Evaluasi Perlindungan Hak Pekerja Migran Indonesia

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Foto dari JawaPos com

Kemerdekaan dapat memiliki arti yang berbeda bagi setiap warga. Kemerdekaan finansial atau bahkan kelimpahan suatu individu atau komunitas dapat berarti kebebasan yang justru membelenggu pihak atau komunitas lain. Memang perbudakan secara resmi telah dihapus sejak jaman dekolonisasi, akan tetapi karakter tersebut masih ada hingga saat ini. Lebih dari sekitar 14 juta warga Indonesia yang berada di luar negeri untuk bekerja, memiliki resiko untuk terjerat dalam kondisi perbudakan modern. Kondisi tersebut dapat terjadi karena pekerja migran telah berada di luar teritorial negara asal, dan negara tujuan belum tentu bersedia secara sungguh-sungguh menghargai martabat mereka sebagai manusia. Resiko perbudakan modern dapat muncul ketika sebagian besar pekerja migran yang wanita bekerja pada ranah domestik dan berada di bawah kekuasaan majikan. Resiko muncul seperti tidak dihargainya waktu dan tempat beristirahat, serta rentan dari kekerasan seksual maupun fisik lainnya. Bagi pekerja migran pria pun, resiko muncul ketika pasport secara paksa ditahan oleh majikan sebagai jaminan. Pekerja migran semakin rentan terhadap kondisi perbudakan ini ketika mereka ditipu oleh agen, atau mereka tidak tahu informasi sehingga mereka masuk dalam kategori pekerja non prosedural. Kondisi yang terakhir ini dapat mengubah status mereka dari pekerja menjadi kriminal.

Beberapa pihak telah memiliki itikad baik dalam melindungi komunitas marjinal ini. Mulai muncul jaringan advokasi lokal, nasional dan transnasional untuk melindungi para pekerja migran ini. Perwakilan diplomat di luar negeri pun semakin giat dalam fungsi perlindungannya. Pemerintah negara tujuan, pun, ada yang bersedia mendengarkan aspirasi dari pekerja migran. Bahkan organisasi internasional untuk buruh juga turut mengawasi.

Kementrian ketenagakerjaan mengeluarkan program sosial untuk pekerja migran dan keluarganya pada tahun 2017, selama tahun 2016, perwakilan di luar negeri telah menindak tegas dengan mencabut ijin agen penyalur tenaga kerja sebanyak 45 perusahaan. Perwakilan di luar negeri juga menjalankan fungsi pengawasan dengan melaporkan agen penyalur yang melanggar aturan penempatan. Selain itu ijin terhadap sekitar 199 perusahaan agen di beku kan untuk sementara. Apabila pekerja migran menghadapi persoalan hukum, perwakilan menyewa pengacara untuk membela kasusnya. Perwakilan resmi pemerintah di luar negeri pun memberikan bantuan dalam hal pengembalian paspor pada pemiliknya bila pekerja migran yang bersangkutan terlibat dalam masalah hutang atau lain-lain yang sebelumnya mengakibatkan paspor mereka diambil oleh pihak2 lain. Selain agen, para perwakilan juga membuat daftar hitam majikan yang melakukan tindak kekerasan terhadap pekerja migran. Perwakilan juga menjalin komunikasi dengan perwakilan pemerintah lain atau peer nya yang menghadapi permasalah yang serupa. Perwakilan menyediakan program pendidikan dan pelatihan bagi pekerja migran yang berminat.

Di sisi lain, dengan berjalannya demokrasi, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan masing-masing pekerja migran dapat berperan sebagai komunitas yang melakukan evaluasi tentang berjalannya fungsi dari pemerintah sebagai pelindung warganya. Jaringan Buruh Migran Indonesia (JBMI) melihat bahwasannya pendekatan administratif birokratis pemerintah justru bisa berdampak sebaliknya. Bukannya melindungi pekerja migran sebagaimana yang diharapkan, akan tetapi justru menyebabkan kriminalisasi sehingga pekerja yang dimaksud dipenjara karena kekurangan dokumen. Kebijakan adanya JKLN misalnya, pada pelaksanaanya dinilai memberatkan pekerja migran. Dari responden para pekerja migran, memiliki perbedaan penilaian tentang kinerja pemerintah. Sebagian merasa terbantu oleh pemerintah Indonesia ketika mereka mendapati masalah, dan sebagian pekerja migran lain tidak merasa terbantu.

Kolaborasi antara pemerintah dan warga nya, dalam hal ini kementrian ketenagakerjaan, perwakilan RI di luar negeri, jaringan advokasi pekerja migran, dan pekerja migran beserta keluarganya dapat semakin digiatkan. Tantangan-tantangan di depan terus ada. Seperti yang terjadi saat Pandemi Covid ini, tantangan-tantangan baru muncul. Semakin ketatnya kebijakan imigrasi negara tujuan serta perubahan politik yang terjadi di negara tujuan pun dapat menjadi tantangan bagi keberlangsungan lapangan pekerjaan bagi pekerja dari Indonesia di luar negeri. Negara tujuan pun dapat memberlakukan karantina yang secara khusus mentargerkan pekerja migran. Kondisi-kondisi karantina, vaksin serta akses kesehatan menjadi hal yang perlu diperhatikan karena menyangkut hak-hak pekerja migran beserta keluarganya, termasuk pekerja migran yang berada di sektor transportasi laut.

Penulis: Irfa Puspitasari

Versi lengkap dapat diakses melalui: Irfa Puspitasari (2021) Combating Modern Slavery: The Strategy of Indonesian Government to Protect Migrant Workers. Global Focus, 1 (1), hal 23-27

Diakses secara online melalui: https://globalfocus.ub.ac.id/index.php/globalfocus/article/view/16

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp