Pandemi COVID-19 yang berkepanjangan juga memukul destinasi wisata lokal seperti Kampung Lawas Maspati Surabaya. Sejak ditetapkan sebagai destinasi wisata unggulan baru Surabaya pada 2016, Kampung Lawas Maspati tumbuh menjadi salah satu jujugan wisatawan yang berkunjung ke Surabaya. Bangunan-bangunan lama, barang peninggalan sejarah dan tradisi yang masih terjaga serta penghijauan, pembibitan dan urban farming yang dikembangkan di Maspati membuat banyak pengunjung jatuh hati dan berkunjung ke sana. Tercatat 5-7 rombongan tamu setiap minggunya berkunjung ke Maspati. Sayangnya, pandemi membuat tamu-tamu menunda kunjungan mereka. Bahkan Kampung lawas Maspati sempat tutup beberapa waktu. Akibatnya, aktivitas wisata masyarakat menjadi menurun. Masyarakat yang tadinya berprofesi melayani wisatawanpun menjadi pengangguran. Selain itu, perekonomian masyarakat di Kampung Lawas pun menjadi merosot. Suasana kampung juga menjadi sepi karena penghuni rumah berdiam di rumah.
Di tengah masa pandemi ini warga Kampung Wisata Lawas Maspati terus melakukan kegiatan supaya aktivitas wisata terus bergerak. Warga memanfaatkan perpustakaan sebagai salah satu atraksi yang cukup menarik dikampung wisata Lawas Maspati. Warga banyak menghidupkan kembali perpustaakan dan menggunakan perpustakaan sebagai tempat kegiatan bersama. Keberadaan dan aktivitas perpustakaan sendiri memang sejalan dengan kegiatan kepariwisataan. Hal ini karena salah satu fungsi perpustakaan adalah sebagai tempat atau rekreasi bagi para pengunjung atau masyarakat. Hal tersebut sesuai dengan UU No 43 tahun 2007 tentang perpustakaan. Pada pasal 1 ayat 1 disebutkan bahwa perpustakaan adalah institusi pengelola koleksi karya tulis, karya cetak, dan atau kaya rekam secara profesional dengan sistem yang baku guna memenuhi kebutuhan pendidikan, penelitian, pelestarian, informasi dan rekreasi para pemustaka. Disamping itu pada pasal 3 juga disebutkan perpustakaan berfungsi sebagai wahana pendidikan, pendidikan, penelitian, pelestarian, informasi dan rekreasi untuk meningkatkan kecerdasan dan keberdayaan bangsa. Berdasarkan hal tersebut keberadaan perpustakaan di Kampung Wisata lebih diarahkan dan menonjolkan unsur pendidikan yang disebut dengan istilah edu-tourism (education tourism).
Program edu tourism ini biasanya bertujuan untuk memadukan konsep pendidikan dengan hiburan, sehingga pengguna merasa nyaman dan senang ketika berkunjung keperpustakaan. Pada program pariwisata edu tourism ini juga bisa merubah suasana yang formal (kaku) menjadi suasana yang lebih santai dan ringan. Dengan kata lain dalam konteks pariwisata, perpustakaan mampu menjadi daya tarik dan daya jual dengan segala potensi layanan informasi yang dimilikinya untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan wisatawan sendiri baik secara psikologis maupun intelektual.
Supaya suasananya terkesan fantastis dan tidak membosankan maka kegiatan program wisata edu tourism di Kampung Wisata juga dikemas semenarik mungkin. Dimana program wisata edu tourism dirancang sesuai dan tepat bagi anak-anak, remaja, dan orang tua. Warga di Kampung Wisata Lawas Maspati telah membuat paket wisata dengan tema edu tourism. Para wisatawan diajak berkeliling Kampung Lawas Maspati dan juga berkunjung ke Perpustakaan warga. Perpustakaan tersebut juga telah dilengkapi dengan permainan tradisional yang bisa langsung dimainkan oleh para pengunjung. Perpustakaan warga juga telah menambah jumlah koleksi dan bacaan hiburan serta mendesaun ruangan baca seergonomis mungkin dan dihiasi dengan berbagai simbol, gambar dan warna serta melakukan penataan ulang konsep ruangan layaknya library cafe. Menyikapi kondisi pandemi COVID-19 yang telah melemahkan sektor pariwisata, maka penelitian terkait tentang bagaimana daya tahan dan daya survival destinasi wisata perlu dilakukan. Hal ini penting agar bagaimana destinasi wisata tetap bertahan di masa sulit dan lebih lagi bagaimana destinasi tersebut dapat bangkit pasca pandemi. Tulisan ini akan mencoba melihat bagaimana upaya pemanfaatan perpustakaan warga Kampung Wisata Lawas Maspati oleh masyarakat sekitar yang dikembangkan menjadi wisata edu tourism yang berkelanjutan.
Selama pandemi, pengelola Kampung Lawas Maspati Surabaya melakukan berbagai terobosan untuk tetap bertahan. Tamu yang tak lagi hadir di destinasi tersebut membuat pengelola dan warga berputar otak untuk tetap bisa survive dalam kondisi tersebut. Salah satu kunci destinasi untuk bertahan disampaikan oleh pengelola adalah senantiasa melakukan inovasi. “Disini kita tetep optimis saja mas, meskipun masih belum tau sampai kapan berakhirnya, ya kita berusaha melakukan inovasi dan inovasi. Kalau bukan kita siapa lagi…” (Pak Edi, pengelola)
Diulangnya kata inovasi dalam kutipan wawancara tersebut di atas menunjukkan bahwa pengelola menyadari bahwa inovasi merupakan hal penting yang harus dilakukan untuk dapat bertahan. Senada dengan hal itu, Ritchie (2003) menyarankan pengembangan strategi organisasi dapat membantu destinasi membatasi keparahan perubahan yang disebabkan oleh krisis atau bencana. Hal ini berarti bahwa manajemen atau pihak pengelolalah yang harus menjadi ujung tombak dari inovasi tersebut. Dalam kutipan tersebut di atas, kalimat “kalau bukan kita siapa lagi” merujuk pada dirinya selaku bagian dari tim pengelola yang dirinya merasa bahwa sudah seharusnya mengajak dan memimpin masyarakat untuk berinovasi.
Salah satu inovasi yang dilakukan pengelola adalah dengan mengembangkan sebuah perpustakaan atau ruang baca. Menurut pihak pengelola perpustakaan ini sebelumnya sudah ada, namun lebih dimaksimalkan lagi sebagai wadah yang dibuat untuk menghindari kebosanan warga tatkala tidak boleh keluar rumah/kampung. Lebih lanjut pengelola menyampaikan bahwa terobosan ini bertujuan untuk membuat warga betah dan tidak jenuh selama PSBB. “Untuk menghindari kejenuhan warga, maka kami membuat perpustakaan. Tujuannya ya supaya warga ndak jenuh selama di rumah” (Pak Edi, pengelola)
Warga sangat menyambut baik adanya perpustakaan mini di kampung lawas maspati tersebut. Anak-anak tampak juga anatusias membaca buku-buku koleksi di ruang baca tersebut. Menurut Ogunsola, (2004) Sumber daya perpustakaan dapat berupa bahan-bahan yang terdiri dari buku, perangkat lunak audio visual, realia, perangkat audio visual, dan materi pedagogi lainnya yang digunakan dalam proses pembelajaran. Terkait dengan kelengkapan sumber daya di perpustakaan, fasilitas perpustakaan juga harus dapat memenuhi persyaratan fungsional dan lingkungan yang dapat mempengaruhi efisiensi dan produktivitas penghuninya (Hassanain, & Mudhei, 2006). Sumber daya dan fasilitas perpustakaan di Kampung ini dikemas secara menarik. Bertempat di salah satu rumah tua yang ada di kampung, maka perpusatakaan menggabungkan antara nilai vintage dan banyak koleksi buku. Hal ini sesuai dengan konsep kampong lawas Maspati yang mengedepankan unsur kuno, pemeliharaan bangunan tua dan tradisi. Konsep yang demikian menurut pengelola sengaja dibuat agar ruang baca tersebut menjadi nilai tambah positif pariwisata di kampung lawas maspati.
Perpustakaan di Kampung lawas maspati yang bertempat di rumah tua dan menggabungkan anatra koleksi buku dan café merupakan wadah dari warga untuk saling bertukar pikiran. Terkait dengan hal ini maka perpustakaan sebagai ‘cultural communication’ yang nampak dalam penelitian Lu and Liu (2019) nampak di Kampung Lawas Maspati tersebut. Berbagai upaya dilakukan destinasi wisata untuk bertahan di era pandemi, salah satunya adalah dengan memanfaatkan perpustakaan atau ruang baca. Di Kampung Lawas Maspati Surabaya, selain untuk mencegah kebosanan warga, perpustakaan juga menjadi sumber informasi dan sebagai ruang diskusi. Letak dan desainnya yang menarik dan menggunakan salah satu rumah tua di daerah tersebut pada akhirnya membuat perpustakaan di kampong lawas maspati tumbuh sebagai atraksi edu tourism Kampung Lawas Maspati. Perpustakaan di kampong tersebut memberikan nilai tambah bagi pengembangan branding dan promosi budaya Kampung Lawas Maspati.
Penulis: Dian Y Reindrawati, Upik DE Noviyanti, Wildan T Rahardja
Link jurnal: https://digitalcommons.unl.edu/libphilprac/5449/