Pada tahun 2021 ini, beberapa negara di dunia sedang berhadapan dengan angka kejadian infeksi virus corona (COVID-19) gelombang kedua yang semakin meningkat, termasuk Indonesia. Beberapa faktor diduga berperan terhadap fenomena global tersebut, antara lain munculnya varian virus corona baru (N501Y, E484K, B117, dan N440K). Sayangnya, modalitas terapi obat-obatan yang ada belum menunjukkan hasil yang benar-benar efektif. Beberapa obat yang digadang-gadang bermanfaat untuk COVID-19 justru ada yang menunjukkan ketidakefektifan, bahkan menimbulkan efek yang berbahaya. Beberapa di antaranya (obat anti malaria kloroquin, antibiotic azithromycin, dan inhibitor protease ritonavir/lopinavir) justru menunjukkan potensi toksisitas terhadap jantung. Obat lain, yaitu ivermectin (obat cacing yang saat ini populer) dan favipravir) disangsikan kegunaannya karena hasil yang kontroversial pada setiap penelitian. Hingga saat ini, hanya antivirus remdesivir yang telah menunjukkan perbaikan klinis pada berbagai uji dan diakui oleh badan regulator obat COVID-19 yang ada.
Meskipun patofisiologi COVID-19 masih belum sepenuhnya dimengerti, banyak bukti yang menunjukkan keterlibatan sitokin pro inflamasi (faktor keradangan) dalam menyebabkan peradangan sistemik. Hiperaktivasi sistem imun dapat meningkatkan derajat keparahan COVID-19 melalui badai sitokin yang menyebabkan kematian sel tidak terkendali, kebocoran pembuluh darah, penyumbatan pembuluh darah, kerusakan multiorgan, dan kematian pada pasien COVID-19. Hal ini menunjukkan supresi terhadap sistem kekebalan tubuh bisa jadi memberikan efek yang menguntungkan pada pasien COVID-19.
Kami merangkum beberapa modalitas terapi pengendalian respon imun untuk COVID-19:
Pertama, Kortikosteroid. Pemberian terapi kortikosteroid pada COVID-19 dapat menekan replikasi dan transkripsi virus SARS-CoV2. Kortikosteroid juga dapat menekan tingkat kematian pasien COVID-19 dengan gagal napas dan menurunkan kebutuhan terhadap oksigen. Walaupun demikian, pemberian kortikosteroid pada pasien COVID-19 ringan yang tidak memerlukan bantuan alat pernapasan memberikan hasil yang kurang baik, bahkan dapat memperburuk kondisi klinis, memperlama jangka waktu masuk rumah sakit, dan meningkatkan progresivitas penyakit. Hal ini menunjukkan bahwa kortikosteroid lebih baik diberikan pada pasien COVID-19 derajat sedang hingga berat.
Kedua, Inhibitor Interleukin. Beberapa interleukin berperan terhadap terjadinya badai sitokin pada COVID-19, di antaranya interleukin-1ß, -6, dan -18), sehingga pemberian penghambat (inhibitor) interleukin dapat memberikan manfaat pada pasien COVID-19. Anankira, penghambat interleukin-1, dapat menurunkan angka kematian pasien COVID-19 dengan peradangan dan gagal napas. Tocilizumab dan sarilumab (inhibitor interleukin-6) juga dapat menurunkan angka kematian pada pasien COVID-19 berat yang memerlukan alat bantu napas.
Ketiga, Inhibitor kinase. Kinase adalah enzim yang penting bagi masuknya virus corona ke dalam tubuh, replikasi, bahkan siklus hidupnya, serta memiliki efek imunomodulator yang dapat mengendalikan hiperaktivitas respon imun oleh COVID-19. Barictinib, inhibitor janus kinase (JAK), dapat mempengaruhi jalur persinyalan sistem imun inang dan peradangan. Pemberian kombinasi barictinib dan remdesivir dapat mempercepat penyembuhan pasien COVID-19 dibandingkan pemberian tunggal remdesivir. Selain itu, kombinasi obat ini juga memiliki efek samping yang lebih sedikit. Akan tetapi, jenis inhibitor kinase yang lain, yaitu imatinib, tidak menghambat masuknya dan replikasi virus corona. Hal ini menunjukkan efek yang berbeda-beda dari setiap jenis inhibitor kinase.
Keempat Interferon (IFN). Selain penekanan terhadap respon imun, peningkatan jalur respon imun tertentu dapat memberikan harapan bagi terapi COVID-19. Pemberian IFNα-2b dan IFNß1a dapat meningkatkan hilangnya virus SARS-CoV2 dari dalam tubuh. Akan tetapi, data mengenai efektivitas IFN masih memerlukan banyak penelitian lebih lanjut
Kelima, Plasma convalescent dan IVIg. Plasma convalescent dan Non-SARS-CoV-2 specific intravenous immunoglobulin (IVIg) didapatkan dari donor pasien yang telah sembuh dari COVID-19. Walaupun mekanismenya masih belum jelas, terapi ini diduga dapat memodulasi sistem imun dan menekan peradangan. Pemberian plasma convasencent dan IVIg lebih awal dapat menurunkan progresivitas penyakit, mempercepat penyembuhan, memperbaiki fungsi organ, dan memperbaiki kondisi klinis pasien COVID-19
Secara umum, terapi pengendalian sistem imun pada COVID-19 lebih efektif pada pasien COVID-19 berat yang memerlukan bantuan pernapasan, sedangkan pemberiannya pada pasien COVID-19 ringan-sedang, terapi ini justru dapat memberikan efek yang lebih buruk atau tidak signofikan. Hal ini berkaitan dengan kondisi hiperinflamasi dan badai sitokin pada pasien COVID-19 berat, sehingga pemberian terapi pengendalian sistem imun dapat mengembalikan kondisi imunitas tubuh yang normal. Di masa mendatang, masih banyak terapi pengendalian sistem imun yang memerlukan penelitian lebih lanjut, di antaranya inhibitor Tumor Necrosis Factor (TNF)-α, Toll-like receptor (TLR), dan terapi sel punca sekretom. Seiring dengan perkembangan teknologi, kemajuan terapi pengendalian sistem imun diharapkan memberikan keberhasilan yang menjanjikan dalam penanganan pasien dengan COVID-19.
Penulis: Citrawati Dyah Kencono Wungu
Informasi lebih lengkap dapat dilihat di publikasi kami:
Decsa Medika Hertanto, Henry Sutanto, Bayu Satria Wiratama & Citrawati
Dyah Kencono Wungu (2021) Modulating the host immune response to fight against COVID-19: Where are we in 2021?, Virulence, 12:1, 1732-1736, DOI: 10.1080/21505594.2021.1943275https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/21505594.2021.1943275