh pasien adalah diabetes melitus (37,5%). Diabetes melitus merupakan faktor resiko yang dapat memperparah kondisi pasien PJK. Hal tersebut bisa disebabkan karena adanya interaksi perubahan metabolik dalam tingkat pra-diabetik, seperti halnya adanya atherogenic dislipidemia, fungsi endotel yang tidak lagi berfungsi baik, peningkatan asam lemak bebas, inflamasi subklinik, perubahan pada lapisan adipokin, dan perubahan pada sistem trombosis dan fibrinolisis.

Efek samping perdarahan yang potensial terjadi pada penggunaan antikoagulan, tidak ditemukan pada penelitian ini. Namun, diketahui adanya interaksi obat yang berpotensi dapat meningkatkan resiko terjadinya perdarahan yakni penggunaan obat fondaparinuks dengan aspirin (40%), enoxaparin dengan klopidogrel, warfarin dengan allupurinol, aspirin dan klopidogrel. Interaksi obat potensial secara farmakokinetik dengan memperpanjang waktu paruh dapat terjadi pada warfarin dan allupurinol sehingga menyebabkan terjadinya peningkatan efek samping antikoagulan. Interaksi obat secara farmakodinamik juga dapat terjadi pada penggunaan antikoagulan warfarin dengan kombinasi klopidogrel dan aspirin, dimana kombinasi tersebut menghambat agregasi platelet sehingga dapat meningkatkan resiko terjadinya perdarahan. Aspirin yang diberikan bersamaan dapat meningkatkan farmakodinamik klopidogrel dengan induksi sitokrom CYP2C19.

Penggunaan antikoagulan pada pasien PJK di RS Bhayangkara Surabaya telah sesuai dengan kondisi klinis pasien dan sesuai dengan guideline internasional PJK, jurnal maupun textbook yang ada. Dengan melihat profil penggunaan antikoagulan terkait jenis, dosis, efek samping dan interaksi obat maka diperlukan peran farmasis dalam memberikan konseling maupun informasi terkait obat untuk meningkatkan kualitas pelayanan kefarmasian.

Nama: apt. Arina Dery Puspitasari, M.Farm.Klin.

Judul artikel : A Study of Anticoagulant Therapy in Patients with Coronary Artery Disease

Link  jurnal :  https://www.degruyter.com/document/doi/10.1515/jbcpp-2020-0486/html

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp