Senapan Angin Penyebab Cidera Otak Tembus pada Remaja

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Foto oleh balitribune.co.id

Senapan angin termasuk dalam kelompok senjata non-mesiu, tetapi cidera terkait penggunaan pistol ini telah dilaporkan di seluruh dunia. Cidera terkait senapan angin merupakan penyebab cidera yang signifikan terutama di kalangan anak-anak dan remaja.  Berbeda dengan senjata api bubuk, senjata api non-mesiu, seperti senapan angin, menghasilkan cidera yang berbeda dengan berbagai pemahaman tentang mekanisme cideranya.

Kemudahan akses senjata jenis ini membuat penggunaannya cukup populer dan seringkali memberikan kesan keamanan palsu karena dicap sebagai ‘bukan senjata asli’. Studi menunjukkan lebih dari 70% cidera senjata api non-mesiu pada anak-anak adalah tidak disengaja. Amerika Serikat menyatakan pada tahun 2013 ada 16.000 insiden dengan mayoritas korbannya berusia di bawah 19 tahun. Pemahaman bahwa senjata api non-mesiu dapat menyebabkan cidera belum terjadi di masyarakat umum. Di sisi lain, Indonesia tidak memiliki sistem pencatatan dan database seperti  Amerika Serikat. Beberapa laporan senjata api non-mesiu yang dipublikasikan adalah laporan kasus dan studi kecil. Darmadipura, dkk., sebelumnya telah mempublikasikan studi sebanyak 16 kasus dari institusi kami. Kurangnya laporan yang ada menunjukkan kurangnya kesadaran mengenai bahaya dari senjata api non-mesiu.

Salah satu jenis cidera yang diakibatkan oleh senapan angin adalah cidera otak tembus (penetrating brain injury). Peluru timbal senapan angin atau pellet masuk melalui mata, pelipis atau dahi bagian bawah, lalu menembus otak. Bagian kepala tersebut memiliki tulang yang tipis sehingga dapat mudah ditembus oleh peluru senapan angin. Tembakan biasanya tidak disengaja atau sebagai hasil dari bercanda antar teman atau diri sendiri dan terjadi pada jarak dekat sehingga kekuatan peluru masih cukup untuk menembus tulang.

Pertimbangan untuk menerapkan manajemen agresif yang sama seperti pada cidera tembak kinetik tinggi  pada kasus senjata api non-mesiu merupakan pertanyaan yang menarik. Pada trimester akhir tahun 2020 kami telah menangani kejadian dua cidera otak tembus akibat senapan angin.

Kasus pertama adalah seorang laki-laki berusia 13 tahun yang datang ke unit gawat darurat dengan keluhan utama nyeri kepala akibat tertembak senapan angin di wajah 19 jam sebelum datang ke IGD. Peluru menembus pipi kirinya dengan lintasan ke atas dan tidak dapat ditemukan di tempat lain. Pasien muntah satu kali sebelum mencari bantuan medis. Tidak ada kehilangan kesadaran atau kejang yang terjadi setelah kejadian. Pada pemeriksaan fisik, ditemukan luka masuk peluru di daerah pipi kiri dengan bentuk bulat bersih dan diameter 2 mm. Tidak ada perdarahan aktif yang terlihat dari luka. Ditemukan edema palpebra kiri dan ekimosis

X-ray tengkorak menunjukkan benda asing radiopak, tertanam di daerah parietal. CT scan kepala menunjukkan peluru sebagai lesi hiperdens dengan sebaran di lobus parietal kiri. Pasien dirawat untuk observasi ketat dan manajemen non-operatif karena pasien menolak operasi meskipun sudah dilakukan penjelasan berulang. Perawatan dengan antibiotik, ibat anti nyeri, dan obat anti kejang diberikan selama 7 hari. Pasien tidak menunjukkan penurunan apapun selama perawatan di rumah sakit. Pasien keluar dari rumah sakit dengan orientasi penuh, GCS 15, tanpa adanya defisit neurologis.

Kasus kedua adalah seorang laki-laki berusia 14 tahun yang datang ke unit gawat darurat dengan keluhan utama luka di kepala setelah tertembak secara tidak sengaja dengan senapan angin 10 jam sebelumnya. Tidak ada yang mengetahui terjadinya tembakan senapan tersebut. Pasien sadar dan tidak mengeluhkan sesuatu yang khusus, seperti sakit kepala, mual, muntah, maupun kejang. Pemeriksaan fisik menunjukkan luka terbuka berbentuk bulat bersih di daerah frontal kiri, konsisten dengan luka tembak masuk. Bagian tulang terlihat dan menunjukkan diskontinuitas berbentuk bulat serta keluarnya cairan bening berdenyut sesuai dengan detak jantung pasien. CT scan kepala menunjukkan hiperdensitas dengan densitas yang sama dengan jaringan tulang di ventrikel lateral kiri yang menunjukkan adanya benda asing. Ada area kepadatan udara di ventrikel kiri mengikuti lintasan tembakan peluru yang menunjukkan pneumocephalus lobus frontal kiri dan kedua ventrikel lateral (Gbr. 2b – 2c). Pemeriksaan tambahan lainnya tidak menunjukkan hasil signifikan.

Tindakan operasi dilakukan untuk mengeluarkan peluru. Selama perawatan pascaoperasi pasien tidak menunjukkan penurunan kondisi. Pasien keluar dari rumah sakit dengan orientasi penuh, GCS 15, dan tidak ada defisit neurologis.

Manajemen bedah untuk cidera otak tembus didasarkan pada keadaan klinisnya, tetapi ekstraksi fragmen logam adalah kunci untuk operasi dengan tujuan mengurangi efek toksisitas lokal dan perubahan neurostruktural permanen yang dapat berkembang menjadi defisit neurologis permanen.

Komplikasi infeksi cukup sering terjadi setelah cidera tembus, dan komplikasi ini juga terkait dengan tingkat morbiditas dan mortalitas yang lebih tinggi. Risiko infeksi luka lokal, meningitis, ventrikulitis, atau abses serebral sangat tinggi di antara pasien PBI karena adanya benda asing yang terkontaminasi, kulit, rambut, dan fragmen tulang yang didorong ke dalam jaringan otak di sepanjang jalur proyektil. Komplikasi infeksi lebih sering terjadi bila terjadi kebocoran cairan serebrospinal, sinus udara, cidera transventrikular atau yang melewati midline.

Penulis: Wihasto Suryaningtyas

Artikel lengkap dapat diakses di:

Muhammad I. Rahmatullah, Muhammad Arifin Parenrengi, Wihasto Suryaningtyas. Unintentional penetrating brain injuries caused by air riffles in teenagers: Two case report. Interdisciplinary Neurosurgery: Advanced Techniques and Case Management 25 (2021) 101203. https://doi.org/10.1016/j.inat.2021.101203

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp