Kajian Komparatif Lembaga Penolakan Waris dalam Perspektif Hukum Waris Adat dan Islam

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi oleh idlegaal.id

Indonesia mengenal adanya keberlakuan tiga rezim hukum waris dalam sistem hukum pewarisan di Indonesia yakni, Hukum Waris Perdata Barat/Kontinental yang diatur di dalam BurgerlijkWetboek atau KUH-Perdata (BW), Hukum Waris Adat yang tunduk pada nilai-nilai hukum adat di masyarakat, dan Hukum Waris Islam yang bersumber pada Al-Qur’an. Sifat pluralisme yang dimiliki oleh hukum waris di Indonesia dengan dikenalnya 3 rezim hukum waris dalam sistem hukum pewarisan di Indonesia tentunya merupakan suatu hal yang unik sebab memberikan gambaran kental mengenai keberagaman di Indonesia.Keberagaman yang dimaksud tidak hanya terkait dengan kultur serta budaya namun juga keberlakuan nilai-nilai dalam masyarakat yang diantaranya termasuk pula mengenai keberlakuan hukum waris itu sendiri.

Keberlakuan hukum waris yang plural diIndonesia menghadirkan suatu persoalan yang mana keberlakuan 3 rezim hukum waris di Indonesia tersebut menimbulkan suatu interpretasi yang jamak, mengenai rezim hukum waris manakah yang paling tepat untuk diimplementasikan apabila timbul suatu keadaan di mana subyek atau pelaku dalam suatu peristiwa waris ialah orang-orang yang tunduk pada beberapa rezim hukum yang berbeda. Sebagai contoh adalah pewaris dan si mewaris atau ahli waris yang berbeda agama atau berbeda suku yang memiliki konsekuensi untuk tunduk pada nilai-nilai adat atau masyarakat dari daerah asal. Salah satu problema di dalam sistem hukum waris di Indonesia adalah adanya suatu lembaga penolakan waris. Lembaga penolakan waris sendiri hanya dikenal dalam Hukum Waris Perdata Barat yang diatur di dalam BW, khususnya di dalam Pasal 1057 sampai dengan 1065. Secara implisit, pengaturan mengenai lembaga penolakan warisan memiliki makna bahwa si mewaris atau ahli wari sberhak menolak suatu warisan bilamana dengan diterimanya suatu warisan tersebut dapat menimbulkan kerugian bagi si penerima waris tersebut, sehingga aturan ini melahirkan suatu pilihan kepada si mewaris apakah hendak menerima suatu warisan ataukah menolak suatu warisan atau bahkan menerima sebagian warisan yang dirasa menguntungkan bagi ahli waris. Lembaga penolakan waris sendiri hanya dikenal dalam sistem Hukum Waris Perdata Barat saja,belum atau bahkan tidak dikenal kelembagaantersebut.

Eksistensi Lembaga Penolakan Waris di Indonesia

Saat ini lembaga penolakan waris hanya dikenal di dalam BW saja, di mana diatur di dalam Pasal 1057 sampai dengan 1065 BW. Penolakan waris sendiri merupakan suatu tindakan bebas yang dapat dilakukan oleh seorang ahli waris, mengacu pada Padal 1045 BW yang berisikan:“Tiada seorang pun diwajibkan untuk menerima warisan yang jatuh ke tangannya”. Secara gramatikal suatu waris di dalam perspektif HukumWaris Barat BW memberikan peluang kepada para ahli waris untuk menentukan, apakah ia akan menerima suatu warisan, menerima dengan suatu catatan (sebagian), ataukah menolak suatu warisan. Reasoning dari ketentuan ini terlihat jelas,bahwa pewarisan tidaklah dapat dimaknai hanya sebagai peralihan harta benda kepada ahli waris semata atau penerusan harta benda dari leluhur kepada anak cucu guna dilestarikan dalam perspektif Hukum Waris Adat, namun harus disikapi bahwa ada hal yang lebih kompleks yakni beralihnya aktiva dan pasiva serta konsekuensi darimasing-masing hal tersebut.Hukum yang tertulis di dalam Al-Quran, tidaklah dikenal suatu lembaga penolakan waris. Akan tetapi, menurut Neng Djubaidah, dalam artikelnya yang berjudul “AhliWaris Dapat Menolak Pengalihan Paten”berpendapat bahwa dimungkinkan bagi seseorang yang tunduk pada Hukum Waris Islam untuk menolak suatu warisan atau “setidaknya” mengundurkan diri dalam menerima suatu warisan ,dengan alasan bahwa pengalihan paten dapat dilakukan dengan cara diwariskan, dihibahkan, maupun dialihkan dengan sifat pengalihan yang transaksional.

Konsepsi atas pewarisan di dalam HukumWaris Adat ini sangatlah berbeda dengan apa yang dikenal di dalam BW, di mana pewarisan hanya dapat terjadi oleh karena kematian bila merujuk pada Pasal 830 BW. Dalam Hukum Waris Adat sendiri ahli waris wajib menyelesaikan kewajiban dari pewaris atas seluruh utang-utangnya, hal ini demikian dikarenakan Hukum Waris Adat banyak terpengaruh dari Hukum Islam. Oleh karena karakter dari Hukum Waris Adat yang bersifat kolektif, berkesinambungan, tidak tertulis dan sifatnya yang teritorial sehingga tidak sama antara daerah yang satu dan yang lain maka dapat dipahami bahwa Hukum Waris Adat tidak mengenal adanya lembaga penolakan waris sebagaimana yang dikenal di dalam rezim Hukum Waris BW. Berbeda halnya dengan Hukum Waris Adat, sikap ahli waris dalam Hukum Waris BW dapat dibagi menjadi 3 yaitu, menerima secara keseluruhan, menerima dengan syarat (beneficiary) dan menolak secara keseluruhan. Sikap ahli waris dalam hukum waris BW tersebut mencerminkan bahwa hukum waris BW kental sekali dalam sifat individual yang mana hubungan antara pewaris dan ahli waris tidak didasarkan pada asas kekeluargaan melainkan pada asas kepentingan pribadi. Kemudian bila mengacu pada suatu peristiwa hukum di Indonesia, terdapat Putusan Mahkamah Agung Nomor: 368 K/AG/1995 yang menyatakan bahwa ahli waris non-muslim dapat menerima bagian harta dari pewaris Muslim sebesar 1/9 bagian dari harta, kemudian di dalam Putusan Nomor: K/AG/2010 dinyatakan bahwa ahli waris non-muslim tidak dinyatakan sebagai ahli waris namun mendapatkan bagian harta berdasarkan wasiat wajibah yaitu sebesar ¼ bagian, tentunya hal-hal ini merupakan suatu bentuk elaborasi hukum atas perkembangan hukum yang menyesuaikan perkembangan zaman yang semakin maju, mengingat bahwa kedua putusanini telah mengesampingkan prinsip personalita skeislaman di dalam Hukum Islam.

Penulis: Oemar Moechthar, S.H., M.Kn.

Informasi detail dari riset ini dapat dilihat pada tulisan kami di:

http://jurnal.unmer.ac.id/index.php/jch/article/view/4225/pdf

Oemar Moechthar, Baren Valentino, Denita Cahyanti Wahono (2020). Kajian Komparatif Lembaga Penolakan Waris Dalam Perspektif Hukum Waris Adat dan Islam. Jurnal Cakrawala Hukum, 11 (3), ISSN: 2356-4962, h.291-301, Desember 2020

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp