Pendidikan untuk Masyarakat Adat di Tana Toa Kajang Bulukumba, Sulawesi Selatan

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Foto dari Koran Tempo

Masyarakat adat Tana Toa Kajang merupakan masyarakat yang hingga saat ini masih memegang teguh adat-istiadat mereka. Seluruh aturan dalam adat-istiadat tersebut terejawantahkan dalam berbagai aktivitas, seperti perkawinan, kematian, bercocok tanam, cara berpakaian, dan lain-lain. Kawasan ini secara alamiah dibatasi oleh empat sungai, yakni Sungai Tuli di bagian utara, Sungai Limba di bagian timur, Sungai Sangkala di bagian selatan, dan Sungai Doro di bagian barat. (Husain, 2003)

Mereka menjalankan sebuah kehidupan yang sangat sederhana yang disebut dengan prinsip hidup kamase-masea yang ditandai antara lain oleh penolakan mereka terhadap segala sesuatu yang berbau teknologi. Prinsip tersebut juga tercermin dari rumah-rumah mereka. Di kawasan itu, yang tampak hanyalah rumah kayu atau bambu atau kombinasi keduanya dan tidak satupun rumah terbuat dari batu apalagi beton, termasuk rumah pemimpin adat tertinggi mereka yakni Ammatowa.(Sarkawi B. Husain, Lina Puryanti, 2021)

Pendidikan di Kajang, khususnya pendidikan dasar tidak dapat dilepaskan dari persoalan adat-istiadat yang masih kental dianut oleh masyarakat. Persoalan ada tersebut adalah berkaitan dengan warna pakaian dan upacara adat. Selain itu, persoalan yang menganggap anak sebagai aset ekonomi keluarga juga menjadi penyebab tidak dapat dinikmatinya pendidikan bagi seluruh anak-anak di kawasan adat Tana Toa Kajang.

Artikel yang didasarkan pada penelitian yang dilaksanakan di sebuah kawasan adat di Tana Towa Kabupaten Bulukumba, merumuskan beberapa kebijakan penting. Kebijakan tersebut, adalah: Pertama, untuk wilayah adat Tana Toa Kajang, Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 45/2014 tentang Pakaian Seragam Sekolah Bagi Peserta Didik Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah, yang dalam Bab III, Pasal 3 dan ayat 3 menyebutkan bahwa: Warna pakaian seragam nasional untuk: (a) SD/SDLB: kemeja putih, celana/rok warna merah hati; (b) SMP/SMPLB: kemeja putih, celana/rok warna biru tua; dan (c) SMA/SMALB/SMK/SMKLB: kemeja putih, celana/rok warna abu-abu, hendaknya menyesuaikan dengan tata cara dan warna pakaian yang digunakan sehari-hari oleh masyarakat, yakni warna hitam atau putih. Agar tidak ada jarak antara guru dan siswa, sebaiknya guru juga menggunakan warna pakaian yang sama dengan siswa.

Kedua, berkaitan dengan banyaknya upacara adat yang harus diikuti oleh masyarakat yang juga melibatkan anak-anak mereka, maka seyogyanya pemerintah melakukan negosiasi dengan para orang tua, agar tidak mengajak anak-anak mereka ke tempat upacara adat yang memakan waktu berhari-hari. Mengingat salah satu alasan orang tua mengajak anaknya untuk ikut serta ke pesta adat karena tidak ada yang menjaga anak-anak mereka di rumah, maka sebaiknya difikirkan untuk menyediakan tempat tinggal sementara seperti “rumah singgah” atau asrama bagi anak-anak yang  orang tuanya sedang pergi ke rumah keluarga mereka untuk mengikuti pesta adat. Mengingat pesta adat berlangsung setiap saat dan seperti tidak ada habisnya, maka “rumah singgah” ini sebaiknya dirancang untuk kepentingan jangka pajang. Dengan demikian harus ada “penjaga rumah” yang sekaligus menjadi ibu dan bapak kos bagi anak-anak yang dititipkan di “rumah singgah” atau asrama tersebut.

Ketiga, pandangan orang tua di Tana Toa, bahwa anak-anak mereka adalah aset ekonomi mereka sehingga mereka harus ikut membantu orang tuanya bekerja di sawah dan kebun harus diberikan pemahaman yang baik melalui pendekatan yang sifatnya persuasif. Pandangan orang tua tersebut mungkin saja tidak salah, tetapi anak-anak mereka juga memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Asrama atau “rumah singgah” juga dapat digunakan untuk memecahkan masalah ini. Sementara orang tua mereka bekerja atau panen di tempat yang jauh dari rumah mereka, seperti di dusun dan desa lain, anak-anaknya dapat tinggal sementara di asrama. Ini tentu merupakan solusi sementara. Pemecahan yang lain adalah memutus sumber masalahnya, yakni kewajiban setiap keluarga untuk membantu keluarga lain yang hendak melakukan pesta adat dengan menyumbang beras atau padi yang jumlahnya tidak sedikit. Tentu hal ini tidak mudah dilakukan, mengingat  kebiasaan ini sudah menjadi konvensi di tengah-tengah masyarakat. Butuh keterlibatan seluruh perangkat adat untuk memecahkan masalah ini. Oleh karena itu, pemerintah setempat perlu mengajak bicara para tetua adat untuk mencari solusi yang lebih permanen. Solusi yang dimaksud tentu yang dapat diterima oleh seluruh masyarakat adat Tana Toa, Kajang Bulukumba.

Penulis: Penulis: Sarkawi B. Husain, Adi Setijowati,  Lina Puryanti

Informasi detail tentang riset ini dapat dilihat dalam tulisan kami di:

https://so04.tci-thaijo.org/index.php/kjss/article/view/253491

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp