UNAIR NEWS – Beberapa hari terakhir, masyarakat diramaikan dengan istilah interaksi obat dan asidosis laktat yang dihubungkan dengan kematian pasien Covid-19. Berkaitan dengan hal itu, Dr. dr. Meity Ardiana SpJP(K)., FIHA., FICA., FAsCC., seorang pakar Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Airlangga (UNAIR) memberikan penjelasan lengkapnya.
Apa itu Asidosis Laktat?
Dr. Meity menuturkan bahwa asidosis laktat dapat terjadi ketika produksi asam laktat melebihi pembersihan asam laktat. Peningkatan produksi laktat biasanya disebabkan oleh gangguan oksigenasi jaringan, baik dari penurunan pengiriman oksigen atau kurangnya pemanfaatan oksigen mitokondria. Salah satu penyebab kondisi gangguan oksigenasi jaringan tersebut adalah penyakit pada saluran nafas bawah seperti pneumonia, yang merupakan manifestasi klinis dari infeksi Covid-19.
“Normalnya, tubuh menghasilkan asam laktat sebesar 20 mmol/kg/hari, yang akan dimetabolisme oleh liver dan ginjal. Namun, ketika kondisi oksigenasi jaringan menurun, metabolisme laktat tidak sebanding dengan produksi laktat, sehingga jumlah laktat meningkat secara proporsional,” tuturnya.
Apa saja Penyebab Terjadinya Asidosis Laktat?
Lebih lanjut, Dr. Meity mengungkapkan bahwa Cohen dan Woods membagi asam laktat menjadi dua kategori, yaitu tipe A dan tipe B. Pada tipe A, sambungnya, asidosis laktat terjadi dengan bukti klinis perfusi jaringan atau oksigenasi darah yang buruk (misalnya hipotensi, sianosis, ekstremitas dingin dan berbintik-bintik). Sebagian besar kasus asidosis laktat disebabkan oleh hipoperfusi jaringan akibat hipovolemia, gagal jantung, sepsis, atau henti jantung.
Sedangkan pada tipe B, asidosis laktat terjadi ketika tidak ada bukti klinis perfusi jaringan atau oksigenasi yang buruk. Tipe B itu sendiri dibagi menjadi 3 subtipe berdasarkan penyebab yang mendasarinya yakni tipe B1 berhubungan dengan penyakit sistemik, seperti gagal ginjal atau liver, tipe B2 disebabkan oleh beberapa kelas obat dan toksin, seperti biguanide, alkohol, isoniazid, zidovudine, dan salisilat serta tipe B3 disebabkan oleh kelainan metabolisme bawaan.
Bagaimana Dokter Mengatasi Kondisi Asidosis Laktat pada Pasien?
Dr. Meity mengungkapkan jika tidak ada obat tertentu untuk mengatasi kondisi asidosis laktat. Dia menjelaskan bahwa terapi yang dilakukan bertujuan untuk mengoreksi penyebab dasar terjadinya asidosis laktat serta mengoptimalkan oksigenasi darah dan perfusi jaringan. Hal itu bertujuan untuk memastikan bahwa metabolisme yang terjadi pada tubuh pasien bukanlah suatu metabolisme anaerob.
“Dokter juga akan mengevaluasi kemungkinan penyebab asidosis laktat yang lain, meliputi penyakit penyerta pasien, seperti gagal ginjal atau liver dan penggunaan beberapa kelas obat,” tambahnya.
Apa Definisi dan Efek Adanya Interaksi Obat?
Menurut penjelasan Dr. Meity, interaksi obat dapat didefinisikan sebagai perubahan efek suatu obat yang timbul akibat adanya interaksi dengan substansi lain (seperti obat lain, makanan dan minuman) yang diberikan secara bersamaan atau terpisah sehingga efektivitas atau toksisitas obat berubah. Dia menambahkan jika efek interaksi obat terdapat yang menguntungkan dan merugikan.
“Pada interaksi obat yang menguntungkan dapat terjadi peningkatan efektivitas tanpa meningkatkan efek samping, sedangkan interaksi obat yang merugikan dapat menambah terjadinya efek samping,” ungkapnya pada Kamis (15/07/21).
Contoh interaksi obat yang menguntungkan, sambung Dr. Meity, adalah obat untuk darah tinggi. Ketika penderita darah tinggi yang tekanan darahnya belum mencapai target meskipun sudah mengatur gaya hidup dan mengonsumsi satu macam obat penurun tekanan darah tinggi, maka akan diberikan satu obat penurun darah tinggi dari golongan berbeda dan didapatkan hasil tekanan darah penderita tersebut bisa turun sesuai target yang diinginkan.
“Sedangkan contoh interaksi obat yang merugikan adalah penggunaan obat propranolol dengan insulin pada penderita diabetes melitus yang dapat meningkatkan efek samping berupa hipoglikemia (gula darah turun dibawah normal) berkepanjangan, sehingga dalam pemberiannya memerlukan pemantauan yang lebih ketat,” ujarnya.
Sebagai penutup, Dr. Meity menegaskan bahwa setiap dokter yang memberi peresepan obat pada pasien tentu sudah menimbang manfaat maupun risiko interaksi obat yang dapat terjadi. Ketika golongan obat memiliki interaksi antara satu sama lain, maka dokter sudah menimbang bahwa manfaatnya lebih besar dibanding risiko interaksi obat yang terjadi. (*)
Penulis: Dita Aulia Rahma
Editor: Khefti Al Mawalia