Kebiasaan masyarakat mulai terganggu ketika berbagai aturan antisipasi pandemi Covid-19 diberlakukan, seperti pembatasan mobilitas, larangan berkerumun, berjarak saat berinteraksi, mencuci tangan, memakai masker di ruang publik, dan bekerja dari rumah (work from home). Regulasi ini seolah-olah remeh karena semua orang dapat melakukannya, tetapi realitasnya telah mengusik ranah privat yang dirasakan juga oleh banyak orang.
Contoh kecil berakibat besar pandemi adalah pembatalan pesta perkawinan yang sudah direncanakan dengan matang dan tentu berakibat pada kerugian Peristiwa ini terjadi pada awal terjangkitnya virus dan baru-baru ini, saat saya mendampingi sejoli mempelai berangkat sumringah ke kantor urusan agama, tetapi pulang lunglai masih menyimpan imajinasi. Ikrar ijab qobul dibatalkan hanya karena tidak memiliki keterangan negatif hasil tes antigen. Berita tentang Covid-19 dapat ditemukan di berbagai media tentang efek yang ditimbulkan tidak hanya segi kesehatan, tetapi guncangan sosial.
Regulasi ditetapkan tentu bertujuan untuk mencegah peningkatan penularan sebagai tindakan preventif dan upaya penyediaan fasilitas penyembuhan pada orang yang terjangkit sebagai tindakan kuratif. Pandemi Covid-19 telah menyibukkan pemerintah dan masyarakat juga dituntut untuk bertindak atau setidaknya menumbuhkan kesadaran mendukung regulasi. Pelarangan kegiatan sebagai upaya penanggulangan bukanlah kebijakan pertama antisipasi wabah. Hal serupa dengan konteks yang berbeda juga dilakukan ketika terjadi pandemi pada satu abad lalu.
Larangan berkerumun tidak hanya terjadi saat ini, tetapi juga pada saat penyakit pes mewabah di Kota Surabaya tahun 1910-1915. Pada dekade pertama abad ke-20, kesehatan masyarakat Kota Surabaya dalam kondisi normal, tetapi berbalik menjadi abnormal ketika kutu tikus (sebagai carrier bakteri Yersinia Pestisia atau rantai pertama penyebaran) menular pada manusia. Populasinya menjadi tidak terkendali karena didukung oleh habitat tikus di lingkungan buruk dan perkampungan padat dengan standar kesehatan rendah. Selain itu, sebagian masyarakat juga telah terjangkit wabah lain, seperti kolera dan influenza (melanda dunia tahun 1919).
Pemerintah kota (gemeente) Surabaya bersiaga dan bertindak untuk menekan persebaran penyakit. Tindakan awal sebagai mekanisme kontrol sosial adalah pelarangan kegiatan rutin tahunan jaarmarkt (pameran tahunan) dan kegiatan berkerumunan selama beberapa tahun. Regulasi yang bertajuk larangan berkerumun pada kasus pandemi pes dan influenza sebagai refleksi pandemi Covid-19 saat ini. Peristiwa pandemi menunjukkan pola yang mirip. Penularan tidak membedakan asal-usul ras, status sosial, anak-anak, orang dewasa, laki-laki, dan perempuan yang semua berpotensi terjangkit. Akibat yang ditimbulkan juga memiliki kemiripan psikologis dalam bentuk kekhawatiran dan kepanikan.
Pemerintah kota (gemeente) yang bertanggungjawab penuh atas kesehatan rakyat dan tertib sosial menetapkan kebijakan tak tertuga akibat pandemi. Sebelum wabah pes terjadi (dekade kedua abad ke-20), perhatian terhadap kesehatan lingkungan terutama permukiman kampung dapat dikatakan tidak menjadi prioritas pembangunan penataan kota. Masyarakat kampung hidup pada pola bangunan yang tidak teratur dan drainase yang buruk. Bahkan, sebagian golongan miskin kota bertempat tinggal di hunian tidak layak yang sekadarnya terbuat dari bahan jerami sebagai atap dan bambu sebagai penopang. Lokasi yang diserobot adalah tanah kosong milik perorangan dan pemerintah, seperti bantaran sungai, pinggiran ruas rel kereta api, dan area kuburan.
Lingkungan buruk berpotensi menyebabkan munculnya penyakit dan masalah- masalah kesehatan umum masyarakat. Pada awalnya, lingkungan kampung tidak dihiraukan
oleh gemeente, tetapi penyebaran penyakit menimbulkan kekhawatiran golongan Eropa yang lokasinya berdampingan dengan kampung bumiputra. Pemerintah mulai tanggap ketika terjadi berbagai kasus penyebaran penyakit dan penurunan kualitas kesehatan umum masyarakat. Ungkapan satire pun disampaikan “apakah kita orang Eropa yang tidak tinggal di kampung menyadari bahwa sebenarnya kesehatan kita bergantung pada penduduk bumiputra?” (H. F. Tillema, 1916: 59).
Kasus wabah bakteri Yersinia Pestisia (penyakit pes) merupakan musibah, ternyata juga menggugah kesadaran pemerintah untuk melakukan pembenahan kesehatan masyarakat kota tanpa diskriminasi. Mengubah prilaku masyarakat menjadi prioritas kebijakan kota yang diwujudkan melalui perbaikan kampung, jalan, saluran air, dan pengelolaan sampah. Jika dibandingkan dengan pandemi Covid-19 yang masih berlangsung dalam dua tahun terakhir, maka perubahan kebiasaan dan prilaku saat ini juga dirasakan oleh banyak, seperti menjaga kebersihan diri (cuci tangan), masker, dan sikap tanggap.
Berbagai wabah di masa lalu pada akhirnya dapat dikendalikan secara bertahap melalui perubahan prilaku hidup dan vaksinasi. Mengubah prilaku sebagai anjuran untuk dilakukan bersama-sama disinergikan dengan serangkaian kebijakan pemerintah. Keterlibatan masyarakat merupakan solusi atas maksud baik pemerintah menghentikan laju persebaran penyakit. Masyarakat (dunia) saat ini memang sedang ditimpa pandemi, namun sebaliknya juga ditempa untuk menjadi masyarakat yang adaptif, tanggap, dan tangguh. Badai Pasti Berlalu (Crisye).
Penulis: Samidi M. Baskoro
Link Jurnal: http://jantra.kemdikbud.go.id/index.php/jantra/article/view/121