Setahun pandemi berlalu, masih banyak masyarakat yang abai terhadap protokol kesehatan. Di kota besar seperti Jakarta, tidak sedikit masyarakat yang terlihat tidak mengenakan masker dalam melakukan kegiatan sehari-hari (Wicaksono, 2021). Juru bicara Satgas Penanganan COVID-19 mengatakan terdapat penurunan kepatuhan dalam menjalankan protokol kesehatan selama November 2020, yaitu seperti memakai masker, mencuci tangan dengan sabun, dan menjaga jarak. Angka kepatuhan masyarakat menggunakan masker sebesar 59,32 persen dan menjaga jarak 43,46 persen.
Laporan dari Nanyang Technological University yang mengadakan survei di DKI Jakarta dan Surabaya juga memperkuat bahwa masih banyak masyarakat yang yakin mereka tidak akan tertular virus corona (Salman, 2020). Survey tersebut menunjukkan bahwa 77% responden di Jakarta yakin bahwa kemungkinan mereka tertular COVID-19 kecil dan sangat kecil; sedangkan di Surabaya, angkanya mencapai 59%. Survei lain yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (2020) terkait Perilaku Masyarakat di Masa Pandemi COVID-19 menunjukkan hasil bahwa tingkat kepatuhan paling rendah menurut umur terjadi pada usia 17-30 tahun. Survei tersebut juga mengindikasikan bahwa kelompok rentang usia 17-30 tahun memiliki presentase tertinggi (20,2%) dalam menyatakan dirinya sangat tidak mungkin dan tidak mungkin tertular COVID-19.
Penelitian terdahulu terkait ketidakpatuhan masyarakat selama pandemi seringkali dikaitkan dengan persepsi risiko dan kecemasan (Leung, 2003), ketakutan yang dirasakan (Harper dkk., 2020), bias optimisme tidak realistik(Boutebal dkk., 2020), kerentanan yang dirasakan atau perceived susceptibility (Lau dkk., 2008), pengetahuan terkait transmisi virus (Di Giuseppe dkk., 2008), kepercayaan masyarakatpada pemerintah (Wong & Jensen, 2020), serta efektivitas yang dirasakan dari tindakan perlindungan (Lau, 2003). Tindakan berisiko yang dilakukan masyarakat selama pandemi dan adanya kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak konsisten mengarah pada perilaku ketidakpatuhan masyarakat terhadap protokol kesehatan yang ada guna meminimalisir penyebaran kasus COVID-19. Penelitian ini difokuskan pada analisis perilaku ketidakpatuhan masyarakat yang dapat dijelaskan oleh bias optimisme tidak realistikdan kepercayaan masyarakatpada pemerintah karena ketidakkonsistenan hasil pada temuan sebelumnya.
Druică dkk. (2020) menyebutkan bahwa bias optimismemempengaruhi persepsi seseorang terkait risiko penularan yang disebabkan oleh COVID-19 di Romania & Italia. Sedangkan Bavel dkk. (2020) menyebutkan bahwa bias optimismedapat membuat seseorang meremehkan kemungkinan mereka tertular penyakit dan mengabaikan peringatan kesehatan. Menurut Weinstein & Klein (1996), bias optimismedapat menjadi strategi perlindungan dan membuat seseorang percaya bahwa semua baik-baik saja. Hal ini menyebabkan seseorang untuk meremehkan banyak risiko masalah kesehatan.
Han dkk. (2020) menyebutkan bahwa tingginya kepercayaan masyarakat pada pemerintah secara signifikan dikaitkan dengan adopsi tindakan kesehatan yang lebih tinggi. Dalam konteks pandemi, adopsi tindakan kesehatan yang lebih tinggi mendorong kepatuhan seseorang. Hasil tersebut menyoroti pentingnya kepercayaan masyarakatpada pemerintah dalam pengendalian pandemi. Akan tetapi, studi Wong & Jensen (2020) di Singapura terkait kepercayaan masyarakatdisana menunjukkan bahwa masyarakat memiliki kepercayaan yang tinggi pada pemerintah dan beriringan dengan rendahnya tingkat risiko yang dirasakan. Hal tersebut mengakibatkan rendahnya kepatuhan terhadap langkah-langkah manajemen risiko yang diambil pemerintah. Wong & Jensen (2020) mengatakan bahwa pandemi COVID-19 mengungkapkan dimensi lain dari kepercayaan, dimana tingkat public trust yang tinggi menghasilkan kepatuhan yang lebih rendah serta menghasilkan keyakinan bahwa tindakan individu tidak diperlukan untuk mengelola risiko secara efektif. Hal tersebut terjadi karena responden memiliki persepsi yang sangat positif terkait manajemen risiko dan upaya komunikasi pemerintah. Kebanyakan responden juga menilai risiko yang dihadapi sangat rendah karena merasa pemerintah telah transparan. Responden menganggap pemerintah sangat kompeten dan efektif dalam mengambil tindakan.
Dari hasil kajian tersebut, hipotesis pada penelitian ini adalah (H1) bias optimisme tidak realistik dan (H2) kepercayaan masyarakat pada pemerintah memprediksi perilaku ketidakpatuhan masyarakat terkait protokol kesehatan selama pandemi COVID-19.
Partisipan pada penelitian ini berjumlah 740 yang merupakan masyarakat umum usia dewasa awal. Partisipan tersebar pada 24 provinsi di Indonesia, dengan mayoritas berasal dari Jawa Timur 41.6 persen, Jawa Barat 17.2 persen, DKI Jakarta 10.5 persen, Jawa Tengah 7.2 persen, Yogyakarta 6.1 persen, dan Banten 5.3 persen. Partisipan pada penelitian ini berusia 18-25 tahun (M=21.57, SD=1.83) dengan proporsi jenis kelamin adalah 79.7 persen perempuan dan 20.3 persen laki-laki. Tingkat pendidikan partisipan terbanyak adalah S1 86.5 persen, sisanya SMA 11.4 persen dan S2 2.2 persen. Proporsi pekerjaan partisipan mayoritas adalah pelajar/mahasiswa 70.8 persen, pegawai swasta 14.9 persen, wirausaha 4.6 persen, belum bekerja 4.6 persen, lain-lain 3.4 persen, dan pegawai negeri 1.8 persen. Proporsi penghasilan responden adalah 93.6 persen memiliki penghasilan di bawah 5 juta, 6 persen antara 5 hingga 10 juta, dan 0,4 persen di atas 10 juta rupiah.
Pengambilan data dilakukan dari 26-29 Oktober 2020. Pengumpulan data dilakukan secara daring dan disebarkan kepada target responden melalui media sosial. Penelitian ini menggunakan tiga instrument, yaitu kuesioner bias optimisme tidak realistik (Boutebal dkk., 2020), kuesioner kepercayaan masyarakat pada pemerintah (Paek dkk., 2008) dan kuesioner perilaku ketidakpatuhan (Nivette dkk., 2021).
Penelitian ini mengonfirmasi yang mendukung adanya hubungan positif yang signifikan dari bias optimisme tidak realistikterhadap perilaku ketidakpatuhan; serta hubungan negatif signifikan dari kepercayaan masyarakatpada pemerintah terhadap perilaku ketidakpatuhan. Secara simultan, bias optimisme tidak realistikdan kepercayaan masyarakatpada pemerintah dapat menjelaskan perilaku ketidakpatuhanmasyarakat, dengan variabel bias optimisme tidak realistik yang memiliki kontribusi paling tinggi terhadap perilaku ketidakpatuhan selama pandemi COVID-19.
Temuan penelitian memberikan wawasan tentang pentingnya untuk memperhatikan aspek bias kognitif yang dimiliki oleh individual. Intervensi untuk meningkatkan kepatuhan masyarakat seharusnya secara cermat mempertimbangkan faktor psikologis yang berkaitan dengan bias kognitif termasuk bias optimisme. Orang yang cenderung memiliki bias optimisme yang kuat dapat menunjukkan perilaku yang resisten terhadap perubahan bahkan ketika diberikan informasi-informasi yang bertentangan dengan biasnya. Oleh karenanya, informasi dan kampanye untuk mengikuti protokol kesehatan perlu untuk memperhatikan faktor-faktor psikologis untuk menurunkan optimisme bias sehingga efektif dalam mencapai tujuan.
Penulis: Dr. Rahkman Ardi
Informasi detail dari riset ini dapat dilihat pada tulisan kami di:
https://doi.org/10.23917/indigenous.v6i2.12436
Agustina, G.N. & Ardi, R. (2021). The role of optimism bias and public trust in the goverment on non-compliant behaviour with health protocols. Indigenous: Jurnal Ilmiah Psikologi, 6(2). 14-24 doi: https://doi.org/10.23917/indigenous.v6i2.12436