Skema Kognitif Beragama dan Toleransi Terhadap Kelompok Terasing Di Indonesia

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Foto by Media Indonesia

Survey dari Pew Research Center tentang “The Global God Divide” menunjukkan bahwa 96 persen masyarakat Indonesia mengungkapkan bahwa percaya pada Tuhan merupakan hal yang penting untuk menunjukkan moral dan nilai-nilai yang baik (Tamir et al., 2020). Terlepas Islam merupakan agama mayoritas, konstitusi dan Ideologi negara menyebutkan bahwa Indonesia bukanlah negara berdasarkan agama, namun mendasarkan pada kepercayaan pada Tuhan yang Maha Esa. Di beberapa provinsi atau kota tertentu, agama selain Islam dapat menjadi mayoritas, i.e. Hindu merupakan mayoritas di Bali; Kristen di Sulawesi Utara, Papua, dan Papua Barat; serta Katolik di Nusa Tenggara Timur (Badan Pusat Statistik, 2012).  Negara hanya mengakui secara sah keberadaan 6 agama, yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Kong Hu Cu (Mu’ti & Burhani, 2019; Ropi, 2017).

Selain itu, negara juga baru saja mengakui kepercayaan segolongan penduduk yang masih menganut iman tradisional diluar dari 6 agama tersebut (Putusan mahkamah Konstitusi, 2016). Kepercayaan ini disebut sebagai penghayat kepercayaan yang keberadaannya menjadi kelompok minoritas di berbagai. Jumlah golongan ini tercatat pada tahun 2017 menurut catatan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan adalah sebesar 187 organisasi di tingkat pusat di seluruh Indonesia (DKT, 2017).

Jika golongan penghayat kepercayaan tradisional pada akhirnya mendapat pengakuan, maka hal berbeda terjadi pada kelompok ateis. Negara tidak mengakomodir ateisme sebagai satu pilihan warga negaranya sebagai konsekuensi atas ideologi negara yang berdasarkan Ketuhanan yang maha esa (Duile, 2018; Sudarto, 2016). Beberapa orang yang secara diam-diam merupakan ateis tetap harus menuliskan agama yang diakui pemerintah dalam identitas kependudukan mereka (Duile, 2018).

Bagaimanapun, manifestasi sikap dan perilaku masyarakat mayoritas terhadap minoritas juga kerap merepresentasikan budaya dan ideologi negara (Dijk, 2003). Paparan-paparan ideologis (e.g. stimulus-stimulus ideologis keagamaan) akan mengakibatkan individu menjadi lebih submisif untuk mengikuti arahan dan kehendak dari stimulus ideologis tersebut (Van Cappellen et al., 2011). Artinya, ketika ideologi negara dan diskursus kultural dominan di masyarakat cenderung mengabaikan beberapa kelompok tertentu, maka dimungkinkan sebagian besar masyarakat akan memiliki prasangka karena mereka tidak memiliki skema pengetahuan dalam struktur kognitifnya terkait kelompok yang berbeda. 

Toleransi merupakan hal fundamental dalam membangun masyarakat yang inklusif dan pemerintahan yang demokratis sebagaimana tujuan dari SDG (UNDP, 2020). Toleransi dapat diartikan sebagai kesediaan untuk memperluas hak-hak dasar dan kebebasan sipil pada semua golongan yang dianggap berbeda dari dirinya (Avery, 1988). Ia melibatkan prinsip keadilan, kesetaraan (fairness), perhatian (empati), dan pertimbangan untuk penderitaan orang lain (Witenberg, 2007; 2019).

Salah satu factor yang menjadi determinan penting dari toleransi adalah adanya skema kognitif (Witenberg, 2019). Skema kognitif yang berhubungan dengan kepercayaan agama terdiri dari 3 dimensi (Streib et al., 2010) yaitu: truth of texts & teachings (TTT); fairness, tolerance & rational choice (FTR), dan xenosophia/Interreligious dialog (XENOS). TTT berhubungan dengan gaya keimanan yang melihat interpretasi agama secara literal berdasarkan teks-teks sakralnya. FTR berhubungan dengan gaya keimanan yang mengedepankan pada keterbukaan, rasionalitas argumen dan keputusan, serta keadilan dan toleransi antara sesama manusia. Sementara XENOS berhubungan dengan sikap untuk melakukan dialog antar agama di mana antara individu dapat saling belajar untuk memperoleh pemahaman akan realitas dan kebenaran. Skema ini akan menjadi dasar pikiran, kepercayaan, dan sikap yang akan membantu kita dalam menginterpretasi apapun yang ada di sekitar kita menjadi masuk akal (Hogg & Vaughan, 2018). Artinya, dalam situasi tertentu, skema kognitifdapat membuat seseorang mengenali pihak-pihak yang berbeda yang akan diperlakukan secara diskriminatif, sekaligus pada saat yang bersamaan ia dapat memilih untuk memperlakukan pihak tersebut secara toleran (Witenberg, 2019).

Studi ini bertujuan untuk melihat bagaimana hubungan antara tiga dimensi dari skema beragama (Streib et al., 2010) terhadap toleransi pada 2 kelompok terasing di Indonesia yaitu kelompok penghayat kepercayaan dan kelompok ateis.          

Atas dasar hal tersebut di atas, maka penelitian ini berfokus untuk menjawab hipotesis dan pertanyaan penelitian, yaitu: 1) apakah ada hubungan antara skema beragama dengan toleransi terhadap kelompok terasing (penghayat kepercayaan dan ateis); dan 2). Apakah ada perbedaan kelompok universitas yang berada dalam iklim sosial dan pendidikan tertentu terhadap toleransi terhadap kelompok terasing tersebut?

