Umumnya stres diukur dengan mengisi formulir yang berisi beberapa pertanyaan seperti yang dilakukan oleh Cohen et al. pada tahun 1983 atau dengan berkonsultasi dengan psikolog. Namun, cara ini sama sekali tidak efektif dalam mencegah akibat bunuh diri hingga pengobatan terlambat. Tidak semua penderita stres mau mengisi formulir atau konsultasikan kondisi mereka. Oleh karena itu, sangat penting untuk mengembangkan metode alternatif pengukuran stres, yang non-invasif dan dapat dilakukan secara mandiri oleh sabar. Jadi mereka akan tahu kapan mereka perlu diancam sebelum keadaan menjadi lebih buruk.
Salah satu metode yang menjanjikan, yang telah banyak digunakan dalam mendeteksi stres dan emosi, adalah EDA. EDA dikatakan sebagai salah satu metode terbaik yang digunakan untuk waktu nyata pengukuran dan secara linier berhubungan dengan gairah. Sensor EDA mengukur perubahan konduktansi kulit (SC) yang diwakilinya aktivitas saraf sudomotor sedangkan kelenjar keringat mengeluarkan keringat. Meskipun berkeringat adalah mekanisme pengaturan termos, kelenjar keringat terletak di permukaan, seperti di palmar dan plantar, lebih responsive rangsangan psikologis yang berhubungan dengan stres. Oleh karena itu, sensor EDA untuk mengukur kondisi stres biasanya ditempatkan di telapak tangan.
Sinyal SC terdiri dari komponen tonik dan phasic, yang memiliki perbedaan karakteristik dalam skala waktu dan puncak dalam setiap rangsangan yang diberikan. Komponen tonik mencerminkan dasar tingkat konduktansi kulit (SCL) dan fluktuasi spontan (SF) yang berbeda pada setiap orang. Komponen phasic mencerminkan respon waktu singkat terhadap rangsangan, yang disebut respon konduktansi kulit (SCR). Bentuk khas dari SCR menunjukkan kenaikan cepat dari SCL, diikuti oleh sebuah peluruhan eksponensial asimtotik kembali ke baseline. Oleh karena itu, dekomposisi file SC menjadi komponen phasic dan toniknya sangat penting dalam pengukuran EDA untuk menganalisis karakteristik stres. Namun persoalan yang tumpang tindih masih menjadi keterbatasan dalam proses dekomposisi. SCR bisa tumpang tindih jika ada celah antar rangsangan lebih pendek dari pada peluruhan respon sebelumnya. Tumpang tindih ini membuat puncak SCR tidak jelas dan mengurangi keakuratan identifikasi stress.
Penelitian sebelumnya telah dikembangkan untuk menguraikan sinyal phasic menjadi SCR individu terkait dengan setiap stimulus. Barry dkk. mengurangi setiap SCR dari perpanjangan SCR sebelumnya untuk memperbaiki baseline menggunakan grafis alat, yang membutuhkan observasi visual untuk memilih model terbaik. Alexander dkk. memperkirakan aktivitas saraf sudomotor (SMNA) menggunakan Linear Time Invariant (LTI) model, di mana SC adalah hasil dari konvolusi antara SMNA, dan konduktansi kulit Impulse Response Function (IRF) diasumsikan apriori dan time-invariant.
Benedek dan Kaernbach mengusulkan model LTI baru dengan memodifikasi asumsi tersebut untuk menghitung variabilitas dalam bentuk SCR. Model baru ini dikenal sebagai model Continuous Deconvolution Analysis (CDA). CDA membagi SMNA menjadi dua komponen; satu mendeskripsikan aktivitas phasic dan yang lainnya menggambarkan EDA variasi asal yang berbeda dengan fungsi Bateman. Meskipun kebisingan tidak dihitung secara matematis dalam salah satu model ini, ketiganya menganggapnya adanya.
Penelitian ini mencoba menganalisis aktivitas SCR dari EDA terkait penggunaan stress pendekatan convex optimization approach (cvxEDA) oleh Greco et al.. cvxEDA juga dimodelkan berdasarkan fungsi Bateman, mirip dengan model CDA, tetapi menambahkan tiga konsep utama: maximum a posteriori probability, convex optimization, dan sparsity atau ketersebaran. CvxEDA memodelkan komponen phasic, sebagai infinite impulse response (IIR) berfungsi menggunakan model ARMA. Komponen phasic kemudian dapat dipisahkan dari sinyal SC dan dianalisis polanya melalui diberikan stressor untuk memantau tingkat stress. Stres yang dianalisis pada penelitian ini hanya sebatas pada stres kognitif, yang dianggap sebagai stres psikologis, bukan neurologis. Stres kognitif bisa membuat gugup atau tegang karena perasaan tidak enak, dan waspada atau bersemangat untuk perasaan yang menyenangkan. Kami mencoba mengamati trend di EDA terkait dengan berbagai tingkat stresor yang diberikan pada subjek.
Makalah ini menegaskan bahwa model cvxEDA berdasarkan convex optimation bisa menghasilkan dekomposisi EDA. Meskipun setiap naracoba memiliki nilai yang berbeda-beda amplitudo dan puncak, tetapi semuanya memberikan tren serupa, yang menunjukkan semakin sering stimulus yang diberikan semakin tinggi SCR (komponen phasic) yang dihasilkan. Komponen Phasic mampu menunjukkan peningkatan rangsangan tiap sesinya, Hal ini terlihat dari banyaknya puncak yang merepresentasikan kognitif dan emosional stresor diberikan dalam penelitian ini.
Hasil penelitian ini telah dipresentasikan pada The 1st International Conference on Electronics, Biomedical Engineering, and Health Informatics, ICEBEHI 2020, 8–9 October, Surabaya, Indonesia pada tanggal 22 Oktober 2019.
Penulis: Osmalina Nur Rahma, S.T., M.Si.
Berikut ini adalah link dari artikel tersebut: https://link.springer.com/chapter/10.1007%2F978-981-33-6926-9_9
Nuzula Dwi Fajriaty, Osmalina Nur Rahma, Yang Sa’ada Kamila Ariyansah Putri, Alfian Pramudita Putra, Akif Rahmatillah, and Khusnul Ain, “Monitoring Stress Level Through EDA by Using Convex Optimization” Proceedings of the 1st International Conference on Electronics, Biomedical Engineering, and Health Informatics, Lecture Notes in Electrical Engineering 746, https://doi.org/10.1007/978-981-33-6926-9_9