Menurut data dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tahun 2016, kurang lebih 800.000 orang meninggal setiap hari karena bunuh diri. Penyebab utama tinggi angka bunuh diri tidak terkelola dengan baik pada stres berat. Stres adalah respons psikologis dari ancaman atau tuntutan tugas yang dirasakan dan ditandai dengan emosi tertentu. Hal ini juga dapat memicu gangguan kesehatan mental, seperti gangguan depresi dan kecemasan, yang dapat menyebabkan bunuh diri. Tidak hanya berpengaruh secara psikologis, tapi stres juga bisa mengganggu penyakit lain, seperti meningkatkan risiko penyakit jantung dan stroke. Mengingat stres dapat mempengaruhi psikologi tubuh dan memicu berbagai penyakit, sistem monitoring diperlukan untuk mengukur kondisi tingkat stres. Stres biasanya mengukur dengan mengisi formulir, seperti State-Trait Anxiety Inventory Test atau wawancara dengan psikolog. Namun, cara ini tetap membutuhkan intervensi dari manusia karena tidak semua penderita mengkonsultasikan kondisinya ke dokter yang mana mengarah ke penanganan yang tidak tepat karena pengobatan yang terlambat. Metode ini juga membutuhkan waktu yang lama (hingga 10-20 menit untuk mengisi formulir) dan membutuhkan tenaga profesional untuk mengenali. Oleh karena itu, sangat penting untuk mengembangkan metode alternatif untuk pengukuran tegangan,yang non-invasif dan dapat dilakukan sendiri oleh pasien.
Penelitian sebelumnya mengukur stress dengan menggunakan berbagai sinyal fisiologis, yaitu Elektrokardiogram (EKG), Aktivitas Elektrodermal (EDA), Elektromiogram (EMG), dan Reaction Time (RT), yang kemudian diklasifikasikan menggunakan Support Vector Machine (SVM). Sebuah review dari “Towards an Automatic Early Stress Recognition System for Office Environments Based on Multimodal Measurements” menyimpulkan bahwa EKG dan EDA adalah yang paling akurat sinyal fisiologis dalam mendeteksi stres. EDA adalah salah satu metode terbaik digunakan untuk pengukuran real-time dan secara linier berhubungan dengan gairah, yang telah terjadi banyak digunakan dalam deteksi stres dan emosi. Selain itu, EDA juga dapat digunakan sebagai file Indeks pemeriksaan langsung untuk mengetahui pengaruh stres terhadap fungsi tubuh.
EDA mengukur konduktivitas kulit, yang biasanya diukur dalam satuan mikro siemens dan perubahan karena ekskresi keringat. Namun, hasil dari pengukuran sinyal EDA tidak dapat langsung dianalisis. Sinyal SC yang didapat merupakan kombinasi dari dua komponen, komponen tonik dan phasic. Komponen tonik ini dikenal sebagai Skin Conductance Level (SCL), sedangkan komponen phasic adalah Skin Conductance Response (SCR). SCL berubah berdasarkan banyak faktor, termasuk focus tingkat, tetapi akan terus ada meskipun tidak ada stimulus yang diberikan. Secara biologis, SCL muncul karena difusi ion dari kelenjar keringat ke bagian terluar epidermis (stratum corneum), meskipun epidermis mencegah difusi ion menjadi kedap air. Di sisi lain, SCR sebagai komponen phasic hanya ada dalam periode tertentu karena SCR muncul ketika sistem saraf simpatis bereaksi terhadap rangsangan tertentu. Jika sinyal SC asli tidak dipisahkan, akan ada SCR yang tumpang tindih, yang menyebabkan informasi kurang tepat saat fitur diekstraksi. Oleh karena itu, penting untuk memisahkan sinyal SCR dan SCL dengan mendekonvolusi sinyal SC.
Pada penelitian ini dekonvolusi diperoleh dengan menggunakan Continuous Deconvolution Metode Analisis (CDA). Metode ini dipilih karena lebih cepat dan lebih banyak efisien dibandingkan dengan Analisis Dekonvolusi Non-Negatif Diskrit. Proses dekonvolusi ini bertujuan untuk mendapatkan SCR yang jelas tanpa overlapping dan mendapatkan file driver SCR dasar nol. Puncak SCR yang jelas penting untuk mengidentifikasi respon yang berkaitan dengan stimulus (stressor). Ke depan, SCR bisa diproses selanjutnya menjadi fitur untuk sistem klasifikasi tingkat stres.
Singkatnya, ada empat tahapan utama dalam metode CDA: pemrosesan awal dan dekonvolusi data SC, estimasi komponen tonik (SCL), estimasi komponen phasic (SCR), dan optimalisasi nilai tau untuk mendapatkan kriteria terendah untuk mendapatkan estimasi SCR terbaik. Pemisahan SCR dari data Konduktivitas Kulit dapat dilakukan dengan menggunakan metode Continuous Metode Deconvolution Analysis (CDA) untuk menghasilkan sinyal SCR yang cukup baik serta membedakan sinyal SCR yang tumpang tindih sebagai dua puncak SCR yang berbeda. Selain itu, puncak SCR adalah hasil dari beberapa stimulus yang mewakili stres emosional yang diberikan dalam penelitian ini. Metode ini dapat digunakan sebagai analisis fundamental untuk menemukan esensi fitur untuk mengklasifikasikan tingkat stres.
Hasil penelitian ini telah dipresentasikan pada The 1st International Conference on Electronics, Biomedical Engineering, and Health Informatics, ICEBEHI 2020, 8–9 October, Surabaya, Indonesia pada tanggal 22 Oktober 2019.
Penulis: Osmalina Nur Rahma, S.T., M.Si.
Berikut ini adalah link dari artikel tersebut: https://link.springer.com/chapter/10.1007%2F978-981-33-6926-9_8
Yang Sa’ada Kamila Ariyansah Putri, Osmalina Nur Rahma, Nuzula Dwi Fajriaty, Alfian Pramudita Putra, Akif Rahmatillah, and Khusnul Ain, “Electrodermal Activity-Based Stress Measurement Using Continuous Deconvolution Analysis Method” Proceedings of the 1st International Conference on Electronics, Biomedical Engineering, and Health Informatics, Lecture Notes in Electrical Engineering 746, https://doi.org/10.1007/978-981-33-6926-9_8