Pengambilan data dilakukan dari Agustus hingga Desember 2019. Partisipan studi adalah mahasiswa di perguruan tinggi yang memiliki demografi wilayah dan kurikulum perguruan tinggi yang berbeda (n=761; 6 perguruan tinggi). Beberapa diskursus yang dimiliki institusi pendidikan tertentu mungkin menjadikannya lebih memilih prinsip yang primordial, nasionalis, atau justru mempromosikan prinsip-prinsip universal (Logli, 2015). Keenam universitas tersebut kemudian dibuat menjadi 4 kategori yaitu: 1) perguruan tinggi dengan mayoritas pemeluk Hindu; 2) perguruan tinggi Islam; 3) perguruan tinggi Katolik; 4) perguruan tinggi nasional yang tidak mendasarkan pendidikannya pada agama (n=136). Partisipan pada penelitian ini berusia 18-27 tahun.

Penelitian ini menggunakan dua instrument, yaitu skala skema beragama (Streib et al., 2010) yang terdiri dari 3 dimensi (truth of texts & teachings, fairness, tolerance & rational choice, dan xenosophia) dan skala toleransi (diadopsi dari penelitian Hook et al., 2017). Analisa data dilakukan dengan menggunakan analisis regresi dan juga bayesian anova dan bootstrapping anova.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa setiap dimensi skema beragama memiliki signifikansi yang berbeda dalam menjadi prediktor toleransi pada kelompok-kelompok terasing. Dalam hubungannya dengan toleransi terhadap kelompok penghayat kepercayaan tradisional, maka tidak ada satu dimensipun dari skema beragama yang secara signifikan dapat menjadi prediktor. Namun dalam hubungannya dengan toleransi terhadap kelompok ateis, dimensi truth of text teaching dari skema beragama berperan secara signifikan negatif terhadap toleransi pada kelompok tersebut.

Studi dari Streib & Klein (2014) menunjukkan bahwa signifikansi dan kekuatan prediktor dari tiap dimensi skema beragama pada intoleransi akan bergantung pada target kelompok yang dinilai (e.g. prasangka anti-islam vs prasangka anti-semit). Toleransi kelompok tertentu terhadap kelompok lain juga seringkali bergantung pada karakteristik kelompoknya. Toleransi pada kelompok lain kerap bersifat strategis dan selektif (Jennings & Ralph-Morrow, 2020). Contohnya adalah sikap intoleransi pada kelompok kanan di Eropa. Mereka tidak menargetkan sikap dan perilaku tersebut pada semua kelompok minoritas, namun stigma negatif lebih dilekatkan pada kelompok-kelompok spesifik (e.g. kelompok liberal, LGBT, dan Islam). Ada mekanisme proteksi dari kelompok mayoritas untuk mempertahankan diri dari kelompok yang dianggap berbahaya.

Selain itu, hasil temuan juga memperkuat asumsi minimnya familiaritas masyarakat terhadap kelompok terasing tersebut. Hal ini secara implisit diperkuat dari hasil uji beda dari studi ini. Secara umum, semua kelompok PT menunjukkan derajat toleransi yang lebih besar terhadap kelompok penghayat dibandingkan kelompok ateis. Uniknya, toleransi partisipan yang berasal dari PT Islam terhadap kelompok penghayat menunjukkan derajat toleransi yang tinggi jika dibandingkan toleransi mereka terhadap kelompok ateis. Diperkirakan hal ini karena kepercayaan-kepercayaan tradisional masih dianggap sebagai bagian dari kehidupan bermasyarakat yang bisa ditoleransi karena negara masih mengakuinya. Apalagi, sebagian dari aliran kepercayaan juga menunjukkan bahwa mereka juga mengambil sebagian dari nilai-nilai Islam, bahkan sebagian dari aliran tersebut menyebut dirinya sebagai Islam kejawen (beragama Islam namun dengan mencampur praktik peribadatan dalam ajaran ajaran lokal dan tradisional jawa) (Hasbunallah, 2019; Qomar, 2015).

Sementara toleransi pada kelompok ateis menunjukkan 3 kluster yang berbeda di mana partisipan dari perguruan tinggi yang mayoritas beragama Hindu dan PT Katolik memiliki tingkat toleransi yang lebih tinggi, disusul dengan PT nasional yang tidak berdasarkan agama yang menunjukkan derajat toleransi menengah. Sementara, PT yang berdasarkan agama Islam menunjukkan toleransi yang lebih rendah terhadap kelompok ateis dibandingkan PT-PT yang lain.

Implikasi dari temuan ini adalah bahwa penelitian di masa depan menunjukkan seberapa besar pentingnya familiaritas partisipan dengan target kelompok yang akan dinilai. Hal ini terjadi karena toleransi pada kelompok minoritas diperkirakan hanya berlaku secara selektif dan strategis pada kelompok-kelompok minoritas tertentu saja. Selain itu, penelitian mendatang juga perlu melihat seberapa besar derajat solidaritas antar sesama minoritas pada mereka yang dijadikan partisipan untuk menjelaskan adakah kemungkinan perasaan senasib dan penerimaan terhadap kelompok luar (outgroup) yang dianggap terasing.

Penulis: Dr. Rahkman Ardi

Informasi detail dari riset ini dapat dilihat pada tulisan kami di:

https://doi.org/10.1016/j.heliyon.2021.e07603

Ardi, R., Tobing, D.H., Agustina, G.N., & Iswahyudi, A.F., & Budiarti, D. (2021) Skema beragama and tolerance towards alienated groups in Indonesia. Heliyon, 7(7), E07603. https://doi.org/10.1016/j.heliyon.2021.e07603

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp