Kondisi Sosial Budaya pada Desa ODF di Ekosistem Perbukitan, Dataran Rendah, dan Pantai

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Foto by Mapala Stacia

Sanitasi merupakan salah satu permasalahan besar yang sampai saat ini di hadapi oleh Indonesia, hal tersebut dikarenakan setiap daerah di Indonesia memiliki sosial-budaya yang berbeda-beda. Salah satu yang menjadi masalahnya adalah kebiasaan Buang Air Besar Sembarangan (BABS). Pendekatan STBM terdiri dari 5 pilar, yang meliputi bebas BABS, mencuci tangan pakai sabun, mengolah makanan dan minuman dengan aman, mengelola sampah dan mengelola air limbah domestik. Pada saat ini Indonesia dihadapkan dengan sebuah tantangan untuk menuntaskan suatu target Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 yang mengharuskan Indonesia mencapai akses universal air minum sebesar 100%, pemukiman kumuh sebesar 0%, dan Stop Buang Air Besar Sembarangan Sebesar (SBS) 100% (Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2016). Per November 2018, desa dan kelurahan di Indonesia dengan status SBS terverifikasi adalah 16.194 atau sebesar 20,04% dari total Desa/ Kelurahan yang ada di Indonesia yaitu sebanyak 80.805 Desa/Kelurahan. Salah satu kabupaten di Jawa Timur yaitu Banyuwangi merupakan yang terdiri dari 25 Kecamatan, 28 Kelurahan, dan 189 Desa dengan data per November 2019 diketahui bahwa 100% desa/kelurahannya telah melaksanakan Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM). Dari 217 desa/kelurahan yang telah mendeklarasikan diri sebagai Desa Open Defecation Free (ODF), sebanyak 117 desa/kelurahan atau sebesar 81,57% telah terverifikasi sebagai Desa ODF, salah satunya adalah Puskesmas Klatak yang mempunyai keunikan dalam sisi geografis dengan adanya perbukitan, dataran rendah dan pantai.

Perbandingan Sosial Budaya Masyarakat Di Desa ODF pada Ekosistem Perbukitan, Dataran Rendah, dan Pantai Hasil perbedaan sosial budaya antara ketiga ekosistem ini diperoleh dengan cara penyebaran kuisioner dan wawancara dengan responden, kemudian hasil yang diperoleh di analisis dengan menggunakan dengan metode statistic inferensial, yaitu ANOVA one way. Penelitian kuantitatif dengan desain studi cross-sectional. Pengumpulan data dilakukan dengan metode indepth interview, penyebaran kuisioner, dan observasi langsung. Hasil dari penelitian ini adalah mayoritas masyarakat diketiga ekosistem memiliki sosial budaya dengan kategori baik. Di ekosistem perbukitan sebesar (68,2%), ekosistem dataran rendah sebesar (84,1%), dan ekosistem pantai sebesar (72,7%). Berdasarkan hasil uji statistiknya diketahui bahwa tidak ada perbedaan anatara keadaan sosial budaya pada masyrakata ekosistem perbukitan (Kelurahan Klatak), dataran rendah (Kelurahan Kalipuro), dan pantai (Desa Ketapang) dengan tingkat signifikansi yang tidak memenuhi syarat, yaitu p>α (0,005), artinya tidak ada perbedaan diantara ketiga ekosistem tersebut. Ketiga wilayah tersebut terdapat dalam satu wilayah cakupan kerja Puskesmas yang sama, yaitu Puskesmas Klatak, hanya terpisah secara geografis maupun administratifnya saja.

Kondisi sosial budaya masyarakat di ketiga wilayah tersebut memiliki kemiripan. Namun berdasarkan hasil observasi di lapangan diketahui bahwa masih terdapat individu dan anggota keluarga di Desa Ketapang yang memiliki kebiasaan buruk untuk BAB di jamban. Peran serta kepala keluarga sangat dibutuhkan karena dianggap memiliki pengaruh yang sangat besar, baik terhadap individu maupun dalam bermasyarakat. Perilaku tersebut dapat disebabkan oleh beberapa faktor sosial. Salah satu faktor sosial tersebut adalah pola pikir masyarakat, salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mewujudkan desa/kelurahan ODF adalah dengan memperkuat strategi advokasi dengan memberikan kebijakan tertulis mengenai upaya pembinaan yang akan diberikan kepada masyarakat. Peran serta masyarakat juga dibutuhkan untuk mendukung tercapainya desa/kelurahan ODF, seperti yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Muaro Jambi untuk meningkatkan angka cakupan desa ODF perlu dilakukan sosialisasi kepada tokoh desa, seperti guru, kader kesehatan, aparat desa, tokoh agama, dan tokoh masyarakat setempat, kemudian perlu juga dilakukan pembentukan satuan tugas desa yang beranggotakan masyarakat setempat, dan memberikan sangsi yang tegas kepada masyarakat yang melakukan BABS.

Tidak ada perbedaan  keadaan sosial budaya yang terdapat di masyarakat ekosistem perbukitan (Kelurahan Klatak), dataran rendah (Kelurahan Kalipuro), dan pantai (Desa Ketapang) dengan tingkat signifikansi yang tidak memenuhi syarat, yaitu p>α (0,005). Namun berdasarkan hasil observasi dilapangan dari ketiga ekosistem tersebut, ekosistem yang memiliki keadaan sosial budaya yang perlu mendapatkan perhatian lebih adalah masyarakat di ekosistem pantai (Desa Ketapang).

Penulis: Dr. R. Azizah, S.H., M.Kes

Link jurnal: Journal.stikeskendal.ac.id/index.php/PSKM/article/view/1178/749

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp