Pandemi, Korupsi, HAM, dan Dominasi Paradigma Ekonomi

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Pakar HAM UNAIR Dr. Herlambang P. Wiratraman dalam seri diskusi isu REACT Legal Bootcamp 2021. (Foto: SS Zoom)

UNAIR NEWS – Lanskap kolapsnya rumah sakit dan gugurnya rumah sakit selama lonjakan kedua pandemi COVID-19 di Indonesia, membuat banyak pihak yang menilai bahwa negeri ini gagal dalam menangani krisis kesehatan ini. Penilaian tersebut tentu juga dimiliki oleh Pakar HAM UNAIR Dr. Herlambang P. Wiratraman. Dalam seri diskusi isu REACT Legal Bootcamp 2021, ia memberikan materi interdisipliner yang mengaitkan pandemi, penanganan korupsi, dan hak asasi manusia.

Akar problematika dari penanganan pagebluk di Indonesia menurut Herlambang terletak pada orientasi kebijakan acapkali tidak berdasar pada sains, melainkan pada ekonomi yang mengabdi pada kepentingan oligarki. Peneliti LP3ES itu menambahkan bahwa kesalahkaprahan tersebut mengakibatkan pada sikap pemerintah yang denial dan meremehkan bahaya virus ini pada awal 2020, serta tidak bekerjanya hukum di berbagai dimensi selama pandemi merebak.

“Hukum kedaruratan kita dalam merespon pandemi itu dibawah standar HAM, baik secara substansi dan prosedural, dan cacat secara teoritik. Pemerintah mengabaikan UU Kekarantinaan Kesehatan yang mengatur terkait pembatasan sosial, dan malah mendasarkan pada Instruksi Mendagri yakni PPKM. Ini menyalahi teori perundang-undangan karena kita berbicara soal pembatasan hak, karena hal itu hanya dapat dilakukan oleh UU atau Perda. Hukum tidak bekerja sebagaimana mestinya,” ujar mantan Ketua HRLS itu.

Herlambang juga memaparkan tren yang muncul selama merebaknya pandemi di Indonesia, yakni pengendalian pandemi juga disertai pengendalian informasi yang mengarah pada penyempitan ruang sipil (shrinking civic space). Beberapa contoh yang disampaikannya adalah: a) wewenang eksesif oleh aparat kepolisian untuk pelabelan hoax terhadap produk jurnalistik yang memberitakan fiasko pagebluk; dan b) kontra-narasi berkesan toxic positivity dalam jurnalisme dan sosial media yang mengesankan bahwa pandemi telah terkendalikan.

“Kita tahu bahwa banyak kebijakan dan undang-undang kontroversial yang berhasil lolos selama pandemi ini. Tak jarang pula orang yang mengkritik hal tersebut dan produk jurnalisme yang memberitakan atau menginvestigasi hal itu, akan direspon dengan berbagai macam cyber torture, entah itu peretasan, penghapusan berita, dan penghilangan data. Kita dapat melihat itu pada penghapusan berita di Tirto terkait pengembangan vaksin oleh BIN dan TNI. Itu belum kita berbicara soal dengungan buzzer yang gencar menggaungkan narasi yang ultranasionalis dan menjustifikasi imoralitas, demi terwujudnya kegagalan kesadaran publik,” tutur alumni Leiden University itu.

Pakar Hukum Tata Negara itu kemudian menjelaskan tentang isu pemberantasan korupsi yang diperlemah oleh eksistensi fenomena state capture corruption, dan perangkap politik kartel yang menguasai representasi formal di Indonesia. State capture corruption adalah praktik korupsi politik secara sistemik dimana kepentingan swasta mempengaruhi arah kebijakan dan perundang-undangan negara secara signifikan. Herlambang menjelaskan bahwa fenomena tersebut sedang terjadi di Indonesia dan ia dapat tumbuh subur akibat sistem politik kartel yang pada akhirnya selalu menghasilkan pemimpin dan representatif yang mengabdi pada pemuasan kepentingan oligarki.

“Itulah yang mendasari pelemahan KPK melalui revisi UU KPK dan manipulasi pemecatan pegawai melalui sistem TWK. Kita dapat melihat bagaimana faktor tersebut mempengaruhi arah gerak eksekutif dan legislatif selama pandemi ini, lewat UU Cipta Kerja, UU Minerba, dan kini wacana komersialisasi vaksin. Ini yang diistalahkan Javier Corrales sebagai autocratic legalism, dimana legislasi dan kebijakan yang melanggar HAM serta non-demokratis, dapat dicapai melalui mekanisme yang demokratis dan konstitusional,” jelas peneliti ELSAM itu.

Herlambang menutup materinya dengan menjelaskan bahwa pandemi tak hanya menguji sistem pelayanan kesehatan di Indonesia, tetapi juga sistem negara dan kebebasan sipilnya. Suatu jawaban akan tanya bahwa apakah negara betul-betul hadir atau tidak.

“Pandemi ini kita juga melihat matinya keadaban politik untuk suatu visi yang tak etis dan menggadaikan integritas,” tutupnya

Pemaparan Herlambang ini disajikan pada seri diskusi isu dalam program pelatihan kepenulisan hukum REACT Legal Bootcamp pada Rabu sore (14/7/2021). Pelatihan ini merupakan program tahunan kolaboratif antara Kementerian Pengembangan Sumber Daya Mahasiswa dan Kementerian Sosial dan Politik BEM FH UNAIR.

Penulis: Pradnya Wicaksana

Editor: Nuri Hermawan

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp