Buruh Migran Indonesia di Hong Kong dan Aktivisme di Kala Pandemi

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Foto oleh AyoJakarta

Tak seperti biasanya, Warni (bukan nama sebenarnya) berjalan tergesa-gesa menuju salah satu sudut taman Victoria, Hong Kong, minggu pagi di awal Mei yang cerah. Dia mendatangi sentra vaksin yang disiapkan untuk melayani para buruh migran yang bekerja di Hong Kong. Pada 1 Mei, bertepatan dengan peringatan Hari Buruh Internasional, Pemerintah Hong Kong mewajibkan vaksin bagi pekerja migran setelah ada satu pekerja asal Filipina yang terkonfirmasi positif COVID 19. Warni dan 370 ribu buruh migran yang kebanyakan berasal dari Indonesia dan FIlipina yang ada di Hong Kong diminta melaksanakan vaksin maksimal pada tanggal 9 Mei 2021. Peristiwa ini menuai protes dari aktivis migran. Menurut mereka peraturan wajib vaksin adalah bentuk stigma dan diskriminasi bagi kaum marginal seperti para buruh migran.  

Objek diksriminasi

Buruh migran adalah objek perilaku diskriminatif dari level operator kebijakan sampai pengguna jasa. Jasa yang ditawarkan buruh migran terutama pada sektor-sektor domestic telah menarik minat user dan selama ini difasilitasi oleh pemerintah dan sektor swasta. Aktivitas mengirim dan memfasilitasi buruh migran menghasilkan keuntungan remitansi dan devisa. Bahkan buruh migran digelari Pahlawan Devisa di Indonesia. Belakangan julukan ini digugat oleh aktivis dan akademisi, karena lebih mengarah kepada bisnis semata, bahkan cenderung ke usaha human trafficking (Constable, 2007; Wahyudi, 2016). Di negara penerima, masalah buruh migran semakin bertambah karena harus beradaptasi dengan lingkungan baru, mendapat perlakuan tidak wajar dari majikan, pemotongan gaji oleh agen kerja, sampai dengan perlakuan diskriminatif dari pemerintah setempat. Pada masa pandemi, beban buruh migran semakin berat karena mengalami perlakuan yang kurang mengenakkan.

Seperti pemberlakukan wajib vaksin bagi buruh migran di Hong Kong. Menurut pemerintah Hong Kong, buruh migran terutama di sektor domestic berada pada kategori “resiko tinggi” karena mereka berinteraksi dengan orang tua yang dirawat dan rutin bertemu dan berkerumun di hari Minggu (hari libur buruh migran). Jika buruh migran tidak mau divaksin, aplikasi permohonan perpanjangan visa bekerja akan ditolak. Tidak cukup itu, didenda HKD 5000 atau pidana kurungan menanti para pembangkan vaksin. Ironisnya, peraturan ini hanya berlaku bagi buruh migran sektor domestik. Sedangkan sektor pekerjaan yang tidak menjadi fokus peraturan ini. Menurut Presiden International Migrant Alliance, Eni Lestari, “peraturan pemerintah Hong Kong secara tidak adil menyalahkan buruh migran sebagai pembawa virus ke rumah majikan, dan hal ini menyebabkan sentiment negatif terhadap kaum buruh” (Lestari, 2021). Padahal, para majikan juga bekerja keluar rumah da berinteraksi dengan banyak pihak. Bisa saja mereka lah yang membawa virus itu ke rumah.

Dalam keterangan persnya, koordinator Asian Migrants’ Coordinating Body, Dolores Balladares mengatakan bahwa buruh migran menjadi target stimatisasi oleh pemerintah (2021). Implikasi langsung dirasakan buruh migran saat di rumah majikan dan pada akhirnya tidak diperbolehkan keluar rumah karena dikhawatirkan akan tertular virus COVID. Padahal mereka hanya mempunyai satu hari dalam seminggu untuk dapat keluar rumah dan bertemu teman-tenannya. Melakukan hal-hal yang dapat melepas kepenatan setelah 6 x 24 jam bekerja di rumah majikan dengan waktu istirahat yang terbatas. Buruh migran domestik di Hong Kong harus tinggal bersama majikan. Hal ini diatur oleh pemerintah Hong Kong melalui mandatory live-in.

Aktivisme online

Menyadari resiko yang dihadapi buruh migran saat distigma oleh majikan, para aktivis menuntut pemerintah untuk bersikap adil. “Pemerintah harus memberi contoh nyata bagaimana memperlakukan orang lain dengan lebih manusiawi, dan tidak menempatkan suatu kelompok masyarakat dalam posisi yang tidak menguntungkan (Balladares, 2021). Lebih jauh, koordinator Indonesian Migrant Workers Union, Sringatin mengatakan bahwa wajib vaksin diberlakukan untuk buruh migran namun tidak ada pendampingan yang berarti selama pandemi bagi mereka. Merespon hal ini, para aktivis melakukan kampanye terbuka memprotes pemberlakukan wajib vaksin dengan lebih memperhatikan kebutuhan buruh migran dan pendampingan unuk mereka. Aktivisme dilakukan melalui jalur online, melalui serangkaian webinar yang diselenggarakan di malam hari, saat para buruh migran beristirahat dari aktivitas mereka sejak pagi di rumh majikan. Topik-topik seperti “Ketahui hak anda: Apa hak dan Kewajiban kita di masa pandemi?” menghadirkan pembicara dari kalangan buruh migran sendiri, dan mengundang pengacara-pengacara hak asasi di Hong Kong, seperti Mark Daly dan Kitty Chong.

Selain itu, para aktivis yang juga bekerja buruh migran juga mempunyai acara rutin yang digelar tiap minggu dengan judul Selamat malam Sobat Migran (SMSM). Acara ini dipandu oleh Eni Lestari dan kawan-kawan, yang memperbincangkan beragam topik terutama terkait dengan keberadaan buruh migran di Hong Kong. Beragam tema mulai dari masalah politik, hak asasi manusia sampai dengan berbagi resep masakan dibahas pada acara ini yang sudah eksis sejak 2012 melalui saluran radio online, dan sekarang disiarkan live melalui Facebook live. Acara SMSM ini getol mengkritisi kebijakan pemerintah Hong Kong terkait wajib vaksin.

PILAR Hong Kong, organisasi aktivis buruh migran Indonesia di Hong Kong menulis pada laman Facebook mereka, bahwa pada 08 Mei 2021 telah divaksin sejumlah 280 ribu buruh migran. Sekitar 90 ribu orang belum divaksin dan terancam mendapat sanksi.

Hasil

Pada 11 Mei pemerintah Hong Kong mengumumkan telah mencabut aturan wajib vaksin pada buruh migran. Hal ini disambut baik oleh para aktivis dan buruh migran. Pemerintah beralasan bahwa hasil pemeriksaan kesehatan publik menunjukkan kondisi yang baik, sekaligus menyadari ada potensi isu legal. Keputusan ini diambil setelah adanya pertemuan dari perwakilan buruh migran dari Indonesia dan Filipina.

Berhasilnya diplomasi dan aktivisme oleh para buruh migran menunjukkan bahwa mereka dapat tetap menyalurkan aspirasi meski dalam kondisi terisolasi (baca: dari rumah saja). Penguasaan terhadap teknologi komunikasi oleh para aktivis juga memperkuat aktivisme yang terjadi. Ini juga menjadi bukti kuat bahwa akses dan literasi media buruh migran penting sebagai senjata mereka bekerja di luar negeri, terutama dalam kondisi terkurung di rumah majikan dengan akses yang terbatas. Aktivisme, terutama yang dilakukan secara virtual, menjadi memungkinkan bagi buruh migran, terlepas dari waktu kerja mereka yang panjang setiap harinya.

Penulis: Irfan Wahyudi

Artikel IPKI: https://www.e-journal.unair.ac.id/MKP/article/view/15969

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp